Loading...
OPINI
Penulis: Uli Parulian Sihombing 00:00 WIB | Senin, 19 Januari 2015

Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian

SATUHARAPAN.COM – Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya telah menjerat Pimpinan Redaksi (Pimred) The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, dengan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penodaan Agama. Kasus tuduhan penodaan agama terhadap Pimred The Jakarta Post bukanlah kasus baru. 

Menurut laporan Amnesty International (AI) 2014 menyebutkan sejak 2005 sampai 2014 di Indonesia, terdapat 106 (seratus enam) orang telah diadili dan diputus bersalah oleh pengadilan karena melanggar Pasal 156 a KUHP.  Kemudian juga menurut hasil penelitian The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) 2012, telah menemukan tuduhan penodaan agama sering ditujukan kepada kelompok-kelompok keagamaan yang sedang melaksanakan ekspresi keagamaannya dan juga individu yang sedang berekspresi atau berpendapat termasuk jurnalis. Ini berarti, mengkriminalkan seseorang atas dasar penodaan agama tidak hanya ditujukan kepada mereka yang sedang mengekspresikan keagamaannya, tetapi juga ditujukan kepada siapa saja yang sedang berekspresi atau berpendapat. 

Berbeda dengan kasus-kasus penodaan agama, aparat penegak hukum sangat minim melakukan penegakan hukum kasus-kasus ujaran kebencian atas dasar agama yang menghasut orang untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi. Sudah menjadi pengetahuan umum, ujaran kebencian atas dasar agama merupakan pemicu terjadi kekerasan, dan diskriminasi.  

Di tingkat internasional, istilah penodaan agama mulai jarang dipakai lagi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun telah merubah paradigmanya untuk memerangi intoleransi keagamaan dan menghormati kehidupan harmoni antar umat beragama. Ketika membuat rancangan resolusi penodaan agama, PBB telah merubah paradigmanya dari penodaan agama menjadi ujaran kebencian atas dasar agama yang mengakibatkan kekerasan.  

Awalnya, ada proposal dari Pakistan untuk membuat resolusi penodaan agama. Tetapi dalam perkembangannya, PBB justru memfokuskan untuk memerangi intoleransi keagamaan khususnya hasutan kebencian atas dasar agama yang mengakibatkan kekerasan, permusuhan dan diskriminasi.  Pada 27 Maret 2012, PBB mengeluarkan resolusi Nomor 66/167 untuk memerangi intoleransi keagamaan.   Menurut resolusi tersebut, PBB lebih memfokuskan untuk memerangi ujaran kebencian yang mengakibatkan kekerasan, stigmatisasi, diskriminasi,  dengan tujuan untuk menjaga kehidupan harmoni antar umat beragama. PBB juga mendorong negara-negara anggotanya untuk membuat  hukum yang melarang praktek-praktek ujaran kebencian. Yang menarik adalah Organisasi Kerjasama Islam (OKI) justru mendukung dan mensponsori lahirnya resolusi PBB tersebut. 

Penodaan agama dan ujaran kebencian atas dasar agama adalah dua hal yang berbeda. Penodaan agama adalah mengritik, menista, ekspresi yang menyerang doktrin, figur dan simbol-simbol keagamaan. Sementara ujaran kebencian atas dasar agama adalah ungkapan yang secara eksplisit yang mendorong dan menyerukan permusuhan, diskriminasi dan kekerasan.  

 

Isu penodaan agama berasal dari komunitas keagamaan, dan kemudian negara memfasilitasinya untuk menjadi peraturan hukum yang memuat sanksi pidana. Ada baiknya isu penodaan agama dikembalikan ke komunitas keagamaan, dan negara harus netral dari isu penodaan agama.

 

Pelaku penodaan agama tidak bisa dipidanakan, sementara pelaku ujaran kebencian atas dasar agama  bisa dipidanakan. Menurut laporan gabungan dari  Pelapor Khusus PBB Kebebasan untuk Hak atas Kebebasan Beragama dan Kepercayaan, dan Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kebebasan Berpendapat atau Berekspresi  menyebutkan agama bukanlah entitas yang harus dilindungi dalam hal pembatasan hak atas kebebasan berpendapat atau berekspresi (Freedom House: 2011). 

Keberadaan Pasal 156 a KUHP tidak bisa dilepaskan dari UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Sanksi pidana yang ada di dalam Pasal 4 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut dimasukan ke dalam KUHP menjadi Pasal 156 a KUHP. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maria Farida, di dalam Putusan MK atas uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut, adalah sesuatu tidak lazim di dalam teknik perundang-undangan memasukan sanksi pidana dari satu undang-undang ke undang-undang yang lain. 

Berdasarkan putusan tersebut,  Hakim MK Maria Farida secara tegas menyatakan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama bertentangan dengan konstitusi khususnya hak atas kebebasan beragama dan hak  berekspresi atau berpendapat.  Penodaan agama juga sulit menjadi sebuah norma hukum pidana karena merumuskan siapa korban penodaan agama itu sangat subyektif, dan perumusan norma hukum pidana harus memenuhi unsur kejelasan siapa korban atau kepentingan hukum siapa yang akan dilindungi (lex certa).

Isu penodaan agama berasal dari komunitas keagamaan, dan kemudian negara memfasilitasinya untuk menjadi peraturan hukum yang memuat sanksi pidana. Ada baiknya isu penodaan agama dikembalikan ke komunitas keagamaan, dan negara harus netral dari isu penodaan agama. Sementara untuk isu ujaran kebencian atas dasar agama yang menghasut orang untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi, negara justru harus hadir untuk melakukan penegakan hukum. 

Ruang publik adalah sebuah pasar informasi, gagasan dan pendapat.  Publik lah yang yang menilai dan memilih informasi, gagasan dan pendapat tersebut, dan negara tidak perlu ikut campur menentukan mana informasi, gagasan dan pendapat yang benar atau salah.  Sebuah negara yang mengaku berdemokrasi tidak membutuhkan lagi peraturan hukum yang mengatur penodaan agama. Tetapi di sisi lain, negara membutuhkan peraturan hukum yang mengatur ujaran kebencian atas dasar agama yang menghasut orang untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi untuk menjaga kehidupan harmonis di masyarakat. 

Kasus-kasus  penodaan agama seperti tuduhan penodaan agama terhadap Pimred The Jakarta Post akan tetapi ada, selama aparat penegak hukum  tidak menghormati hak setiap orang atas kebebasan beragama dan kepercayaan, dan hak untuk berpendapat atau berekspresi. Untuk itu, pemerintahan baru harus lebih sensitif terhadap isu-isu kebebasan beragama dan kepercayaan, dan kebebasan berpendapat atau berekspresi.

 

Penulis adalah alumnus Legal Studies Department Central European University (CEU) Budapest Hongaria


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home