Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 17:08 WIB | Jumat, 27 Maret 2015

Penyebab Meningkatnya Penganut Ateis di Amerika

Tulisan Yunani, “atheos” yang tercatat dalam Efesus 2:12 dalam naskah Papyrus 46, bertarikh kr 175-225 Masehi. Papyrus 46 terdapat di Chester Beatty Biblical Papyri dan di University of Michigan Papyrus Collection (Foto: wikipedia.org)

SATUHARAPAN.COM – Acara Talk Show TV CNN, Selasa, 24 Maret 2015, sekitar pukul 08.00 WIB, membahas tentang penganut Ateis di Amerika Serikat yang mengalami peningkatan sangat pesat beberapa tahun terakhir. Tidak disebutkan berapa persen penganut Ateis dari jumlah penduduk Amerika saat ini. Namun menurut koresponden CNN yang melakukan penelitian, sekitar belasan persen dari para pendeta yang berkhotbah di gereja setiap minggu sesungguhnya adalah penganut Ateis. Jika jumlahnya belasan persen, berarti bisa mencapai beberapa ribu pendeta yang ternyata mempercayai bahwa Tuhan tidak ada atau tidak percaya pada Tuhan. Pahamnya disebut ateisme sedangkan penganutnya disebut Ateis.

Gejala peningkatan pesat penganut Ateis di Amerika tersebut menjadi sorotan media massa. Kasus-kasusnya menghebohkan karena pernyataan diri sebagai Ateis diungkapkan secara terbuka; apalagi itu terjadi pada pimpinan agama Kristen atau para pendeta. Jika sebelumnya, ateisme baru menjadi wacana di dalam komunitas agama dan khususnya para pendeta, kini menjadi Ateis sudah merupakan pilihan dan dinyatakan secara terbuka, termasuk oleh pimpinan agama. Peningkatan penganut Ateis yang sangat pesat baik di Amerika Serikat maupun di berbagai tempat lain seperti Eropa dan bahkan di Saudi Arabia dan Indonesia membuat zaman ini lalu dijuluki “The Age of Atheism” atau zaman ateisme.

Keterbukaan perpindahan dari tokoh agama ke Ateis ini serupa dengan gejala pengakuan masyarakat dan negara Amerika dan negara-negara Barat lainnya terhadap perkawinan sesama jenis kelamin atau pernikahan kaum homoseksual. Dahulu perkawinan sesama jenis masih menjadi wacana atau dilakukan secara tidak terbuka, tetapi kini orang sudah menyatakannya secara terbuka, dan masyarakat dan negara secara resmi menerimanya. Ini merupakan gejala zaman; sebuah perubahan radikal terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nilai ajaran agama dan masyarakat. Peningkatan ateisme ini juga berbarengan dengan bangkitnya radikalisme agama yang menyebar teror di mana-mana.

Penyangkalan terhadap keberadaan Tuhan atau menjadi Ateis di negara-negara Barat disebabkan oleh empat hal utama. Pertama, kegagalan agama dan “Tuhan” yang tidak mampu menjawab tantangan rasionalisme dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kedua, kondisi kehidupan sehari-hari dengan indikasi kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan hidup yang menunjukkan ketiadaan kebutuhan terhadap Tuhan. Di sini peran humanisme dan materialisme sangat berarti. Ungkapan bahwa agama hanya untuk manusia lemah atau orang miskin dan menderita tampak berlaku. Ketiga, realitas kehidupan umat beragama yang mengecewakan, seperti radikalisme dan konflik dengan kekerasan yang berlatar agama. Keempat, ketidakmampuan dan kegagalan pribadi-pribadi bersangkutan dalam memahami, menghayati dan merasakan manfaat agama dan intimasi atau kedekatannya dengan Tuhan.

Risiko Penyataan Diri sebagai Ateis

Di dalam masyarakat dengan budaya-agama tertentu, seperti Kristen atau Islam, ternyata ada risiko atau penghukuman yang dialami oleh seseorang yang mengakui diri sebagai Ateis atau mengungkapkan dukungan dan simpati terhadap ateisme. Sebagai contoh, pengalaman seorang mantan pastor di Amerika yang kehilangan pekerjaan, ditolak komunitas gereja dan ditinggalkan keluarga. Tentu penghukuman itu dapat dimaklumi karena ateisme jelas bertentangan dengan ajaran prinsipil gereja, bahwa Tuhan itu ada dan dipercayai.

Namun bagi warga masyarakat yang tidak berprofesi di bidang keagamaan, bukan tokoh agama, sanksi sosial itu tampak tidak berlaku. Ini karena hukuman sosial terhadap warga masyarakat awam yang tidak terkait dengan pekerjaan dalam komunitas agama tidak akan berpengaruh. Masyarakat Barat umumnya menghargai pilihan orang dalam beragama atau tidak beragama dan menjadi Ateis. Petimbangan rasional dan hak asasi manusia lebih dipergunakan dibanding agama. Literatur yang mengusung ateisme juga banyak beredar. Karena itu memang di Amerika atau umumnya di Barat, ateisme sudah lama menggejala.

Di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia, ateisme juga mengalami peningkatan. Itu ditunjukkan oleh makin banyaknya dukungan terhadap ateisme yang disampaikan melalui media sosial. Ada yang diketahui masyarakat dan pemerintah lalu dihukum seperti yang terjadi di Irak dan Arab Saudi. Namun banyak yang tidak diketahui umum karena disampaikan secara tersembunyi. Gerakan dan penyebaran ateisme di banyak tempat mengalami peningkatan signifikan, seiring dengan penyebaran radikalisme agama. Ini karena bantuan sarana media sosial yang telah masuk dan memengaruhi masyarakat dunia bahkan sampai di pelosok-pelosok negeri.

Bagaimana Indonesia?

 Di Indonesia, pernyataan terbuka sebagai Ateis belum terjadi. Namun demikian, ada gejala peningkatan yang pesat penganut atau minimal simpatisan kepada ateisme. Hal ini dibuktikan oleh pemikiran atau ide-ide yang dilontarkan dalam berbagai kesempatan dan terutama media sosial seperti Twitter dan Facebook. Sebagai wahana studi, penulis sendiri menjadi anggota dalam beberapa grup diskusi Facebook seperti Dialog Atheis Indonesia (DAI), Dialog Ateis+Teis Indonesia, Aliansi Sekuler Indonesia dan grup Partisipasi Humanis. Grup-grup ini berbahasa Indonesia. Dapat dipastikan, ada banyak lagi grup diskusi serupa yang belum terdeteksi baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing.

Dalam grup-grup diskusi ini, ide-ide humanis dan ateistis kerap terungkap dalam bentuk pertanyaan, pernyataan, komentar dan ilustrasi. Ada yang tampaknya sudah menjadi pergumulan dan perenungan tentang alam semesta dan Tuhan; ada yang berupa pertanyaan kritis terhadap ajaran agama tentang Tuhan dan perilaku umat beragama. Hal-hal yang memengaruhi untuk menolak Tuhan atau mengakui ketiadaan-Nya umumnya adalah kebangkitan ateisme global, sekularisme, rasionalisme, kekecewaan karena penderitaan manusia, frustrasi dan kemuakan terhadap kemunafikan hidup beragama, dan ketidakmampuan menghayati Tuhan.

Menjadi Teis-Ateis Adalah Pilihan

Beragama, percaya kepada Tuhan atau tidak, menjadi Teis atau Ateis adalah pilihan. Kebebasan memilih merupakan kodrat manusiawi. Ateisme adalah sebuah kepercayaan dan itu dapat menjadi pilihan. Namun, umumnya orang memilih kepercayaan yang menjamin kedamaian dan kesejahteraan hidup abadi.

Stanley R. Rambitan, Teolog-Dosen Pascasarjana UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home