Loading...
HAM
Penulis: Sotyati 15:30 WIB | Jumat, 12 Oktober 2018

Peraih Nobel Perdamaian 2018 Dr Denis Mukwege, Inspirasi Doa Ayah

Dr Denis Mukwege. (Foto: Capital FM/AFP/Marc Jourdier)

SATUHARAPAN.COM – Hadiah Nobel Perdamaian 2018 menambah deretan penghargaan yang sudah berhasil diraih Dr Denis Mukwege selama ini. Sepuluh tahun yang lalu, dokter spesialis obstetrik-ginekologi ini meraih tiga penghargaan prestisius, Legion of Honour dari Pemerintah Prancis, UN Human Rights Prize (New York, Desember 2008), dan Olof Palme Prize (Swedia).

Denis Mukwege memang bukan dokter biasa di Republik Demokratik Kongo. Pada 1999, seusai Perang Saudara pertama kali meletus di Kongo, ia mendirikan Rumah Sakit Panzi di Bukavu, 1.515 km dari ibu kota Kinshasa. Sejak itu, rumah sakit itu dikenal sebagai tempat “memperbaiki” wanita yang mengalami perkosaan dengan kekerasan ekstrem.

Sejak didirikan, Rumah Sakit Panzi sudah menangani lebih dari  85.000 pasien dengan kondisi “complex gynecological damage”, kerusakan parah pada organ reproduksi, dan yang menderita trauma. Lebih kurang 60 persen luka itu disebabkan kekerasan seksual.

Sebagian besar pasiennya datang dari wilayah konflik. Tidak sedikit dari mereka yang dibawa ke rumah sakit dalam keadaan compang-camping hingga telanjang, dengan kondisi yang amat mengenaskan.

Jeffrey Gettleman, wartawan New York Times yang memimpin Biro Afrika Timur 2006 – 2017, berkesempatan mengunjungi Dr Mukwege sepuluh tahun silam di rumah sakitnya. Saat itu, pemberontak belum lama memasuki wilayah Republik Demokratik Kongo timur, tempat Dr Mukwege mengelola rumah sakitnya. Bukan hanya menyerang desa-desa, pemberontak juga merampok, menjarah. Ratusan orang yang terluka, yang entah bagaimana caranya, berhasil mencapai rumah sakit. Dr Mukwege membuka tangan menolong mereka.

Percobaan Pembunuhan

Gettleman, yang diajak berkeliling Dr Mukwege, melihat pemandangan miris di rumah sakit itu. Perempuan memenuhi koridor-koridor, bersandar ke dinding, memegang kantong-kantong kolostomi, berbaring tanpa gairah di tempat tidur, atau duduk di lantai. Itu pemandangan umum yang harus dihadapi Dr Mukwege hari demi hari.

Beberapa tahun yang lalu, berdasarkan laporan Gettleman di New York Times tersebut, para pejabat PBB menyebut Kongo “ibu kota perkosaan dunia”. Apa yang sangat merisaukan adalah kebrutalan tindak perkosaan yang menghancurkan kehidupan banyak wanita.

“Ketika korban datang, dari luka-luka Anda bisa tahu di mana itu terjadi,” kata Dr Mukwege kepada Gettleman, “Di Bunyakiri, mereka membakar pantat wanita. Di Fizi-Baraka, mereka menembak di alat kelamin. Di Shabunda, (luka disebabkan) bayonet.”

“Beberapa gadis itu masih sangat muda, tidak memahami apa yang terjadi pada mereka,” katanya, “Tak habis mengerti juga, mengapa seseorang harus memerkosa seorang anak berusia 3 tahun?”

Dr Mukwege, pada kunjungan Gettleman saat itu, melakukan lebih kurang 10 operasi penyelamatan jiwa dalam sehari di rumah sakitnya. Wikipedia menyebutkan, pendukung pelayanan Dr Mukwege termasuk The German Institute for Medical Mission (DIFAEM), yang membantu dana dan obat-obatan.

Gettleman menggambarkan sosok Dr Mukwege, bahkan di dalam bayangan kelelahan, memancarkan cahaya batin, yang samar tetapi terlihat, rasa tenang, aura ketenangan yang utuh. Ia mendarmabaktikan pengetahuannya demi membantu orang lain. Ia menjadi tempat bersandar wanita korban kekerasan di negaranya, yang masyarakatnya masih menganggap rendah status perempuan dan anak perempuan. Tak mengherankan ia mendapat julukan “doctor miracle”.

Diperhadapkan pada situasi seperti itu Dr Mukwege mulai bersuara. Pada September 2012, ia berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengutuk perkosaan brutal massal di Republik Demokratik Kongo, dan mengkritik Pemerintah Kongo yang tidak cukup berbuat untuk menghentikan apa yang ia sebut perang yang menggunakan kekerasan terhadap perempuan sebagai strategi perang. Ia menyalahkan orang-orang dalam Pemerintahan Kongo karena hanya menyaksikan kebrutalan tanpa ekspresi.

Bukannya tanpa risiko. Dr Mukwege pernah mengalami percobaan pembunuhan. Suatu malam pada 25 Oktober 2012, seorang pria bersenjata masuk ke rumahnya, pada saat ia tidak ada di rumah dan menyandera putrinya.

Dr Mukwege luput dari pembunuhan saat mencoba menyelamatkan putrinya, namun membayar mahal dengan kehilangan nyawa pengawalnya. Dr Mukwege menyelamatkan diri ke Eropa, meninggalkan rumah sakitnya.

Ia kembali ke Bukavu pada 14 Januari 2013. Para pasiennya menggalang dana untuk mengongkosinya kembali ke Bukavu, membelikan tiket dari hasil penjualan nenas dan bawang merah.

Anak Pendeta yang Ingin Mengobati Orang Sakit

Dr Mukwege adalah anak seorang pendeta, ketiga dari sembilan bersaudara. Ia tergerak untuk menjadi dokter karena ingin membantu menyembuhkan orang sakit, gara-gara acap kali mendengar ayahnya mendoakan seorang ibu yang mengalami proses melahirkan yang sulit karena ketidakmampuan mereka mendapatkan akses kesehatan yang lebih baik di Kongo.

Mengutip dari Wikipedia, seusai menyelesaikan pendidikan kedokteran di Universitas Burundi pada 1983, Mukwege bekerja sebagai dokter anak di rumah sakit desa di Rumah Sakit Lemera di dekat Bukavu. Begitu sering menghadapi pasien wanita yang tidak mendapatkan perawatan semestinya pada organ reproduksi pasca melahirkan, mendorongnya untuk memperdalam ilmu, obstetrik dan ginekologi di University of Angers, Prancis.

Denis Mukwege meraih gelar doktor di bidang kedokteran pada 24 September 2015, dari Université libre de Bruxelles, untuk tesisnya, “Traumatic Fistulas in the Eastern Region of the Democratic Republic of the Congo”, satu tahun kurang setelah ia menerima The Sakharov Prize for the Freedom of Thought, di Strasbourg, November 2014, dari Parlemen Eropa.

Di sela-sela kesibukan mengobati dan mengoperasi pasiennya, ia mengikuti jejak ayahnya menggembalakan jemaat gereja Pentakosta di wilayahnya. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home