Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 16:46 WIB | Selasa, 03 Mei 2016

“Perda Ketenagakerjaan Karawang Hambat Investasi”

Mohamad Yudha Prawira, Peneliti KPPOD. (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Gubernur untuk merevisi Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Karawang Nomor 1 tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai menghambat iklim investasi.

Hal itu disampaikan Mohamad Yudha Prawira, Peneliti KPPOD dalam konferensi pers "Regulasi Daerah Menghambat Upaya Peningkatan Iklim Investasi" di ruang rapat APINDO, Gedung Permata Kuningan Lantai 10, Setiabudi Kuningan,  Jakarta, hari Selasa (3/5).

“Sejumlah norma dan klausul dalam regulasi tersebut justru menimbulkan polemik dan masalah baru yang ujungnya menjadi sumbatan dan bahkan bumerang dalam iklim investasi setempat. Oleh karena itu, KPPOD merekomendasikan kepada Mendagri dan Gubernur untuk merevisi Perda Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan Bupati Nomor 8 tahun 2016,” katanya.

Yudha mengatakan, menyadari proses industrialisasi yang sedang berlangsung di daerahnya, pada tahun 2011 lalu Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Karawang menyusun kebijakan berupa Perda 1/2011 tentang Ketenagakerjaan namum pada implementasinya ditemukan banyak masalah.

“Salah satu masalah dimaksud adalah kebijakan afirmatif terhadap tenaga kerja lokal yang berlebihan, mengarah kepada praktik proteksionisme dan egoisme kedaerahan, serta pada sisi lain diskriminasi terhadap warga dari daerah lain,” katanya.

“Pemda juga menetapkan besaran lowongan kerja tenaga kerja lokal sebesar 60 persen dalam pengisian formal kebutuhan tenaga di perusahaan-perusahaan yang ada,” dia menambahkan.

Bertentangan

Berdasarkan hasil review dan observasi lapangan KPPOD, penetapan kuota secara rigid sebesar 60 persen (pasal 25 ayat (2)) bagi tenaga kerja lokal yang berdomisili di sekitar wilayah perusahaan dan jika tidak terpenuhi harus menggunakan tenaga kerja dalam lingkup kabupaten, bertentangan dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2004 yang menegaskan bahwa “Setiap tenga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”

Menurutnya, proses industrialisasi di daerah berbasis agraria ini menyebabkan culture shock bagi Pemda sehingga memunculkan bias sikap dan kebijakan yang overprotective terhadap tenaga kerja lokal.

“Pada satu sisi, kondisi ini menghasilkan kualitas tenaga kerja lokal yang buruk dan cenderung memiliki motivasi kerja yang rendah. Namun, di sisi lain, ada kewajiban bagi tiap perusahaan untuk memenuhi kuota 60 persen bagi tenaga kerja lokal,” katanya.

“Kondisi tersebut diperparah perilaku oknum Lurah, LSM, dan Karang Taruna yang menekan perusahaan untuk merekrut pekerja dari golongan mereka. Bahkan setelah diterima pekerja itu dipungut biaya secara terus menerus yang merugikan pekerja,” dia mencontohkan.

Lebih lanjut, Yudha mengatakan, ketentuan Perda No.1/2011 melahirkan proteksionisme versus diskriminasi yang sama-sama melanggar free internal trade (pergerakan tenaga kerja). Bagi perusahaan, praktik demikian adalah bentuk sumbatan dalam aktivitas perekonomian, peningkatan produktivitas, kebutuhan akan ketersediaan iklim investasi yang kondusif.

“Perusahaan sulit untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas sesuai klasifikasi dan formasi kebutuhan perusahaan,” katanya.

Menurut dia, perusahaan yang berdiri sebelum Perda 1/2011 dan perusahaan yang berpindah dari daerah lain ke Kabupaten Karawang tidak akan mampu memenuhi komposisi 60 persen tenaga kerja lokal dari seluruh tenaga kerja di perusahaannya.

“Selain itu, ancaman verbal dalam sidak Wakil Bupati terkait pencabutan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) menjadi beban moral bagi perusahaan,” dia menegaskan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home