Loading...
HAM
Penulis: Melki Pangaribuan 14:44 WIB | Kamis, 30 Juli 2020

Perdagangan Orang di NTT Marak Berbagai Modus

Rebecca Ledoh, terdakwa kasus TPPO 25 orang NTT, dihukum tujuh tahun penjara pada 2014 lalu. (Courtesy: Gregorius Daeng)

KUPANG, SATUHARAPAN.COM - Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi masalah serius. Bahkan kejahatan kemanusiaan itu terus mengalami beberapa perubahan modus.

Pendeta Emmy Sahertian, pemerhati masalah pekerja migran dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengatakan modus yang digunakan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Nusa Tenggara Timur (NTT) bervariasi, antara lain penawaran kerja ke luar pulau melalui jalur non prosedural. Targetnya adalah masyarakat yang terjepit masalah keuangan.

"Karena melalui jalur non prosedural mereka cepat mendapatkan pekerjaan meskipun nyawa taruhannya," kata Emmy, dalam sebuah diskusi daring bertema "Memerangi Perdagangan Manusia di Masa Pandemi", Rabu (29/7).

Dalam beberapa dekade terakhir, lanjut Emmy, TPPO di NTT telah menjadi kejahatan yang berjemaah. Dengan modus memberi pekerjaan, perdagangan orang itu banyak melibatkan banyak pihak, salah satunya orang terdekat dari para korban.

"Dalam keadaan sangat terjepit mereka bisa menggantikan mata rantai ekonomi keluarga dengan menyodorkan anak-anaknya untuk pergi bekerja. Tentunya diimingi bahwa itu jalurnya aman dan cepat dapat uang," ujarnya.

Para korban perdagangan orang yang diiming-imingi pekerjaan rata-rata masih dalam usia produktif. Mirisnya, mereka yang bekerja ke luar pulau tanpa melalui jalur formal, tidak jarang pula kembali pulang dengan kondisi tak bernyawa.

"Banyak dari mereka yang pulang sudah dalam keadaan menjadi jenazah. Itu rata-rata usia produktif dan tadinya jenazah cuma satu hingga dua, tapi kemudian mulai mengalir bahkan ratusan," ungkap Emmy.

Masih kata Emmy, NTT yang sudah darurat TPPO kini dihadapkan dengan modus baru perdagangan orang, yaitu modus anak hilang. Targetnya, anak-anak dibawa ke luar pulau untuk dipekerjakan tanpa sepengetahuan orang tuanya.

"Pada pandemi Covid-19 menjadi alasan agar orang kemudian mengganti modus. Kejahatan TPPO ini adalah transnasional, sementara modus di NTT sudah lokal nasional. Kami membutuhkan adanya sebuah aksi afirmasi di tingkat nasional karena NTT sudah darurat perdagangan orang," ucapnya.

Maria Ulfah Anshor dari Fahmina Institute sekaligus komisioner Komnas Perempuan, menyebut kejahatan perdagangan orang juga menggunakan tipu daya seperti modus perkawinan pesanan. Pada praktiknya, modus tersebut memiliki mata rantai yang sistemis.

"Ini saya kira mata rantai yang menjadi tantangan polisi untuk bisa menelusuri pada siklus mata rantai ini. Apalagi kalau pelakunya orang yang sudah punya jaringan," ujarnya.

Lalu, Maria mengatakan upaya pencegahan perdagangan orang juga harus dilakukan secara sistemis.

"Bagaimana kita memastikan bahwa keluarga terlindungi dari tipu daya terkait indikasi perdagangan orang. Persoalan yang menjadi akar masalah di dalam keluarga. Kalau itu masalahnya kemiskinan harus juga segera dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan keluarga bisa dipenuhi," ujarnya.

Sementara itu, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), rumah aman dan shelter (penampungan) memiliki peran penting dalam memberi perlindungan terhadap korban TPPO. Namun, menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO Kemen PPPA, Destri Handayani, pengelolaan layanan rumah aman di Indonesia saat ini masih menitikberatkan pada sisi keamanan korban.

"Secara tidak langsung pelayanan yang menitikberatkan pada sisi keamanan korban ini menimbulkan dampak lain. Keluarga atau pendamping kesulitan berkomunikasi dengan korban karena adanya aturan yang ditetapkan manajemen shelter," katanya. (VOA)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home