Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Andreas A. Yewangoe 00:00 WIB | Kamis, 26 Mei 2016

Perilaku Korupsi: Musuh Abadi yang Harus Dikalahkan

Korupsi merupakan tantangan terbesar dan terberat bangsa ini. Walau sudah ada figur seperti A Hok yang berusaha melawannya, namun tetap dibutuhkan lebih dari sekadar sistem dan hukum untuk mengatasi korupsi.

SATUHARAPAN.COM - Reformasi telah menghasilkan “Komisi Pemberantasan Korupsi”. Artinya ada keseriusan bangsa ini untuk terus-menerus memerangi korupsi. Mengapa? Karena korupsi adalah kejahatan luarbiasa (extraordinarry crime).

Sesungguhnya korupsi sudah sangat melekat pada bangsa ini. Kalau kita membaca Max Havelaar yang ditulis oleh Multituli, misalnya (kemudian juga difilmkan!) kita melihat bagaimana para bupati di daerah Lebak, Banten (yang adalah orang pribumi) tidak segan-segan memeras bangsanya sendiri guna memberi upeti kepada pemerintah kolonial Belanda demi mempertahankan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi sasaran kritik, bahkan dakwaan Multatuli (“Aku yang sangat menderita”). Ia mendakwa sampai ke Raja Belanda (Wilhelm) yang atas namanya para penguasa melakukan pmerasan terhadap rakyat.

Ketika Indonesia telah merdeka, korupsi juga tidak henti-hentinya dilakukan. Memang pada saat-saat permulaan pemerintahan Presiden Sukarno ada tekad kuat memberantas korupsi. Kita teringat misalnya bagaimana Ruslan Abdulgani ditangkap di Bandara Kemayoran karena dituduh membawa uang dollar keluar negeri yang pada waktu itu merupakan larangan.

Di era Orde Baru, Suharto pernah  membentuk semacam komisi untuk memberantas korupsi. Tetapi, sebagaimana diketahui, komisi itu gagal melaksanakan tugasnya. Bahkan Bung Hatta, yang adalah ketua komisi itu dengan sinisnya mengatakan: ”Korupsi sudah merupakan budaya bangsa ini...”

Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Ekonomi di jaman Suharto pernah mensinyalir bahwa 30-35% Anggaran Negara bocor. Prof. Slamet Santoso, Dekan Fakultas Psikologi UI pernah memperkenalkan istilah “cortas”, Bocor Ke atas. Maknanya, segala sesuatu tidak bisa berjalan kalau tidak ada “upeti”, “suap” ke atas. Pendeknya, rezim Orde Baru adalah rezim yang penuh dengan korupsi. Istilah KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) menjadi sangat terkenal. Dengan budaya KKN seperti ini, maka segala sesuatu yang dibangun oleh Orde Baru menjadi rapuh, tidak berharga, atau paling tidak berkurang mutunya.

 

Fenomena A Hok

Sejak A Hok menjadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi, ia melakukan gerakan-gerakan bahkan gebrakan-gebrakan yang mengesankan. Ia menerapkan transparansi di segala bidang. Bahkan rapat-rapat di Balai Kota ia tayangkan di You Tube. Anggaran Belanja Daerah ia buat setransparan mungkin sehingga setiap orang bisa mengakses informasinya.

Ia menerapkan sistem E-Budgeting sehingga tidak setiap orang bisa mengubahnya sesuka hati. Tidak mungkin lagi orang menyisipkan mata anggaran palsu. Konsekuensinya memang A Hok berselisih dengan DPR-D. Bahkan justru DPR-D menuduh A Hok memalsu RAPBD sehingga direncanakan membentuk pansus – rencana yang sampai sekarang belum berhasil.

Ia menerapkan disiplin ketat untuk PNS, dibarengi dengan menaikkan gaji mereka berkali-kali lipat. Ia mendambakan “clean governance” diterapkan di segala lini. Secara fisik, sangat kasat mata yang dicapai A Hok di Jakarta. Sungai-sungai bersih, mereka yang berumah di bantaran kali direlokasi ke rusun-rusun yang lebih manusiawi dengan fasilitas secukupnya. Kanal-kanal menjadi bersih dengan pasukan oranye yang siap 24 jam. Taman-taman kota banyak diperbaharui. Kawasan Tanah Abang, Kampung Pulo, Kalijodo, ditertibkan. Alhasil, A Hok memang menjadi sangat populer dan fenomenal di antara penduduk Jakarta, bahkan Indonesia.

Bagi A Hok korupsi adalah akar segala sejahatan. “Tidak usah kamu seperti para pahlawan yang menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kalau saja kamu tidak korupsi uang rakyat, itu sudah pahlawan,” kata A Hok. Kalau saja uang tidak dikorupsi, akan banyak sekali yang bisa dibangun di Jakarta.

Sekarang A Hok dituduh hanya mampu menyerap kurang-lebih 30% dari APBD. Tetapi ia berkata, ia justru menghemat AB. Kendati hanya 30% dipakai, kita sudah bisa melihat perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Bayangkan kalau penyerapan anggaran mencapai 80%, entah apa yang terjadi. Ini juga menimbulkan pertanyaan, kemana uang-uang itu mengalir dalam periode-periode sebelumnya yang konon penyerapannya cukup tinggi, tetapi hasilnya tidak terlalu nyata.

Tetapi tidak semua orang senang dengan gebrakan-gebrakan Sang Gubernur ini. Apalagi menjelang Pilkada 2017, sudah begitu banyak kritik bahkan fitnah ditujukan kepada A Hok. Kebiasaan mengkriminalisasi seseorang sekarang diterapkan kepadanya. Persoalan Sumber Waras terus-menerus diangkat, kendati KPK sampai sekarang belum menemukan unsur pidana di dalamnya. Namun demikian, KPK terus didorong bahkan “diancam” untuk menetapkan A Hok sebagai tersangka.

Selain itu masalah reklamasi juga diangkat seakan-akan itu baru merupakan keputusan A Hok. Pada hal keputusan untuk mereklamasi sudah dari tahun 1995, dan mantan Gubernur Fauzi Bowo menadatangani keputusan memulai reklamasinya hanya beberapa hari sebelum lengser. Double minorities (ras dan agama) juga diangkat-angkat. Ia disebut kafir. Bagi A Hok ia tidak merasa apa-apa disebut kafir asal tidak mencuri uang rakyat.

Menarik juga bahwa orang seperti Jaya Suprana ikut kuatir bahwa berbagai tindak-tanduk A Hok ini akan berimbas kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tentu kita bisa memahami kalau ada pengalaman traumatis dari saudara-saudara Tionghoa ini. Mereka selalu dijadikan kambing hitam bagi berbagai kesulitan di negeri ini.

Rene Girard memang pernah berbicara mengenai mekanisme kambing hitam (scape goat mechanism), yang lazimnya diambil oleh masyarakat yang sedang berada dalam krisis guna mencapai satisfactio (baca: keseimbangan). Tetapi patut diingat, A Hok tidak bertindak sebagai mewakili orang Tionghoa, tetapi sebagai seorang gubernur. Saya kira, masyarakat kita pun harus dididik untuk bertindak lebih dewasa di dalam menyikapi segala sesuatu.

 

Lalu Apa Yang Harus Dilakukan

Saya menduga, perbuatan korupsi dalam berbagai bentuknya masih akan terus kita hadapi di masa-masa mendatang. Kita sebenarnya melihat gejala yang aneh di negeri kita. Makin KPK menangkap para tersangka korupsi, makin mewabah saja perbuatan korupsi ini.

Yang lebih menarik lagi bahwa kesadaran moral (baca: dosa) masih terlalu kurang di dalam masyarakat kita menghadapi korupsi. Kalau ada yang tertangkap, paling-paling dianggap sebagai “kesialan” saja. “Dia sedang sial”, demikian masyarakat. Ini berarti, kalau tidak sedang sial, korupsi boleh-boleh saja. Fadli Zon malah pernah mengatakan, bahwa korupsi adalah oli untuk pembangunan. Ini ucapan yang sulit difahami.

Sebuah ucapan dari seorang Guru Besar di Bandung juga menarik untuk dicatat: “Lebih baik seorang pemimpin Muslim kendati ia korupsi, ketimbang seorang non-muslim kendati ia  baik.” Kalau ucapan ini benar, maka jelas ia memisahkan agama sebagai sesuatu yang institusional dan normatif (karena itu sudah pasti benar) dari substansi dan wujud agama yang mestinya menolak segala sesuatu yang “munkar”. Dalam bahasa teologi Kristen: “Credenda tanpa Agenda”. Pada hal penganut agama yang benar adalah, yang tidak memisahkan apa yang diimani dengan wujud iman itu di dalam perbuatan sehari-hari. Mestinya bertindih-tepat “Pengakuan Iman” dengan “Etika”. Kalau tidak kita akan menjadi orang munafik saja.

Dari segi iman Kristen sudah sangat jelas. Ada perintah, “Jangan mencuri”. Ada juga perintah, ”Jangan menginkan kepunyaan sesama”. Mencuri dapat diperluas maknanya. Korupsi adalah pencurian. Korupsi adalah ketidakmampuan untuk menekan keinginan memiliki sesuatu yang bukan milik. Kalau dirumuskan secara positif: “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Inilah hukum emas yang diajarkan Yesus.

Bayangkanlah seorang koruptor yang mengorupsi uang untuk membeli susu bayi misalnya. Dia tidak saja mencuri, tetapi juga tidak mengasihi sesama, bukan saja satu atau dua orang, tetapi satu generasi. Generasi itu akan menjadi “lost generation”. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemahaman yang sama bisa diterapkan kepada mereka yang mencuri “raskin”, dan seterusnya.

Gereja-gereja di Indonesia telah lama menolak korupsi. Tetapi memang gereja-gereja pun harus selalu melakukan introspeksi diri agar tidak melakukan perbuatan korupsi di dalam dirinya. Hanya dengan demikianlah, gereja mempunyai pijakan moral untuk mampu memerangi korupsi di dalam masyarakat.

Dalam Sidang MPL-PGI di Melanguane, Kepulauan Talaud gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI secara resmi mendeklarasikan penolakan dan perang terhadap korupsi. Ditegaskan, korupsi adalah dosa. Pada saat yang sama diserukan pula untuk melakukan pendidikan anti-korupsi yang dimulai sejak dini. Pertobatan harus sungguh-sungguh dilakukan/diperlihatkan, bukan sekadar pertobatan ritual, melainkan pertobatan sosial. Artinya harus ada yang sungguh-sungguh berubah di dalam amsyarakat. Mesti terjadi transformasi total. “Berubahlah Oleh Pembaruan Budimu...” (Roma 12:2). Tanpa itu, apapun tidak bisa terjadi.

Penegakan hukum yang berkeadilan memang harus digiatkan. Tetapi siapakah mengawasi penegak hukum kalau tidak ada pembaruan budi? Bisa saja terjadi pemberantasan korupsi sekadar untuk membalas dendam politik, bukan untuk menegakkan keadilan. “Budi” (Yunani: nous) adalah inti (core, kiem) yang mencirikan kemanusiaannya manusia. Itulah yang harus berubah. Segala peraturan dan ketentuan-ketentuan lainnya bakal menyusul.

 

Penulis adalah Mantan Ketua Umum PGI (2009 – 2014)

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home