Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 07:40 WIB | Sabtu, 13 Februari 2016

Persembahan Itu Hak, Bukan Kewajiban

Apakah Allah itu sungguh miskin sehingga harus menanti-nanti uluran tangan manusia?
Hasil pertama bumi (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – ”Apabila engkau telah masuk ke negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, dan engkau telah mendudukinya dan diam di sana, maka haruslah engkau membawa hasil pertama dari bumi yang telah kaukumpulkan dari tanahmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, dan haruslah engkau menaruhnya dalam bakul, kemudian pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana.” (Ul 26:1-2).

Menurut J. Frisque, persembahan hasil bumi pertama ini berasal dari suatu upacara keagamaan kafir dan berlatar belakang keyakinan bahwa rahasia alam dan kesuburan bukan wewenang manusia. Karena itu, manusia harus membujuk dewa-dewa.

Tetapi, masih menurut Frisque, gagasan itu sudah diresapi dengan semangat dan keyakinan baru. Persembahan itu tidak ditujukan kepada Allah Pencipta dan Penguasa jagat raya, melainkan kepada Allah sejarah yang telah mengadakan perjanjian dengan para Bapak Bangsa.

Perhatikanlah, Allah dipahami sebagai Allah yang berjanji. Tak hanya berjanji, tetapi juga menggenapi janji-Nya. Pada titik ini kita menyaksikan Allah Israel sebagai Pribadi yang Menyejarah—terlibat dalam sejarah. Dan karena Allah selalu menepati janji-Nya, ini yang ditekankan pula oleh Yesus, manusia tak perlu mencobai Allah (Mat. 4:7).

Konsep persembahan di sini bukanlah upeti, apalagi sogokan, tetapi karena Israel telah merasakan bukti dari janji Allah itu. Demikianlah, semestinya dasar persembahan itu. Sehingga, persembahan itu merupakan keniscayaan. Jika tidak melakukannya malah aneh.Persembahan juga bukanlah bukti kerja keras manusia, tetapi bukti bahwa pekerjaan kita diberkati oleh Tuhan.

Pada titik ini persembahan juga bukan kewajiban, tetapi hak. Hak yang diberikan Allah sendiri kepada manusia. Persembahan memang bukan kewajiban, tetapi hak yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Apakah Allah itu sungguh miskin sehingga harus menanti-nanti uluran tangan manusia? Siapakah sesungguhnya yang kaya: manusia atau Allah?

Sehingga persembahan harus disampaikan dalam situasi hati sembah. Kata dasar persembahan adalah sembah. Sehingga yang penting ialah bukan besar kecilnya persembahan, tetapi apakah persembahan itu berdasarkan sikap hidup sembah? Itu jugalah yang diperingatkan Yesus kepada Iblis untuk hanya menyembah Allah (Mat. 4:10).

Menarik lagi disimak, ada ajakan kepada umat Israel untuk tidak bersukaria sendirian saja, mereka harus mengingat orang Lewi dan orang asing. Mereka harus mensyukuri berkat Tuhan itu bersama dengan orang Lewi dan orang asing, yang memang tidak mempunyai tanah. Dengan kata lain, dalam persembahan itu ada juga panggilan sosial di dalamnya.

Bisa dinalar, jika Yesus tidak mau menanggapi ajakan Iblis untuk mengubah batu menjadi roti dan menikmatinya sendirian (Mat. 4:3). Jika Yesus membuat mukjizat biasanya untuk kemaslahatan banyak orang.

Nah, bagaimana dengan kita sekarang?

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home