Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 19:02 WIB | Selasa, 20 Oktober 2015

PIKI: Pemerintah Lakukan Diskriminasi di Aceh Singkil

Tiga dari 10 gereja di Aceh Singkil dibongkar satpol PP Aceh karena tidak memiliki IMB, hari Senin (19/10). (Foto: Serambi Indonesia)

SATUHARAPAN.COM – Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) menilai pemerintah melakukan diskriminasi dalam kasus pembakaran gereja di Aceh Singkil pada 13 Oktober 2015 dan pembongkaran gereja oleh Pemda Aceh pada 19 Oktober 2015.

Pernyataan ini disampaikan dalam siaran pers yang dikirim DPP PIKI pada satuharapan.com, Selasa (20/10). Dalam pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum Baktinendra Prawiro dan Sekretaris Jenderal Audy Wuisang mereka mendesak negara untuk bertanggung jawab. Berikut pernyataan lengkap PIKI.

Pernyataan Sikap DPP PIKI

Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia sangat menyesalkan peristiwa kekerasan yang telah berulang dan kembali terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan pembakaran gereja HKI (Huria Kristen Indonesia) disertai korban tewas dan luka-luka di Singkil Aceh, Selasa, 13 Oktober 2015. Peristiwa tersebut sungguh melukai kehidupan bersama sebagai satu bangsa, sekaligus menjadi gambaran penegasan betapa kemajemukan dan keberagaman Keindonesiaan masih belum benar-benar dihargai, meskipun menjadi komitmen bersama dan ditegaskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Beragam Tetapi Tetap Satu.

Peristiwa intoleransi di Singkil Aceh sendiri terasa makin menyedihkan karena peran negara yang diskriminatif dan tidak pada tempatnya, baik ketika menghadapi tuntutan ormas intoleran maupun ketika aksi massa bertindak sendiri untuk bukan hanya menutup tetapi membakar dan merusak gereja/rumah ibadah.

Sebagaimana biasanya, alasan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk rumah ibadah kembali menjadi isu sentral dan kali ini dilanjutkan dengan aksi massa merusak dan membakar rumah ibadah. akibatnya, peristiwa intoleran tersebut bukan hanya merusak kehidupan kebersamaan sebagai satu anak bangsa, tetapi juga memaksa ribuan masyarakat menjadi pengungsi. Negara kemudian memperlakukan mereka layaknya barang dengan memaksa kembali ke pemukiman di waktu yang tidak ramah bagi perempuan, anak dan lansia, yaitu di malam hari.

Peristiwa intoleran dan aksi merusak di Aceh Singkil, pada Selasa, 13 Oktober 2015 menjadi makin menyedihkan jika kita menelaah beberapa fakta sebagai berikut:

Pertama, aksi ribuan massa intoleran dalam penyerangan ke Gereja HKI dan sebuah rumah ibadah lainnya, diawali oleh kesepakatan yang mengancam puluhan Gereja lainnya untuk ditutup. Dalam hal ini tuntutan sejumlah Ormas (Organisasi kemasyarakatan) di Aceh ini didasarkan pada  Peraturan Gubernur Aceh nomor 25/2007 yang muatannya sangat diskriminatif dan telah mengorbankan 20 gereja lainnya di Aceh pada Mei 2012. Karena itu, apa pun landasan dan dasar pemerintah daerah, khususnya Bupati Singkil Aceh, yang memfasilitasi pertemuan dan menyepakati penutupan puluhan gereja pada 19 Oktober 2015, merupakan prakarsa negara dan tindakan sistematis negara yang diskriminatif.  Hal ini jelas merupakan Pelanggaran HAM serius. Entah disengaja atau tidak, aksi bakar massa ini jelas karena negara bersikap tidak pada tempatnya dan memberi ruang bagi pikiran, ide dan tindakan main hakim sendiri.

Kedua,  sebagaimana kejadian-kejadian kekerasan berbasis agama di banyak tempat, aparat kepolisian yang memegang kendali atas penggunaan kekuasaan bersifat memaksa dan karenanya dipersenjatai, kembali menggunakan alasan klasik. meski rencana aksi massa sudah beredar beberapa hari sebelumnya, tetapi aparat tetap mengaku kekurangan tenaga dan karenanya aksi massa terjadi dengan tindakan pembiaran oleh aparat keamanan. Akibatnya, bentrokan antara massa dengan pihak warga gereja yang melakukan upaya pertahanan diri dari penyerangan terjadi dengan disaksikan aparat keamanan yang enggan mempergunakan kewajibannya untuk menindak mereka yang berlaku kasar dan mempergunakan kekerasan.

Ketiga, secara administratif Singkil menjadi bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi jauh sebelum Indonesia berdaulat dan merdeka sebagai satu Negara, masyarakat Pakpak sudah mendiami daerah Singkil. Maka menjadi fakta yang mencengangkan ketika masyarakat yang mempergunakan hak ulayatnya atas tanah untuk kepentingan peribadatan, tiba-tiba dikenakan larangan dengan peraturan yang justru menafikan fakta historis-kultural mereka. Apalagi, dilakukan dengan kekerasan yang dibiarkan oleh pemerintah daerah dan disaksikan  oleh aparat keamanan tanpa melakukan apa-apa.

Keempat, secara mengejutkan, pada tanggal 19 Oktober 2015 terjadi pembongkaran paksa gereja, yaitu GKPPD Siompin, GKPPD Guha dan Gereja Katolik Mandumpang. Lebih memprihatinkan lagi, pembongkaran tersebut dilakukan oleh Satpol PP yang merupakan bagian dari negara. Sikap arogan pemerintah dalam “menegakkan” aturan dan “kesepakatan” sangat disayangkan, karena kami menilai hal itu diskriminatif dan tebang pilih.

Mempertimbangkan dan menilai hal-hal tersebut di atas maka Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) menegaskan:

Pertama, penyerangan Warga dan Perusakan Rumah Ibadah yang telah menimbulkan KORBAN di Singkil Aceh merupakan perbuatan yang melanggar HAM. Siapa pun, termasuk Para Penyerang, bahkan Pemerintah Daerah dan Aparat Keamanan yang lalai melakukan tugas dan kewajibannya sesuai amanat Undang-Undang, perlu dipertanyakan dan dimintakan pertanggungjawabannya.

Kedua, tindakan diskriminatif berdasarkan sentimen keagamaan sudah terlalu sering terjadi, termasuk di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sayangnya, tindakan-tindakan seperti ini cenderung berulang dan bila dibiarkan akan makin mengikis rasa kebersamaan sebagai satu Bangsa, yang budayanya sangat menghargai kepelbagaian. Mungkinkah kita sudah menjadi satu Bangsa yang tidak (lagi) menghargai Martabat dan Kehormatan diri kita sebagai satu bangsa?

Ketiga, mengimbau pertanggungjawaban negara terhadap tindakan dan kebijakan aparat negara, baik Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat maupun Aparat Keamanan yang kembali menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi mereka terhadap warga masyarakat.

Keempat, penyerangan Warga di Singkil Aceh telah menyebabkan ribuan warga masyarakat mengungsi dan tertahan di beberapa titik pengungsian. Penjemputan paksa para pengungsi memerlukan penanganan atas proses pemulihan keamanan harus dilakukan dengan tidak melupakan tanggung jawab negara atas masyarakat yang mengungsi akibat konflik yang terjadi di Singkil Aceh.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home