Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 11:23 WIB | Rabu, 22 Agustus 2018

Polusi Jakarta Masih Terus Diabaikan, Ini Saran Greenpeace

Ilustrasi. Aktivis Greenpeace Indonesia memasang data kualitas udara pada poster berukuran raksasa dengan pesan #WeBreatheTheSameAir di sebuah papan iklan raksasa di Jakarta, Selasa (21/8/2018). Maksud angka 152 yang tercantum pada poster menurut aktivis Greenpeace merupakan Indeks Kualitas Udara (air quality index/AQI) Jakarta yang tidak sehat dari parameter PM 2.5. (Foto Greenpeace Indonesia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Greenpeace Indonesia memasang sebuah pesan pada poster berukuran raksasa di papan iklan yang berlokasi di Jalan Jend Gatot Soebroto (halaman Taman Ria Senayan) dengan pesan #WeBreatheTheSameAir.

Sejumlah aktivis Greenpeace memanjat billboard tersebut, untuk memasang data kualitas udara Jakarta yang diambil dari rata-rata 5 pemantauan alat kualitas udara milik beberapa institusi berbeda, BMKG di Kemayoran, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Pusat dan Selatan, serta tiga alat lain milik Greenpeace Indonesia, yang berlokasi di Rawamangun, Pejaten Barat, dan Mangga Dua Selatan.

Angka yang disajikan tersebut juga bisa diakses oleh publik melalui website ; https://www.airvisual.com/indonesia/jakarta. Angka kualitas udara Jakarta ini, diharapkan dapat memberikan peringatan kepada publik serta para delegasi pesta olahraga Asian Games.

Berdasarkan data yang diolah dari dua stasiun pantau PM 2.5 di Jakarta Pusat  dan Selatan , dalam satu bulan terakhir kualitas udara di Jakarta memiliki lebih dari 22 hari yang masuk ke dalam kategori Tidak Sehat.

Bahkan menurut versi aplikasi pemantauan udara AirVisual, Jakarta menduduki nomor satu predikat kualitas udara buruk di antara kota-kota besar di dunia pada 11 Agustus 2018, di mana angka rata-rata harian di Stasiun Pantau PM 2.5 di Kemayoran Jakarta milik BMKG menunjukkan angka 87,3 mikrogram per meter kubik. Sementara data stasiun pemantauan ISPU pada tanggal yang sama di Jagakarsa, Kelapa Gading dan Kebon Jeruk milik Pemerintah DKI Jakarta pada saat itu juga menunjukan Kategori Tidak Sehat.

“Pemerintah harus mencari solusi nyata, karena mata dunia sedang tertuju pada Indonesia sebagai penyelenggara pesta olahraga terbesar se-Asia. Solusi menekan sumber polusi harus dilakukan dalam satu komando yang jelas, karena ini akan mencakup lintas kementerian dan kepentingan, mulai dari permasalahan transportasi, industri sampai pembangkit yang harus dibatasi dan diatur secara ketat,” kata  Bondan Andriyanu, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, pada Selasa (21/8), yang dilansir situs greenpeace.org.

Kualitas udara yang buruk, dapat membahayakan kesehatan warga, dan meningkatkan risiko kematian dini. Partikel polutan yang paling berbahaya PM 2.5 dapat terhirup dan mengendap di organ pernapasan. Jika terpapar dalam jangka panjang, PM 2.5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut terutama bagi anak-anak, hingga kanker paru-paru. Selain itu, PM 2.5 dapat meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah yang dapat memicu stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya, serta dapat membahayakan ibu hamil karena berpotensi menyerang janin.

“Ini adalah ancaman kesehatan nyata bagi semua orang, mulai dari balita, anak-anak, atlet dunia yang saat ini berkunjung ke Jakarta, hingga jutaan pekerja yang setiap harinya hilir mudik di Jakarta. Ini adalah kepentingan kita bersama, akses terhadap udara bersih adalah hak hidup masyarakat,” kata Bondan.

Tingkat polusi udara yang sangat tinggi, telah menimbulkan biaya kesehatan dan kerugian ekonomi yang besar.

Pada tahun 2010 penelitian Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa dari total penduduk Jakarta yang mencapai 9.607.787 jiwa, sebanyak 57,8 persen berpenyakit akibat polusi udara. Total biaya kesehatan yang harus dibayar warga Jakarta mencapai Rp 38,5 triliun. 

Penggambaran kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan wilayah tertentu masih mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 (mengenai Indeks Standar Pencemaran Udara), dan belum mencakup parameter PM 2.5.

Sedangkan ambang batas baku mutu PM 2.5 di udara ambien yang kita hirup selama 24 jam, tertuang di dalam Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 (65 mikrogram per meter kubik) dimana ambang batas ini masih hampir tiga kali lebih lemah dibanding standar WHO (25 mikrogram per meter kubik).

Mengingat bahaya PM 2.5 dalam udara yang kita hirup, sudah saatnya indonesia mempunyai standar baku mutu PM 2.5 yang lebih ketat, dan memprioritaskan penambahan stasiun pemantau udara yang juga mengukur angka PM 2.5.

“Hal tersebut harus dilengkapi dengan kajian ilmiah berupa Emission Inventory secara berkala, sehingga keberhasilan kebijakan untuk memperbaiki kualitas udara dapat lebih terukur. Sumber polutan tidak berbatas teritori. Harus diperhitungkan sumber polusi bergerak dan tidak bergerak seperti industri dan pembangkit yang berlokasi di luar Jakarta tetapi menyumbang polusi signifikan sampai ke Jakarta,” kata Bondan.

 

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home