Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 20:57 WIB | Jumat, 29 Mei 2015

Posisi Negara Maju dan Berkembang Jadi Kendala Perundingan Doha

Direktur Jenderal Kerja sama Perdagangan Internasional Bachrul Chairi usai mendampingi Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam International Workshop On Post-Bali Work Programme di Hotel Borobudur Jakarta Pusat, Jumat (29/5). (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan bahwa lebarnya perbedaan posisi antara negara maju dan negara berkembang telah menjadi penghambat penyelesaian perundingan Doha Development Agenda yang dimandatkan oleh Konferensi Tingkat Menteri ke-4 World Trade Organization (WTO) di Doha November 2001.

“Dalam kerangka perundingan Post-Bali Work Programme (PBWP), Indonesia bersama G-33 (negara-negara yang bergabung dalam perundingan isu-isu pertanian) mengusulkan proposal Special Products dan Special Safeguard Mechanism yang akan menjadi katup pengaman proses liberalisasi di sektor pertanian,” kata Rachmat di dalam International Workshop On Post-Bali Work Programme di Hotel Borobudur Jakarta Pusat, Jumat (29/5).

“G-33 dan negara berkembang lainnya menginginkan agar perundingan pertanian didasarkan pada modalitas Rev-4 (sektor pertanian) yang dihasilkan WTO pada Desember 2008. Namun, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada dan Uni Eropa mulai mencari-cari cara untuk meninggalkan Rev-4 karena menganggap sudah tidak mencerminkan kondisi saat ini.”

Kemudian, Rachmat menilai bahwa negara maju memiliki pandangan bahwa Rev-4 tidak lagi mencerminkan peningkatan peran dan beban yang harus ditanggung emerging economies yang perekonomiannya semakin membaik. Modalitas Rev-4 mewajibkan negara maju melakukan pemotongan subsidi dan tarif lebih besar sedangkan emerging economies tetap diperlakukan sebagai negara berkembang yang hanya diminta memotong tarif dengan skala yang lebih kecil.

Selain itu, oposisi negara maju juga makin gencar menentang draft-4 modalitas pada perundingan akses pasar non-pertanian (produk-produk industri) yaitu Rev-3. Sejumlah negara maju seperti AS dan Jepang menyatakan bahwa perundingan tidak dapat lagi menggunakan Rev-3 karena tidak sesuai dengan perkembangan dan modalitasnya terlalu rumit.

Direktur Jenderal Kerja sama Perdagangan Internasional Bachrul Chairi menyatakan bahwa perlu dilakukan upaya keras dan kreatif untuk menyepakati PBWP dan KTM ke-10 di Kenya. Hal ini penting agar WTO tetap menjadi forum utama yang mendukung sistem perdagangan multilateral.

“Saat ini terdapat konstelasi bahwa negara maju keberatan dengan fasilitas negara berkembang yang dinikmati oleh emerging economies. Dengan kondisi tersebut, perundingan PBWP terancam macet,” kata Bachrul.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home