Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 18:07 WIB | Senin, 29 Juli 2019

Potret Ibu Kota dan Kesadaran Warganya Hadapi Kepungan Polusi Udara

Gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta beberapa waktu lalu. (Foto: Antaranews.com/ M Risyal Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kualitas udara ibu kota negara, Jakarta, dalam beberapa bulan terakhir menjadi sorotan dan perbincangan publik, setelah masuk kategori sangat tidak sehat dengan nilai indeks kualitas udara (air quality index/AQI) yang sempat mencapai 216 pada Juni.

Sementara pada dua hari terakhir, kualitas udara Jakarta juga masih tercatat terburuk di dunia, dengan indeks kualitas udara mencapai 189 dan 188 dan masuk dalam kategori tidak sehat dengan konsentrasi parameter PM2,5 sebesar 128,5 ug/m3 dan 128 ug/m3 menurut data AirVisual.

Memburuknya kualitas udara itu, menurut Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Agung Winarno, terjadi seiring dengan kegiatan ekonomi yang bergerak di DKI Jakarta, sehingga menimbulkan pergerakan baik orang maupun barang dan pada akhirnya berdampak terhadap kualitas udara dari kendaraan bermotor.

Ia berkata, berdasarkan hasil kajian, 75 persen sumber pencemaran udara di Jakarta berasal dari transportasi darat.

Data kendaraan di DKI Jakarta, kata dia, menunjukkan bahwa kendaraan pribadi roda empat saja ada sebanyak 3,5 juta kendaraan. Sedangkan kendaraan khusus lain yang berlalu lalang di DKI Jakarta sebanyak 4,7 juta. Sementara kendaraan roda dua atau sepeda motor, berdasarkan data BPS, angkanya mencapai 13,3 juta kendaraan. "Padahal jumlah warga DKI Jakarta itu sekitar 10 juta," katanya.

Itu artinya, lanjut dia, satu warga di DKI Jakarta memiliki lebih dari satu kendaraan roda dua. Jadi paling tidak 17-18 juta yang ada di Jakarta. Angka itu belum termasuk kendaraan-kendaraan yang masuk ke wilayah DKI Jakarta dari daerah sekitarnya yang berjumlah sekitar 1-2 juta kendaraan. "Jadi total sekitar 20 juta kendaraan setiap hari di DKI Jakarta sehingga memengaruhi kualitas udara di sekitar,” katanya.

Selain dari transportasi darat, dia juga menyebutkan sumber pencemar udara lain dari sumber tidak bergerak mulai dari kegiatan industri, pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung di Jakarta, kegiatan domestik atau rumah tangga dan juga pembangkit listrik yang turut menyumbang pencemaran udara di DKI Jakarta.

Dalam kaitan dengan sumber pencemaran dari kegiatan domestik atau rumah tangga dan juga pembangkit listrik, pengamat udara Adriana menyebutkan bahwa kualitas udara Jakarta sesungguhnya dipengaruhi oleh semua tindak-tanduk orang-orang yang tinggal di Jakarta dan orang-orang yang sering datang ke Jakarta.

"Artinya orang-orang ini semuanya memiliki kontribusi terhadap emisi pencemaran udara di Jakarta. Apapun yang kita lakukan sebagai manusia, kita itu akan mengemisikan pencemaran," katanya.

Emisi pencemaran yang dihasilkan oleh warga Jakarta, kata dia, tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor yang mereka gunakan, tetapi setiap kegiatan rumah tangga yang dilakukan warga DKI juga turut andil dalam peningkatan emisi yang menyebabkan pencemaran udara.

"Orang kalau mau masak, menyalakan kompor. Kompor itu mengeluarkan emisi. Emisi dari kompor sama dengan yang dikeluarkan kendaraan bermotor, hanya jumlahnya lebih kecil. Bayangkan ada satu juta orang saja yang menyalakan kompor. Tentu akan menjadi proporsi yang signifikan," katanya.

Ia berkata, jumlah penduduk yang meningkat juga akan meningkatkan emisi yang menyebabkan pencemaran udara di Jakarta. "Jadi sumbernya bukan hanya kendaraan bermotor," katanya.

Hal yang dia maksud adalah gaya hidup juga turut menentukan jumlah emisi di udara, khususnya Jakarta. "Semakin tinggi gaya hidup kita, biasanya emisi yang kita keluarkan semakin banyak, seiring dengan tingkat kebutuhan kita," katanya.

Ia mencontohkan, kebiasaan orang bermain gawai yang menghasilkan emisi dari listrik yang digunakan untuk mengalirkan daya ke gawai itu. Begitu juga dengan kebiasaan menggunakan komputer dan penggunaan listrik lainnya, yang pada akhirnya menjadi gaya hidup dan tidak bisa lagi dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia.

"Karena kita tidak bisa kembali ke zaman batu. Oleh karenanya kita perlu menyiasati supaya bisa seefisien mungkin mengemisikan pencemaran udara," katanya.

Manusia sebagai makhluk hidup, kata dia, sudah tentu akan mengeluarkan emisi seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan gaya hidup. Bahkan ketika seseorang sedang diam saja, orang tersebut, kata dia, akan tetap mengeluarkan emisi berupa gas CO2.

Karena itu semakin banyak jumlah penduduk di DKI Jakarta, gas rumah kaca juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, ia menggarisbawahi bahwa masalah kualitas udara di Jakarta tidak semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah.

"Keberhasilan suatu program lingkungan itu sangat bergantung pada perilaku masyarakat," kata Adriana.

Strategi

Untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentunya juga telah mengambil sejumlah kebijakan.

Winarno berkata, pemegang otoritas pemerintahan DKI Jakarta selalu berusaha meningkatkan perbaikan kualitas udara di DKI Jakarta. "Karena kita semua peduli terhadap kondisi kualitas udara di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta," katanya dalam sebuah acara membahas Kualitas Udara DKI Jakarta.

Ia menyebutkan, kebijakan atau strategi yang telah dan akan terus diupayakan Pemprov DKI adalah dengan meningkatkan layanan angkutan umum massal, mulai dari MRT yang fase keduanya juga sedang berjalan dan kendaraan umum massal lainnya.

Strategi berikutnya adalah dengan meningkatkan perlengkapan uji emisi kendaraan bermotor dan penambahan ruang hijau, serta penanaman pepohonan yang dapat menyerap PM 2,5 di udara yang sebagian besar dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor.

Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berupaya meningkatkan integrasi ruang terbuka hijau dengan jalur pedestrian.

Karena itu, mereka berharap masyarakat bisa mulai beralih menggunakan kendaraan umum massal seiring dengan peningkatan jalur pedestrian yang nyaman bagi warga.

Ia mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga saat ini sedang merencanakan pengadaan bus TransJakarta dengan bahan bakar listrik.

Strategi-strategi tersebut, kata dia, tentunya diharapkan dapat mengurangi emisi, sehingga dapat meningkatkan kualitas udara di DKI Jakarta.

Selain itu strategi-strategi tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menyusun peta jalan Jakarta Air Cleaner 2030 yang memiliki 14 rencana aksi.

Rencana aksi itu terdiri atas upaya peningkatan pengukuran dan monitoring kualitas udara dengan menyiapkan alat pemantauan kualitas udara, yang ditargetkan akan sebanyak 25 alat pemantau dan tersebar di seluruh wilayah DKI, sehingga bisa mewakili informasi tentang kualitas udara di Jakarta.

Berikutnya adalah dengan penerapan uji emisi kendaraan bermotor yang selanjutnya akan dikaitkan dengan kebijakan parkir.

"Jadi ke depan parkir-parkir yang masuk ke DKI harus lulus uji emisi kalau tidak lulus, kita akan berlakukan dengan tarif parkir yang berbeda," katanya.

Pemegang otoritas pemerintahan DKI Jakarta juga berupaya menyediakan bahan bakar ramah lingkungan, berupa listrik dan pengembangan kawasan bebas kendaraan bermotor dengan membuat zona bebas kendaraan, selain menambah jalur sepeda termasuk pedestrian dan meningkatkan ruang terbuka hijau dengan target di atas 50 setiap tahun.

Sementara itu, mereka juga akan meningkatkan infrastruktur penghubung ke sarana transportasi umum dan mengendalikan kualitas udara pada kegiatan industri, dengan menggunakan alat pengendali emisi dan pengenaan sanksi bagi para pelanggar.

Harapan

Penyusunan peta jalan tersebut diharapkan dapat mengendalikan pencemaran udara di DKI Jakarta semaksimal mungkin dengan target konsentrasi parameter PM2,5 sebesar 25 mikrogram/m3 pada 2030.

Namun demikian, Winarno mengakui kebijakan yang diambil itu tidak akan maksimal tanpa peran serta dari masyarakat, khususnya yang tinggal di Jakarta dan harus diberi dukungan dan peran aktif masyarakat dalam pengendalian polusi udara di Jakarta.

Beberapa aksi yang bisa dilakukan warga untuk bersama-sama memperbaiki kualitas udara di DKI Jakarta adalah dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan kendaraan umum massal.

Berikutnya adalah dengan menggunakan kendaraan nol emisi dengan beralih menggunakan sepeda, sepeda listrik, atau berjalan kaki.

Saat ini, menurut dia, sudah mulai banyak penggunaan kendaraan listrik dan bahkan ada penyewaannya, sehingga masyarakat diharapkan bisa beralih ke moda transportasi semacam itu.

Bagi warga yang lebih memilih berjalan kaki, Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan pedestrian yang cukup nyaman seiring dengan penambahan jalur khusus untuk sepeda, dan penanaman jenis pohon yang dapat menyerap CO2 cukup tinggi.

Partisipasi lain yang dapat dilakukan masyarakat adalah dengan melakukan uji emisi dan merawat kendaraan.

Sementara itu, Agung juga meminta kepada warga di DKI Jakarta untuk tidak membakar sampah, karena delapan persen dari sumber tidak bergerak yang mencemari udara di Jakarta, kata dia, berasal dari kegiatan domestik seperti pembakaran sampah. (Antaranews.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home