Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 14:30 WIB | Selasa, 26 November 2019

Presentasi Perupa Muda dalam “Dol!”

Presentasi Perupa Muda dalam “Dol!”
Manfish – benda temuan logam – 60 cm x 24 cm x 18 cm – Yusuf Ferdinan Yudhistira – 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Presentasi Perupa Muda dalam “Dol!”
Siklus – arang dan pensil di atas kayu – 100 cm x 100 cm – Agam Akbar Pahala – 2019.
Presentasi Perupa Muda dalam “Dol!”
We’re all The Same – airbrush di atas resin – 110 cm x 45 cm x 20 cm – Andi Andryan Mallaena – 2019.
Presentasi Perupa Muda dalam “Dol!”
Binger (Riuh) – rontek dalam berbagai ukuran – Wisnu Aji Kumara – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sepuluh perupa muda yang tergabung dalam kelompok LUP community menggelar pameran bersama bertajuk “Dol!” di Studio Kalahan. Pameran dibuka Rabu (20/11) malam.

Kesepuluh perupa muda tersebut adalah Agam Akbar Pahala, Agung Nugroho, Andi Andryan Mallaena, Benedicta Anindya, Fananantsoa Jean Eddy, Thoriq Bidar Dardiri, Wisnu Ajitama, Wisnu Aji Kumara, Yanuar Ikhsan Pamuji, dan Yusuf Ferdinan Yudhistira.

Pengajar seni rupa ISI Yogyakarta M Dwi Marianto memberikan catatan menarik tentang tema pameran “Dol” dalam beberapa terminologi. “Dol”, adalah sebuah kata biasa sehari-hari, sering dipakai untuk mengatakan keadaan suatu elemen, atau komponen, dari sesuatu – mesin, atau instalasi. Sekrup dan baut yang ulirnya aus, sehingga tak lagi punya daya cengkeram, disebut ‘dol’.

“Dol’ terjadi karena frekuensi pemakaiannya sudah melewati ambang batas, atau karena memang ada kerusakan khusus akaibat pemakaian yang terus-menerus. Alat, perkakas, elemen, atau komponen yang sudah ‘dol’ - tuna nilai guna – biasanya dibuang, digantikan dengan sesuatu yang lain. Kata ‘dol’ dapat dipakai sebagai secara harafiah, untu suatu keadaan yang memang sudah ‘usang’/‘logro‘/’aus’.

Kemungkinan besar kata ‘dol’ berasal dari bahasa Belanda, sebab acap berkait dengan kata ‘onderdeel’/sparepart dari suatu mesin atau mobil. Kata ‘dol’ dari bahasa Belanda bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris via Google Translate jadi ‘crazy’. Maka kata ‘dol’ dapat diartikan sebagai keadaan ‘tak waras’. “Dol” dapat diartikan sebagai sebuah kata yang mereka pakai untuk mengartikan tatanan sosio-kultural yang ‘demokrasi-nya’ sudah kebablasan. “Rem sosial’ masyarakat dapat disebut ‘blong’, yaitu ketika aspek sosial sudah tak lagi berfungsi.

Dol dalam terminologi ‘usang’/‘logro‘/’aus’ yang disampaikan Dwi Marianto dalam kosa kata bahasa Jawa sendiri penulisannya menggunakan ‘h’, dhol. Meskipun begitu, perspektif Dwi Marianto tetap memiliki relevansi terhadap karya sepuluh perupa muda tersebut.

Tak kalah signifikannya Dwi Marianto menambahkan, kata ini apabila diletakkan dalam konteks bahasa Jawa, artinya ‘jual’. Di-dol artinya dijual. Kata ‘dodolan’ artinya berjualan. “Ngedol’ artinya menjual. Kata ‘kemedol’ artinya sesuatu yang secara fisik menarik, dan memiliki potensi besar terjual.

Catatan Dwi Marianto menjadi penting dan menemukan relevansinya mengingat pameran ini telah digagas beberapa bulan sebelum hari H – 20 November 2019 – di saat masyarakat Indonesia seakan terbelah dua lantaran Pemilu Legislatif dan Eksekutif 2019, yang seru dan berderu-deru. Kira-kira sekitar bulan Juli, Agustus, dan September, wacana dan tema pameran sudah bergulir. Isyu-isyu yang beredar di masa itu berasal dari dua kelompok, yang dulu disebut Kelompok Kecebong dan Kelompok Kampret.

Toleransi yang diidealkan untuk masyarakat yang bhinneka tak terjadi, yang muncul adalah berbagai macam intoleransi yang dangkal. Banyak orang dikondisikan berfikir linier, terkotak-kotak; keadaan jadi aneh dan tidak nyeni sama sekali. Agama-agama justru kehilangan peran sejatinya, bukan mendamaikan, malahan memanaskan suasana. Isyu-isyu berkaitan dengan agama laris-manis, jadi media propaganda dan mobilisasi, dijual murah dengan berbagai cara murahan. Dan, celakanya banyak pemirsa dan penggemarnya.

Dalam akhir catatannya Dwi Marianto menuliskan bahwa hoax-hoak berseliweran seperti perang santet, dipakai untuk saling membunuh karakter pihak lain. Cara berfikir banyak orang dikondisikan jadi ‘dol’, tak lagi waras. Tanda-tanda diakali bukan untuk syiar kebenaran, namun untuk sebaliknya, sebagai media penyesatan. Teknologi disalahgumakan, banyak orang terhipnotis; hanya taat, dan maunya melulu mendengar suara sendiri atau kelompoknya. Secara nalar mereka tahu bahwa hoax itu buruk, namun dalam keadaan sosial ‘dol kendali’ hoax jadi stimulus nafsu. Inilah serba-serbi sosial ketika mereka merangkai ide masing-masing jadi konsep pameran mereka.

Sepuluh rontek berwarna merah dengan tulisan putih dari pendapat beberapa peneliti-budayawan serta nilai-nilai lama yang masih dipertahankan di masyarakat Wetu Telu (Sasak-Lombok) dieksplorasi Wisnu Aji Kumara dalam karya instalasi berjudul “Binger (Riuh)” memanfaatkan rontek (roundtag): “Kemunculan Islam ortodoks dan varian Islam Wetu Telu di Lombok adalah karena dinamika politik, Idealisme Islam yang terpusat pada kepercayaan tentang kemahakuasaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan tidak memiliki manifestasi praktis maupun implementasi di kalangan Wetu Telu”. “Konsep ideologis dan kosmologis masyarakat Wetu Telu Bayan tidak mudah bersanding dengan keyakinan pada ke-Esa-an Tuhan. Wetu Telu bukan kepercayaan, bukan konsep agama”. “Wetu Telu, pemikiran filsafat tentang keberadaan sesuatu di dunia yaitu tiga eksistensi dengan berbagai varian sesuai konteksnya.”

Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam yang hanya menjalankan tiga rukun Islam, yaitu membaca dua kalimah syahadat, salat dan puasa. Ketiga rukun Islam tersebut, cukup dijalankan oleh kyai selaku pemimpin agama yang menghubungkan mereka dengan Allah. Disinyalir bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak secara bertahap.

Empat batang korek api besar yang telah terbakar ujungnya menjadi eksplorasi Yanuar Ekhsan Pamuji dalam karya berjudul Amorfati. Bukan mengutuki kegelapan, namun membiarkan dirinya terbakar dalam api untuk terangnya lingkungan sekitar. Ada banyak cara menjalani takdir sebagai sebuah kecintaan hidup. Dan dalam Amorfati, Yanuar seolah membiarkan dirinya terbakar untuk hadirnya sebuah nyala api kehidupan. Bisa jadi sebuah tragedi pihak lain. Namun itulah pilihan Yanuar mencintai takdirnya.

Lost and found, mengais barang-barang yang tercecer dan merangkainya kembali dalam ingatan kolektif dilakukan dua perupa muda Yusuf Ferdinan Yudhistira dan Andi Andryan Mallaena pada karya-karyanya. Dalam karya berjudul Manfish dan Tromonto Drago, Yusuf Ferdinan merangkai ulang barang-barang yang ditemukan secara tidak sengaja baik yang ada dalam tempat tinggalnya ataupun saat menyusuri jalan-jalan. Sebagian barang tersebut sebenarnya masih bisa difungsikan seperti penggulung benang mesin jahit, gelang asesoris, rantai-rantai kecil, batang kawat menjadi karya instalasi baru yang bisa jadi merupakan rangkaian perjalanan-cerita yang telah dijalani oleh barang-barang yang ditemukan Yusuf. Dramatika apa yang sedang ditampilkan Yusuf? Ada baiknya Anda menyaksikan sendiri karya-karya tersebut.

Sementara pada sebuah fender depan mobil yang ditemukannya Andi “Acho” Andryan Mallaena melukiskan narasi sekuel sejarah masyarakatnya: Sulawesi Selatan. Dalam karya berjudul Ancentral Tradition, Acho seolah meleburkan dua peristiwa : sekuel perjalanan Celebes di atas artefak mobil kuno. Dua kondisi yang mewakili jaman yang berbeda, dengan membiarkan sebagian fender tetap dalam kondisi lusuh-berkarat (rusty doff) di sisi lain Acho melukiskan sekuel sejarah dalam lukisan hyperrealis yang glossy sebagau ikhtiar menyandingkan dua tradisi dalam perjalanan waktu.

Pameran perupa muda bertajuk “Dol!” di Studio Kalahan  Jalan Patukan 50 RT 1 RW 20, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta berlangsung hingga 27 November 2019.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home