Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 14:44 WIB | Jumat, 21 Oktober 2016

Pungli, Satgas Cengeng, Rakyat Takut

SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo akan membentuk satuan tugas sapu bersih pungutan liar (Saber Pungli), untuk menghabisi praktik kejahatan ini di kalangan birokrasi dan pegawai negeri. Sejak inspeksi mendadak menargetakan Direktorat Perhubungan Laut, pekan lalu, pembersihan Pungli juga menjerat pelaku di tempat lain. Mereka ada yang dipecat, termasuk kepala sekolah di lingkungan pendidikan di Jawa barat.

Situasi ini sebenarnya sangat memalukan dan merendahkan martabat bangsa Indonesia. Sebab, Pungli telah merajalela di semua bidang, semua wilayah dan semua tingkatan. Upaya memberantas Pungli sudah dilakukan sejak tahun-tahun awal republik ini, tetapi tanpa kesungguhan, dan hasilnya praktik dan jaringan Pungli justru makin kuat.

Kerugian secara finasial yang ditanggung rakyat akibat Pungli sangat besar. Namun yang lebih besar adalah kejahatan ini telah menjadi musuh pembangunan bangsa, dan merusak sistem secara masif. Oleh karena itu, situasi ini harus dinyatakan sebagai darurat Pungli dan diperlukan upaya ekstra secara hukum maupun konsistensinya.

Selain itu, praktik Pungli sudah harus dilihat sebagai kejahatan, bukan sekadar pelanggaran disiplin kepegawaian. Jika melihat akibatnya, Pungli tidak kurang merusak ketimbang korupsi. Bedanya, uang dalam Pungli tidak besar, tetapi terus-menerus dan skalanya masif, sehingga secara total kerugianya sangat besar.

Konsekuensi sebagai kejahatan, mereka yang ditangkap harus diadili berdasarkan hukum pidana, bukan hanya hanya dipecat setelah mengumpulkan kekayaan melalui Pungli.  Akan makin tidak efektif lagi jika hanya pelakunya hanya beri peringatan, diturunkan jabatan, atau dimutasi. 

Pos Pengaduan Abal-abal

Kegagalan pemberantasan Pungli selama ini berpusat pada tindakan hanya sebatas gebragan dan sementara. Soch therapy yang dilakukan, sama sekali tidak mengejutkan pelaku Pungli, sebaliknya justru mereka memperkuat jaringan, dan melegalkan dengan keluarnya keputusan organisasi.

Gebragan biasanya dilanjutkan dengan pejabat membentuk pos pengaduan agar rakyat melaporkan praktik Pungli dan menjanjikan akan menindak-lanjuti. Namun umumnya hal itu dikelola sebagai pos pengaduan abal-abal. Telefon tidak direspons, bahkan sering dikenal sebagai nomor tulalit.

Pos pengaduan seperti ini hanya menjadi bahan olok-olokan kegegalan mengalahkan Pungli. Sumbernya adalah pos pengaduan ini dikelola oleh pejabat atau pegawai ‘’cengeng’’. Mereka menuntut laporan masyarakat secara lengkap dengan seluruh barang bukti; sesuatu yang naif, karena pelaku Pungli tidak ‘’bodoh’’ untuk memberikan bukti penerimaan uang.

Jika Satgas Saber Pungli yang dibentuk Jokowi sama ‘’cengengnya’’, maka nasibnya justru akan semakin buruk. Satgas haruslah responsif, memberi reaksi secepatnya, sebelum pelakunya mempunyai bukti untuk mengelak dari kejahatan itu. Satgas juga harus sigap dan berkemampuan mengejar bukti yang diperlukan, bukan pasif menunggu warga memberi bukti secara lengkap.

Konsistensi Tindakan

Keberhasilan pemberantasan Pungli ini juga sangat bergantung pada konsistensinya. Membangun birokrasi yang bersih tidak boleh hanya dilakukan sebagai upaya ad hoc, karena, ini bagian dari pelaksanaan pengawasan. Adanya Satgas menadai hal ini sebagai situasi darurat Pungli, karena unit pengawasan yang ada, seperti inspektorat, tidak berfungsi.

Pungli yang sangat masif sekarang ini adalah fakta kegagalan reformasi dalam menjangkau birokrasi. Mentalitas mereka masih sebagai penguasa yang memeras rakyat. Partai politik dan pemerintahan sejauh ini hanya beretorika saja untuk membangun budaya birokrasi yang bersih. Kementerian Pemberdayaan Aparatur Kegara (kemudian namanya ditambah dengan Reformasi Birokrasi) juga tidak melakukan langkah yang efektif, dan tidak jelas konsepnya.

Masalah pungli ini harus ditempatkan pada pembangunan budaya birokrasi yang bersih dan melayani. Satgas ini jika diperlukan juga harus bekerja terus, bukan hanya sampai birokrasi bebas dari pungli, tetapi hingga terbentuk budaya birokrasi yang bersih dan melayani.

Lebih dari Masalah Uang

Perubahan mind set juga harus terjadi pada Satgas Saber yang dibentuk Jokowi, terutama melihat praktik pungli tidak sekadar soal adanya uang yang dipungut secara tidak resmi dari warga masyarakat. Jika terbatas pada masalah uang, pelaku Pungli sangat lihai untuk menyembunyikan bukti seperti pada pelaku kejahatan korupsi.

Masalah ini harus menekankan perilaku birokrasi dalam memenuhi standar pelayanan terutama terkait persyaratan, waktu dan biaya. Sebab, permainan dalam standar ini yang ‘’memojokkan’’ warga masyarakat, sehingga mereka terpaksa menawarkan uang. Misalnya agar proses keluarnya dokumen tepat waktu. Cara ini biasa dilakukan pelaku Pungli untuk mendapatkan alibi dan mengatan sebaliknya sebagai korban suap.

Oleh karena itu, pemberantasan Publi harus disertai standar pelayanan yang transparan dan diketahui oleh publik dengan mudah. Sampai sekarang keluarnya izin, misalnya untuk mendirikan bangunan, tidak jelas berapa lama akan ada jawaban. Hal seperti ini bahkandialami oleh warga yang telah memenuhi persyaratannya.

Dengan begitu, Satgas Saber Pungli bukan hanya menangkap dan memecat pegawai yang terbukti menerima uang, tetapi pegawai yang tidak bertindak sesuai standar pelayanan publik harus ditindak. Sebab, perilaku yang terakhir ini yang menyuburkan Pungli, bahkan yang membuka habitat subur bagi calo.

Mengatasi Ketakutan Warga

Kegagalan memberantas Pungli umumnya karena pemerintah gagal mengatasi rasa takut warga masyarakat atau melindungi pelapor. Laporan yang tidak direspon, membuat pelapor frustrasi; Satgas yang menuntut bukti dan tidak mengejar bukti, membuat warga enggan melapor;  warga yang diketahui melapor berada dalam risiko balas dendam oleh pelapor.

Jadi Satgas harus mengatasi rasa frustrasi, keengganan dan risiko balas dendam yang dialami warga. Jika tiga hal ini tidak terpenuhi, pos pengaduan akan sepi, sementara pelaku terus berpesta dari uang Pungli. Lebih celaka Lagi jika Satgas bagian dari jaringan Pungli. Selanjutnya, bersiaplah Jokowi dan Satgasnya menjadi bahan olok-olok yang makin sinis.

Sebagai contoh, orangtua yang melaporkan Pungli di sekolah tempat anaknya belajar, menghadapi risiko besar, terutama pada anaknya. Pelaku Pungli (kepala sekolah atau guru) mungkin dipecat, atau hanya dimutasi, tetapi anak itu akan menjadi sasaran balas dendam guru lain yang dibakar semangat ‘’esprit de corp’’.

Satgas harus menempatkan laporan warga sebagai bukti awal, dan harus mengejar bukti lain yang lebih kuat. Ini untuk melindungi pelapor, karena mereka berjasa untuk membangun budaya birokrasi yang bersih. Tidak selayaknya pelapor dibiarkan menghadapi risiko sendiri. Sebab, jaringan Pungli memang sangat kuat dan sangat mungkin melakukan balas dendam.

Satgas harus paham bahwa pelapor adalah korban Pungli, dan tidak pantas menjadi korban kedua kali karena balas dendam, akibat laporannya tidak direspons dengan semestinya. Jika ini diwujudkan, rakyat akan mendukung Satgas dan bekerja bersama Satgas untuk mengakhiri era birokrasi kotor penuh Pungli.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home