Loading...
OPINI
Penulis: Albert Hasudungan Hutasoit 00:00 WIB | Kamis, 26 Maret 2015

Quo Vadis Pengakuan Tanah Adat?

SATUHARAPAN.COM – Indonesia masih mengabaikan hak-hak masyarakat adat karena nihilnya peta masyarakat adat dalam peta resmi Indonesia (Sinar Harapan, 17/2/2015). Selain itu, tidak masuknya rancangan undang-undang pengakuan tanah masyarakat adat pada program legislasi nasional (PROLEGNAS) periode 2015-2019 telah menjadi tanda tanya komitmen pemerintah memperdulikan nasib masyarakat adat.

Meskipun Mahkamah Konstitusi Indonesia memberikan pengakuan tentang pengakuan tanah adat, namun absennya peraturan pendukung dan nihilnya peta adat dalam peta resmi Indonesia masih membuat lemahnya posisi hukum atas pengakuan tanah adat di Indonesia.

Masyarakat adat telah ada sebelum negara Indonesia resmi didirikan. Masyarakat adat sendiri telah memiliki nilai dan kearifan lokal untuk mengelola hutan disekitarnya secara lestari . Sebagai contoh, di Sumatra Utara, masyarakat adat lokal tidak bisa sembarangan membabat hutan yang dilindungi nenek moyangnya, sehingga rimbunnya tanah hutan nenek moyang mereka dapat terjaga dengan aturan adat itu.

Namun, kebijakan sumberdaya alam seringkali mengeksklusifkan diri dengan tidak mengakui peran masyarakat adat dalam manajemen sumberdaya alam. Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial yang merugikan masyarakat adat. Keberadaan kebijakan kehutanan kurang menganggap eksistensi tanah masyarakat adat ketika negara memanajamen sumberdaya alam di Indonesia. Sebagai contoh, undang-undang kehutanan tahun 1999 mengklaim bahwa sebagian besar hutan di Indonesia adalah hutan negara, walaupun masyarakat ada dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan.

Selain itu, dalam kawasan hutan konservasi, negara dapat menindak orang yang memasuki kawasan konservasi tanpa mendapat ijin dari pemerintah terkait. Namun, orang rimba telah ada sebelum negara berdiri. Sebenarnya mereka tidak manusiawi untuk ditindak, karena hutan adalah rumah mereka. Ketidakpastian hukum justru melemahkan mereka dalam mempertahankan tempat tinggal mereka di hutan.

Pemerintah Indonesia berulangkali menyerukan pentingnya sektor pertanian untuk memberikan kesejahteraan pada daerah pedesaan. Kelapa sawit adalah salah satu sektor unggulan komoditas pertanian Indonesia. Kementrian pertanian Amerika saja mencatat bahwa lebih dari 50 persen produksi kelapa sawit dunia berasal dari Indonesia pada tahun 2013.

Namun, posisi tanah adat yang lemah di hadapan hukum membuat masyarakat termarjinalkan dalam pengusahaan kelapa sawit di Indonesia. Data Badan Pusat Stastik menunjukkan bahwa produksi minyak kelapa sawit didominasi perusahaan perkebunan besar. Pada tahun 2013, produksi minyak sawit perkebunan besar mencapai 17.39 juta ton, sementara perkebunan rakyat hanya 9.5 juta ton. Apabila kita hitung dan prosentasikan, lebih dari 60 persen produksi sawit berasal dari perusahaan besar. Bahkan, dari perkebunan rakyat tersebut, ada petani kecil yang terikat skema kontrak dengan perusahaan besar.

Peraturan perkebunan memang mewajibkan adanya analisis dampak lingkungan dalam mendirikan sawit. Permasalahannya, masyarakat tidak mempunyai posisi hukum tanah yang kuat dalam menyuarakan aspirasinya, apabila tanah mereka kurang diakui negara.

Dalam kenyataannya, konflik dan perebutan lahan adat banyak terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, Walhi (Wahana Lingkungan hidup) mencatat, total konflik agraria mencapai 1391 konflik selama tahun 2004-2014, dengan areal konflik sebesar 5.9 juta hektar. Sekitar 926 ribu kepala keluarga harus dihadapkan pada ketidakadilan agrarian dan konflik berkepanjangan.

Pihak luar negeri sendiri terlihat lebih memperdulikan keadaan masyarakat adat dibandingkan pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (UN-REDD) memperhatikan dan mengambil langkah-langkah serius untuk memasukkan pengakuan tanah adat dalam agenda konservasi dunia.

Akan tetapi, para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seakan mengacuhkan rancangan undang-undang pengakuan tanah adat yang diajukan oleh representasi masyarakat adat. Para wakil rakyat ini sebenarnya digaji besar. Para wakil rakyat diberikan hak dan fasilitas yang istimewa dalam proses rancangan undang-undang, contohnya seperti hak interpelasi. Sebenarnya mereka punya kapasitas untuk memperjuangkan masyarakat adat yang dimarjinalkan oleh negara selama ini.

Mereka bisa melanggeng di Senayan karena juga jasa dari masyarakat lokal yang menyumbangkan suaranya supaya para wakil rakyat ini terpilih. Nyatanya, pembahasan rancangan undang-undang ini ditunda dan tidak akan dibahas dalam program legislasi nasional nanti.

Undang-Undang Dasar 1945 menuliskan dalam kewajiban negara dalam melindungi dan memberikan kemakmuran untuk seluruh masyarakt Indonesia. Masyarakat adat adalah elemen penting bangsa Indonesia. Kealpaan negara dalam memberikan kepastian hukum ini cukup berlawanan dengan tujuan pendiri bangsa Indonesia untuk mensejahterakan dan melindungi rakyatnya.

Masyarakat adat sudah terlanjur tergantung pada hasil hutan untuk menghidupi mereka. Kalau mereka diusir dari tanah adatnya, cukup sulit bagi mereka bertahan hidup di perkotaan. Di perkotaan, banyak perusahaan menuntut tingkat pendidikan dan keahlian yang tinggi untuk bersaing demi mendapat pekerjaan dan penghasilan. Sementara, masyarakat adat di daerah sana masih termarjinalkan dengan minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan untuk mencerdaskan kehidupan mereka.

Apabila negara kita masih kurang mengakui masyarakat adat, di masa depan nanti ketika anak kita bertanya di mana letak tanah moyang adat kita, dengan sangat terpaksa kita menjawab itu masih belum diakui di peta resmi pemerintah.

Bahkan, tekanan perusahaan besar menggusur wilayah adat membuat langkanya kawasan tanah adat di Indonesia ini. Cerita tentang moyang dan adat kita punah dan digantikan dengan cerita tentang mesin-mesin pembangunan yang dioperasikan perusahaan besar di pedesaan dengan lemahnya pengakuan tanah adat dalam kerangka hukum di Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Sekolah Geosains, Jurusan Sumberdaya alam dan geografi manusia, Universitas Sydney Australia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home