Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 08:58 WIB | Rabu, 01 Juni 2016

Rakyat Inggris Terbelah Jelang Referendum

Sebuah jajak pendapat terbaru yang dilakukan oleh Observer menunjukkan 43 persen warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa sedangkan 39 persen menyatakan tetap bertahan. Selebihnya belum menentukan pilihan. (Foto: dailymail.com)

LONDON, SATUHARAPAN.COM– Politikus dan pemimpin dunia mendominasi berita utama dalam kampanye referendum Inggris terkait keanggotaannya di Uni Eropa. Namun pertarungan lebih memanas demi nasib negara itu juga dilakukan para aktivis di jalan-jalan.

Sebuah stan terlihat di distrik Fitzrovia London pekan lalu, Sheila Hawkins berupaya membujuk para pekerja di jam makan siang bahwa keluar dari Uni Eropa (UE) atau lazim disebut Brexit, dalam referendum 23 Juni, akan berbuah 'bencana.'

Saat berdiri di sudut jalan sambil membagi-bagikan selebaran, para pensiunan itu menjadi relawan pendukung kampanye Britain Stronger In Europe untuk meredam kecemasannya terkait dampak yang akan timbul dari Brexit.

“Saya begitu cemas, saya berpikir – berhenti mengkhawatirkannya dan berbuat sesuatu,” katanya kepada AFP.

Berlokasi di samping sebuah toko penjual kacamata, stan itu memutar musik-musik blues lewat pengeras suara. Tampak tumpukan selebaran yang berisi manfaat bertahan di UE dalam melindungi hak pekerja atau mengatasi perubahan iklim.

Hawkin menjabarkan alasan untuk bertahan di pasar tunggal UE kepada Awo Davis, produser berusia 45 tahun, yang menyatakan bahwa dirinya belum menentukan sikap dalam referendum nanti.

“Saya kurang yakin dengan UE, namun sekali lagi saya juga tidak percaya bahwa UE tidak berfungsi sama sekali,” ujar Davis, seraya mengeluhkan minimnya informasi yang tidak netral.

Sedangkan Haran, mahasiswa berusia 19 tahun yang berhenti untuk mengambil stiker kampanye, mengecam mereka yang ingin keluar dari UE, terlepas dari keinginan mereka untuk menegaskan kembali kedaulatan Inggris.

Mereka “pikir mereka akan memperjuangkan kemerdekaan, itu semua hanya retorika,” kecamnya.

Dia mengulangi peringatan dari Perdana Menteri David Cameron, bank sentral Inggris dan Dana Moneter Internasional mengenai risiko ekonomi akibat keluar dari UE.

“Perusahaan-perusahaan akan merugi dan kami akan masuk ke dalam resesi parah lainnya,” ujarnya.

Perdamaian dan Demokrasi

Namun, Clive Pool (57), menegaskan Inggris bisa berkembang di luar UE – dan menolak semua upaya yang menyatakan negara itu akan mengorbankan keamanannya dengan berjalan sendirian.

Aktivis pensiunan, Jannet Taylor, menjadi cukup emosional saat dia menjelaskan keuntungan bersejarah dari keanggotaan di UE.

“Jadi Anda akan berpaling dari semua orang yang berjuang demi Eropa selama seabad terakhir, dan perdamaian yang dibawa UE kepada kita?" tanyanya.

“Anda tidak pernah mendengar NATO. Itu tidak ada kaitannya dengan UE!” tegas Pool.

Dia melanjutkan “saya akan memilih keluar dan mengimbau sebanyak mungkin orang untuk mengembalikan demokrasi dan hukum kita, yang dibuat oleh perwakilan terpilih yang bisa kita singkirkan,” kata Pool.

“Anda tidak suka dengan David Cameron Anda bisa menyingkirkannya. Jika Anda tidak suka dengan (Presiden Komisi Eropa) Jean-Claude Juncker, Anda tidak bisa melengserkannya.”

Kehilangan Identitas

Pada hari berikutnya, beberapa kilometer di wilayah pinggiran Croydon, London, sejumlah aktivis pendukung kampanye “Vote Leave” keluar menyusuri jalan-jalan pada sore hari.

James Bradley (38) memegang selebaran di tangannya, lalu membunyikan bel sebuah rumah sederhana milik Desiree Peacock.

Pemilik berusia 60 tahun itu membuka pintu sambil memegang makanan di tangannya, dan melihat slogan kampanye Bradley, langsung memotongnya saat aktivis itu mulai memperkenalkan dirinya.

“Saya memilih keluar,” katanya, sebelum mengeluhkan tentang masalah imigran di wilayah UE- yang para pendukung Brexit sebut hanya bisa dihentikan dengan keluar dari blok tersebut – dan kewenangan yang dimiliki Brussel.

“Itu tentang kehilangan identitas kami sebagai negara. Saya tidak meyukainya – saya ingin Inggris kembali,” katanya.

Tidak jauh dari jalan itu, pekerja bangunan Marcin Kurdzialek (34) asal Polandia berdiri di samping mobilnya sambil menyaksikan kampanye para aktivis itu dengan penuh perhatian.

Dia tidak bisa memberikan suara dalam referendum, namun dia berutang atas pekerjaannya karena aturan kebebasan perpindahan UE. “Saya merasa kasihan kepada mereka yang tidak mendapatkan peluang seperti yang saya miliki”.

Referendum akan dilangsungkan pada 23 Juni 2016, untuk menanyakan pendapat rakyat Inggris apakah akan bertahan di UE atau keluar. Referendum dilaksanakan sesuai dengan janji PM Inggris, David Cameron saat kampanye, yang mengatakan akan melaksanakannya bila ia menang. Dorongan untuk diadakannya referendum muncul dari dalam Partai Konservatif, partai darimana Cameron berasal dan dari Partai Independen. Alasannya, sejak 1975 ketika Inggris menyatakan bertahan di UE, belum pernah lagi rakyat Inggris ditanyai tentang sikap terhadap UE. Padahal, UE sudah banyak berubah setelah itu. (AFP/Ant)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home