Loading...
HAM
Penulis: Wim Goissler 14:39 WIB | Rabu, 17 Mei 2017

Rambut Gimbal jadi Simbol Perjuangan Pembebasan Papua

Rosa Moiwend, seorang periset independen dan aktivis gerakan penentuan nasib sendiri Papua, (Foto: New Internationalist)

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Rambut gimbal dan keriting adalah ciri khas Orang Asli Papua (OAP). Namun, apa jadinya bila satu-satunya yang tersisa sebagai kebanggaan dan simbol identitas mereka, hendak direggut juga?

Jadilah dia simbol perlawanan.

Hal ini tergambar dari kisah Rosa Moiwend, seorang periset independen dan aktivis gerakan penentuan nasib sendiri Papua, yang ia tuturkan kepada Veronica Koman, seorang pengacara HAM untuk Papua. Kisah itu kemudian diterbitkan sebagai bagian dari liputan tentang Papua oleh majalah New Internationalist,sebuah media independen yang berbasis di London dan mengkhususkan diri dalam reportase investigatif di bidang HAM, politik, sosial dan keadilan lingkungan.

Media yang telah mendapatkan berbagai penghargaan internasional ini (antara lain dari Amnesty International dan PBB) mengkhususkan edisi bulan Mei-nya untuk menampilkan  gerakan penentuan nasib sendiri di Papua dari berbagai sudut, yang di dunia internasional kini semakin mendapatkan panggung.

Salah satu bagian dari edisi khusus itu, menampilkan suara-suara dari kalangan akar rumput, seperti Rosa Moiwend dan empat orang Papua lainnya. Narasi yang ditampilkan ini, dapat menjadi gambaran faktual tentang apa dan bagaimana gerakan yang memperjuangkan penentuan nasib sendiri di Papua, yang kurang banyak terungkap selama ini.

"Hidup di Papua berarti selalu ada sesuatu yang terjadi yang mengingatkan kami pada pendudukan," kata Rosa, memulai ceritanya.

"Kami melihat diskriminasi, rasisme dan kekerasan di depan mata setiap hari," lanjut perempuan yang bermukim di Jayapura itu.

Kakek dan neneknya mengalami (masa) Tri Komando Rakyat (Trikora, tahun 1961), yang menurut hemat dia tak lain dari invasi militer oleh Indonesia.

"Saat itu, keluarga saya tinggal di desa Ninati di selatan. Sebagian besar keluarga harus melarikan diri menyeberangi perbatasan ke Papua Nugini - hanya kakek saya yang tinggal. Desa tua kami itu sekarang telah dihuni oleh suku-suku lain, dan kami telah kehilangan kontak dengan semua keluarga yang melintasi perbatasan. Itu adalah kerugian pribadi terbesar bagi keluarga kami," kata Rosa.

Bagi Rosa, apa yang ia pandang sebagai pendudukan  Indonesia atas Papua bukan hanya soal teritorial, tetapi juga mengubah pola pikir OAP dan mengubah bagaimana OAP melihat diri mereka sendiri.

"Kami diajarkan hal-hal yang salah di sekolah, terutama tentang sejarah kami. Ini adalah semacam perbudakan mental: ajaran dan doktrin Indonesia mengatakan kepada kami 'karena kami orang Papua, kami pantas diperlakukan tidak adil', dan kami tidak sadar telah menerima ini," kata dia.

Rosa mengatakan identitas Papua mereka lama-lama seakan berubah menjadi Indonesia. Dan ia memandang hal itu berbahaya sebab itu adalah inti diri mereka sebagai Papua.

"Kami berubah menjadi seperti orang Indonesia. Standar kami diubah menjadi standar Indonesia."

Mengalaminya Langsung

Rosa tak hanya membual. Semua yang ia ungkapkan itu berangkat dari pengalamannya langsung. Soal diskriminasi dan soal pemaksaan identitas.

"Saya dulu adalah pembaca berita sore di sebuah acara TV lokal. Dulu saya memiliki rambut gimbal pendek. Produser meminta saya untuk mengubah gaya rambut saya. Dia menyuruh saya meninggalkan gaya rambut gimbal dan meluruskan rambut saya sehingga terlihat 'lebih rapi', sesuai dengan standar TV nasional. Saya menolak, lagi pula yang saya bawa adalah acara Lensa Papua, seharusnya menunjukkan bagaimana Papua yang sebenarnya, tetapi mereka ingin mengubah saya. Mereka kemudian memindahkan saya ke bagian di luar kamera, dan saya berhenti," kisah Rosa.

Sampai hari ini Rosa masih memelihara rambut gimbalnya.

Ia kemudian mengenang ketika pada 16 Maret 2006 di Jayapura, setiap orang yang berambut gimbal ditangkap dan rambut mereka dipotong. Ini berlanjut selama dua minggu.

"Selama masa itu, banyak penduduk asli memotong rambut mereka. Saya tidak ingin melakukan ini, jadi saya bersembunyi sebentar dan tidak pulang ke rumah," tutur dia.

Bagi Rosa, rambut gimbal bukan sekadar soal rambut.  "Kami memiliki rambut gimbal bukan karena kami suka reggae atau Rasta, tapi sebagai ideologi. Gimbal adalah identitas saya. Banyak teman saya dengan rambut gimbal merasakan hal yang sama. Gimbal telah menjadi simbol perlawanan dan simbol kebebasan Papua, sebuah tantangan terhadap apa yang telah diajarkan oleh negara Indonesia kepada kami."

Dulu semasa sekolah, ketika melihat orang lain memiliki rambut lurus, Rosa memimpikan memiliki rambut panjang dan lurus.

"Kami dulu semua begitu. Bahkan mainan kami mengacu pada identitas orang lain. Hal yang sama dengan produk kecantikan. Misalnya, tidak ada bedak yang sesuai dengan warna kulit kami di toko."

Untungnya, kata Rosa, perlawanan sangat kuat dan juga semakin populer sekarang ini.

"Ada banyak t-shirt yang bertuliskan, 'Saya adalah orang Papua, rambut keriting dan kulit gelap', yang semakin populer di kalangan pemuda di banyak kota."

Memelihara Identitas di Tengah Represi

Meskipun demikian ia menyadari  represi identitas kePapuaan atas orang Papua akan terus berlanjut. Apa yang mereka dapatkan di sekolah akan membentuk karakter mereka.

Oleh karena itu, lanjut Rosa, tergantung pada orang tua untuk mengajar anak-anak mereka: tentang siapa mereka dan apa identitas mereka sebagai orang Papua. Jika orang tua tidak melakukan itu, kata dia, bisa berbahaya, karena pada saat ketika Papua akhirnya bebas (merdeka, Red), generasi yang mengambil kendali akan menjadi generasi yang berpikiran seperti pemerintah yang menduduki wilayah mereka saat ini. Akibatnya, kata Rosa, mereka  harus bekerja keras lagi untuk melawan kaum mereka sendiri.

"Jadi gerakan pembebasan ini bukan hanya tentang ketahanan fisik tapi juga tentang melawan pola pikir," ia menambahkan.

Satu hal yang menurut dia telah berubah adalah pembicaraan tentang pembebasan Papua kini sudah lebih terbuka. "Ketika saya masih kecil, kami mendengar orang tua kami berbisik saat membicarakan politik - mereka harus melakukannya di dalam rumah. Sekarang, ini lebih terbuka dan kami bisa melihatnya bahkan di media mainstream. Itulah hasil karya kolektif banyak orang."

Peran Perempuan Papua

Rosa menambahkan perempuan  selalu terlibat dalam gerakan demi pembebasan Papua, tetapi mereka sering mengambil peran berbeda dari pria.

Pria Papua  sering melihat peran perempuan kurang penting atau kurang heroik. Padahal, itu tidak sepenuhnya benar, terutama karena banyak juga perempuan yang  memainkan peran kepemimpinan penting.

Ia menunjuk contoh Mama Yosepha Alomang, pemenang penghargaan Goldman Environmental Prize 2001. Walaupun ia tidak pernah duduk di bangku sekolah, ia mampu mengorganisasikan para perempuan untuk memblokade bandara dan pertambangan Freeport, tanpa ada pria yang terlibat.

"Sekarang gerakan ini berubah. Semakin terbuka dan perempuan semakin banyak yang mengambil bagian dalam peran yang berbeda-beda."

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home