Loading...
INDONESIA
Penulis: Kaviel Alawy 09:45 WIB | Senin, 24 Juli 2017

Rayakan Toleransi, Pejuang Dunia Maya Kopdar Bincangkan Keberagaman

Ngobrol Kebangsaan "Merayakan Toleransi dalam Keberagaman" di TMPN Kalibata hari Minggu (23/6). (Foto: Kaviel Alawy)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM — Mengusung tema “Marayakan Toleransi dalam Keberagamaan”, Yudi Latif (Kepala Unit Kepresidenan bidang Pembinaan Ideologi Pancasila), Prof Sumanto al Qurtuby (dosen di Universitas King Fahd), dan Gus Yaqut Cholil Qoumas (Ketum Pusat GP Ansor) menguatkan kembali semangat para aktivis dunia maya untuk tidak bosan menyuarakan toleransi kepada publik lewat medsos.

“Orang yang cinta Indonesia jarang kelihatan karena lebih sering tiarap, takut diserang oleh masyarakat intoleran,” salah satu kutipan dari Gus Yaqut. "Jamaah al-googliyah (orang awam yang hanya mengaji lewat google) memang marak merisak (bully) mereka yang kerap menyuarakan toleransi. Tidak jarang mereka dilabeli syiah, sesat, bahkan kafir. Kebanyakan dari mereka yang merisak merasa belum kaffah (tuntas) beragama kalau tidak memusuhi agama lain," ia menambahkan. 

Indoktrinasi agama dalam tataran publik yang dibarengi dengan persaingan dan menegaskan kelompok beragama lainnya memicu perkembangan intoleran di kalangan publik. Apalagi diperparah dengan “pemimpin agama” yang menyarankan bentrok fisik sebagai bagian dari bentuk perjuangan agama.

Dalam sambutannya mewakili Menteri Sosial Khofifah Parawansa, staf ahli Menteri Sosial, Mas’ud Said memaparkan betapa indah doktrin keberagamaan rahmatan lil alamin yang dicontohkan Gus Dur dan Mahatma Gandhi.

“Ada distorsi pemahaman Pancasila di kalangan masyarakat. Mereka masih berkelut di persoalan remeh macam kapan Pancasila lahir. Bahkan mencampuradukkan Pancasila dengan agama,” kata Yudi Latif selaku Kepala Unit Kepresidenan bidang Pembinaan Ideologi Pancasila. 

Acara itu berlangsung di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta, pada hari Minggu (23/7).

Ada yang menarik dari cerita Prof Sumanto al Qurtuby sebagai seorang dosen di universitas di Arab. 

Ia bercerita, masyarakat Arab terutama mahasiswa dan kalangan pelajar sama sekali tidak memandang gamis dan jubah sebagai sunah. Mereka mengenakannya karena sebagai adat budaya Arab. “Masalah ini berkaitan dengan salah persepsi,” ia menambahkan. 

Menurut pembahasannya mengenai keberagaman, ada dua poin yang bisa dibicarakan mengenai agama dan politik. Pertama, agama yang dipolitisasi; dicontohkan dengan kasus pilgub Jakarta yang lalu. Kedua, politik yang diagamisasi; seperti kelompok yang baru-baru ini dibubarkan, yang menanamkan nilai-nilai yang kurang mengindahkan toleransi.

Berlaku selektif untuk merancang kurikulum dan menyeleksi para pengajar di institusi pendidikan dapat meminimalisir kekhawatiran akan tumbuhnya benih-benih intoleran dari sedini mungkin. Menyediakan informasi yang bernapaskan toleransi di media sosial juga menjadi penggalakan terhadap paham intoleran yang ingin memecah-belah Indonesia. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home