Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 19:40 WIB | Sabtu, 11 Maret 2017

Reformasi Juga Berbicara Tentang Keadilan Sosial Gerejawi

Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Martin Lukito Sinaga dalam acara Diskusi “500 Tahun Reformasi Protestan: Perlukah Radicalizing Reofrmation”, hari Sabtu (11/3) di Wisma Xaverian, Jalan Cempaka Putih Raya, Jakarta Pusat. (Foto: Prasasta Widiadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Martin Lukito Sinaga, mengatakan jika membicarakan reformasi dalam gereja dewasa ini, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah keadilan sosial gerejawi.

“Menurut saya kalau (Kristen) Protestan ingin reformasi betul-betul lebih serius, musti ditemukan keadilan sosial gerejawi itu bagaimana,” kata Martin Lukito dalam Diskusi “500 Tahun Reformasi Protestan: Perlukah Radicalizing Reofrmation”, hari Sabtu (11/3) di Wisma Xaverian, Jalan Cempaka Putih Raya, Jakarta Pusat.

Dia mengatakan hal tersebut dengan melandasinya pada  kondisi sosial yang muncul pada masa hidup teolog asal Jerman, Martin Luther, yang saat itu bercita-cita menghadirkan keadilan bagi kelompok buruh atau petani di negara tersebut.

“Kalangan Protestan tentu sangat percaya kebebasan itu sungguh Kristiani, tetapi bagaimana dengan situasi sekarang cukup Kristianikah hasil reformasi, problem terbesar adalah bahwa Luther kala itu tidak berhasil melakukan reformasi untuk petani dan orang miskin. Luther banyak melakukan reformasi untuk golongan borjuis saat itu,” kata Martin Lukito.

Martin Lukito mengatakan saat itu belum muncul semacam ajaran sosial gereja yang dilahirkan oleh pihak gereja Protestan saat itu.

Di sisi lain, kata Martin Lukito, yang muncul adalah segementasi dalam Gereja Protestan akibat adanya realitas sosialnya.

“Ada pemikir Jerman Ernst Troelstch yang menulis tentang ‘The Social Teaching of Christian Church’ yang antara lain berisi tentang Protestan yang terpecah menurut realitas sosial,” kata dia.

Martin Lukito mengatakan dalam pemikiran Troelstch  umat Protestan terlalu ditentukan kenyataan sosial yang ada saat itu, umat Protestan bukan penentu kenyataan sosial sehingga muncul yang disebut sekte gereja. “Ini salah satu kritik terbesar sehingga Kristen membutuhkan Teologi Pembebasan,” kata dia.

Dia menyebut Teologi Pembebasan di Indonesia dewasa ini semakin diserap tidak hanya oleh kalangan umat Katolik tetapi juga banyak oleh Gereja Protestan di Indonesia. 

Dalam contoh masa kini, dia menguraikan bahwa saat ini muncul emansipasi modern akibat reformasi yang dia anggap sebagai hal yang kebablasan, karena menurut dia mengarah kepada perpecahan gereja, khususnya Protestan.

“Reformasi yang terjadi di Indonesia seperti kehilangan energi dan gagasan untuk menjadikannya sebentuk kesatuan dalam kesaksian atau yang disebut Oikoumene,” kata Martin Lukito.

Dia menambahkan gerakan keesaan gereja di Indonesia malah saat ini sedang bergumul tentang relevansinya, kecuali dalam representasi umat Kristen di hadapan pemerintah, karena hidup bergereja seperti sebentuk kompetisi di pasar, tak jarang gereja-gereja yang kalah bersaing dalam merebut umat akan tergerus dan tertinggal dalam segala hal.

Spiritualitas Protestan

 Dia menyoroti spiritualitas umat Protestan saat ini sedang dalam keadaan krisis, sehingga banyak bermunculan fundamentalisme dan neo-Pentakosta Karismatik sebagai upaya menghadapinya.

Dia mengatakan penenakanan kepada segala hal yang serba rohani dari kalangan karismatik pada masa kini hanya menyisakan lubang besar dalam spiritualitas Kristiani. “Di pihak lain fundamentalisme Kristen berperang di zona lain lagi, karena fundamentalisme tersebut adalah respons patologis atas gempuran sains modern atas iman Kristen,” kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home