Loading...
OPINI
Penulis: Mory Yana Gultom 00:00 WIB | Senin, 11 Juli 2016

Revitalisasi Peran Keluarga

Persoalan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Namun kerap orang melupakan peran penting keluarga di dalamnya.

SATUHARAPAN.COM - Sistem pendidikan di Indonesia masih berkutat pada persoalan visi pendidikan nasional yang terus berganti sesuai perubahan rezim pemerintahan, tanpa menemukan solusi yang paling mendasar, misalnya mengembalikan peran keluarga sebagai fondasi pendidikan anak. Tak heran, kualitas pendidikan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain.

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia setidaknya tergambar dari hasil pengukuran kualitas siswa di sejumlah negara yang diselenggarakan the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2012. Rata-rata kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca paling rendah di antara negara-negara lain. Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam program yang diselenggarakan lembaga itu (kompas.com, 5/5/2015).

Penguasaan atas ketiga bidang dalam penilaian tersebut dianggap mampu menunjukkan tingkat kemampuan seorang anak dalam mengimplementasikan masalah-masalah di kehidupan nyata, mulai identifikasi persoalan hingga aplikasi solusi sesuai konteks. Selain rendahnya salah satu aspek kecakapan untuk bertahan hidup tersebut, moralitas generasi penerus bangsa juga terancam oleh budaya korup dan ketidakjujuran. Kecurangan dalam proses ujian nasional beberapa tahun terakhir menjadi contoh paling nyata.

 

Vitalitas Keluarga

Dalam bermasyarakat, tatkala seorang anak berbuat hal yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah sosial, ada satu ungkapan yang sering kali terlontar sebagai respon refleks dari masyarakat lainnya: “Barangkali keluarganya tak pernah mendidik dia dengan benar.” Ini menunjukkan betapa vitalnya peran keluarga dalam mendidik anak hingga karakternya terbentuk searah dengan ajaran yang ia terima.

Dalam keluarga anak mendapatkan rangsangan, hambatan atau pengaruh yang pertama dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik itu perkembangan biologis maupun perkembangan kepribadiannya. Keluarga sebagai lembaga pertama dan terutama bagi anak adalah tempat di mana ia pertama sekali berinteraksi dengan dunia selain dirinya.

Keluarga merupakan benih akal penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian. Anak-anak mengikuti orang tua dan berbagai kebiasaan dan perilaku dengan demikian keluarga adalah elemen pendidikan lain yang paling nyata, tepat dan amat besar. Keluarga adalah salah satu elemen pokok entitas-entitas pendidikan, menciptakan proses naturalisasi sosial, membentuk kepribadian-kepribadian serta memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang akan terus bertahan lama.

Keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku individu serta pembentukan vitalitas dan ketenangan dalam benak anak-anak karena melalui keluarga anak-anak mendapatkan bahasa, serta kecenderungan mereka. Keluargalah lembaga yang paling strategis dalam meletakkan nilai-nilai fundamental sebagai dasar berpijak anak sekaligus menjadi titik awal baginya untuk melangkah.

Pun dalam perkembangan akademik, peran keluarga merupakan elemen yang tidak bisa dinafikan. Keterlibatan orangtua berkorelasi erat dengan keberhasilan pendidikan anak. Sejumlah penelitian menunjukkan, keterlibatan orangtua yang lebih besar dalam proses belajar berdampak positif pada keberhasilan anak di sekolah. Keterlibatan orangtua juga mendukung prestasi akademik anak pada pendidikan yang lebih tinggi serta berpengaruh juga pada perkembangan emosi dan sosial anak.

Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Kompas tahun 2015 lalu adalah salah satu buktinya. Dari 326 responden yang di keluarganya terdapat anak usia sekolah, 85 persen menyatakan bahwa orangtua dan keluarga memiliki peran paling penting dalam proses pendidikan anak. Hanya 15 persen responden yang menilai peran ini ada di tangan guru dan lingkungan di luar keluarga.

 

Revitalisasi Peran Keluarga

Belakangan, media yang kita konsumsi hampir tiap hari dipenuhi dengan berita-berita kriminal yang memaksa kita menggelengkan kepala bahkan mengumpat terhadap perbuatan terkutuk itu. Salah satu yang paling viral misalnya adalah pemerkosaan terhadap gadis kecil berusia 14 tahun bernama Yuyun. Tujuh dari 14 pelaku merupakan anak berusia di bawah 18 tahun. Masih di bawah umur! Sungguh sulit meletakkan logika perkosaan remaja yang biadab tiada tara itu!

Mengapa remaja dapat terlibat dalam kasus kenakalan dan kriminalitas? Karena remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Dalam masa ini, remaja mulai memiliki interaksi secara aktif dan mulai mencerna nilai-nilai yang berasal dari luar lingkungan keluarganya. Dapat dikatakan bahwa ketika seseorang mendapatkan nilai yang berasal dari lingkungan keluarga dan mulai mendapatkan nilai-nilai baru yang berasal dari lingkungan luar seperti sekolah, teman sebaya dan lingkungan sosial, maka seseorang tersebut akan mengalami kondisi yang tidak seimbang. Kondisi yang tidak seimbang tersebut mengakibatkan remaja mengalami kebingungan tentang seperti apa perilaku, sikap, nilai, aturan dan aspek lainnya yang seharusnya dilakukan oleh dirinya, atau yang biasa disebut sebagai proses pencarian jati diri.

Penulis tidak hendak menghakimi keluarga para pelaku itu. Namun peristiwa ini mestilah menjadi hal yang mutlak dijadikan bahan refleksi bagi keluarga dalam melakukan pembinaan yang memadai. Tingginya tingkat perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, munculnya ibu yang masih remaja, ibu yang bekerja yang seluruh waktunya tercurah untuk pekerjaan di luar rumah, adalah bagian dari perubahan bentuk dan struktur keluarga. Keluarga konvensional yang konsepnya adalah solidaritas, saling menerima, saling percaya, saling tergantung satu sama lain untuk saling memenuhi keiginan dan kebutuhan sehingga tercapai ketentraman dalam kehidupan keluarga, pada saat ini hal tersebut dianggap sudah tidak layak dan tidak sesuai lagi, karena dianggap tidak modern. Keluarga tak lagi melakukan peran vitalnya sebagai pembentuk karakter anak dalam arti positif, melainkan sebatas pemberi nafkah!

Harus diakui, sebagai makhluk sosial, manusia sangat bergantung dengan orang lain. Disinilah pentingnya keluarga sebagai sandaran bagi setiap anak: menaburkan benih pengetahuan antara yang benar dan yang salah agar tumbuh mengakar dalam jiwa si anak untuk diamalkan di tengah lingkungannya. Sehingga tatkala masanya tiba, yakni ketika nilai di luar diri dan keluarga mulai mempengaruhinya, ia mampu membedakan mana yang mesti ia tolak dan mana yang bisa diadopsi. Atau, andaikan tengah dalam kondisi labil, orangtua dan keluarga akan menjadi yang pertama ia mintai pertimbangan.

Heilbroner pernah berkata: “masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu”.

Dan fungsi kontrol itu paling banyak dan strategis berada di tangan keluarga. Jadi tidak ada solusi yang lebih baik kecuali mengembalikan keluarga ke fungsi semula: fungsi mendidik dalam hal spiritual, emosional, dan intelektual.

 

Penulis adalah Asisten pada Ombudsman Republik Indonesia

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home