Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Prasasta Widiadi 17:08 WIB | Rabu, 13 Januari 2016

Revolusi Mental Gagal Bila 2019 Layanan Publik Tak Berubah

Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, Fajar Riza Ul Haq (kanan) berbincang dengan seluruh personel satuharapan.com, hari Rabu (13/1) di Gedung PT. Sinar Kasih, Jl. Dewi Sartika 136 D, Jakarta. (Foto: Endang Saputra).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq mengatakan apabila pada 2019 mendatang belum ada perubahan pelayanan publik yang transparan, cepat, akuntabel, dan terbuka maka gerakan revolusi mental yang dicetuskan di masa kampanye Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bisa disebut gagal.

“Kalau sampai 2019 belum ada perubahan mendasar layanan publik yang cepat, transparan, dan, akuntabel, maka revolusi mental gagal, kata Fajar Riza Ul Haq dalam diskusi khusus dengan redaksi satuharapan.com, di Gedung PT. Sinar Kasih, Jl. Dewi Sartika 136 D, Jakarta, hari Rabu (13/1).

Riza mengaku beberapa kali mensosialisasikan ke beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di berbagai kota tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental dan menyebut bahwa untuk mengetahui keberhasilan revolusi mental yakni dengan pelayanan publik.

“Sekarang gampang saja mengukur keberhasilan layanan publik, mereka berani nggak masang tulisan atau tanda yang bertuliskan ‘untuk pelayanan KTP dan KK (Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga, red) bisa dalam tiga sampai tujuh hari kerja’. Mereka berani nggak masang kayak gitu?” kata Riza.

Riza menyebut apabila mereka sudah memasang tulisan seperti itu sebenarnya para aparat sipil negara yang ada di tingkat kelurahan atau kecamatan, seharusnya malu apabila gagal mewujudkan apa yang sudah mereka nyatakan.

“Beberapa waktu lalu di Bogor saya dengar kalau ngurus KTP bisa enam bulan, kenapa lama sekali ? ya karena kertas karbon belum dikirim dari pusat,” kata dia.

Ukuran pelayanan publik, menurut Riza, yakni harus transparan, kemudian pelayanan publik di Indonesia harus cepat.

“Tapi dengan pelayanan yang cepat apakah benar-benar direspons oleh institusi di atasnya atau institusi pusat, karena kembali kalau berbicara tentang Revolusi Mental maka tidak hanya berbicara tentang Kemenko PMK (Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, red) saja, tapi harus lintas kementerian,” kata dia.

Riza menyebut bahwa media berperan penting dewasa ini dalam menyukseskan revolusi mental, karena Presiden Joko Widodo tidak hanya melihat orang atau sekelompok masyarakat yang melakukan demonstrasi di depan jalan raya, namun Presiden juga memperhatikan pergerakan di media, terutama media sosial.

“Sekarang ini kita bisa lihat bagaimana sih media bisa menyukseskan gerakan ini, karena masyarakat seharusnya berpikir jangan melihat Jokowi-nya (Presiden Joko Widodo, red) jangan lihat Sukarno-nya (mantan Presiden Sukarno, red),” kata dia.

Riza menjelaskan di dalam Kelompok Kerja Gerakan Nasional Revolusi Mental sebenarnya dia tidak ingin membawa unsur politik masa lalu dan masa kini.

“Kalau kita ambil contoh waktu Sukarno bikin konsep revolusi mental, negara tetangga yang mengadopsi adalah Malaysia, waktu itu Tun Abdul Razak (mantan Perdana Menteri Malaysia 1970-1976, red) dia memasukkan revolusi mental dalam manifesto UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu, partai politik terbesar di Malaysia, red),” kata dia.

“Saya harap kita mampu melahirkan generasi yang mau mengapresiasi masa lalu yang memang memiliki sisi positif dan jangan menciptakan generasi pendendam,” kata dia.

Revolusi Mental

Menurut situs resmi Gerakan Nasional Revolusi Mental, revolusimental.or.id, gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh mantan Presiden Indonesia, Ir. Soekarno tepatnya di tahun 1957.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional.

Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah Belanda). 

Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktik kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.

Ketiga, terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Konsep Revolusi Mental kembali dikumandangkan Presiden Joko Widodo sebelum dia terpilih sebagai Presiden ketujuh Indonesia, Jokowi kala itu menyebut yang dibutuhkan Indonesia bukan pembangunan fisik dan ekonomi, melainkan pendidikan karakter yang kemudian dia sebut Revolusi Mental.

Menurut Jokowi, seorang pemimpin bukan hanya menjalankan proyek-proyek pembangunan fisik semata, melainkan mampu membangun pola pikir sekaligus karakter positif di masyarakat.

Jokowi mengatakan, percuma pembangunan fisik tanpa membangun pola pikir masyarakat. Masyarakat bisa hanya menjadi 'follower'.

"Kalau pemimpinnya bisa memberikan contoh, bisa menginspirasi supaya rakyat itu jangan terdorong untuk pesimis. Itulah yang akan saya mulai kali ini," kata mantan Wali Kota Surakarta itu.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home