Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Senin, 29 Agustus 2016

Romero dan Panggilan Keterlibatan Gereja

Tahun lalu, Òscar Romero, mantan Uskup Agung San Salvador yang menjadi martir, dianugerahi gelar Beato oleh Gereja Katolik. Apa artinya bagi kita?

SATUHARAPAN.COM – El Salvador, 24 Maret 1980, akan selalu dikenang oleh Gereja Katolik di Amerika Latin, bahkan di seluruh dunia.

Sore itu, seperti biasa Monseñor Òscar Romero, Uskup Agung San Salvador, merayakan misa sorenya di sebuah kapel kecil. Seorang penembak jitu tiba-tiba menerobos masuk dan menembaknya, persis di jantungnya. Ia jatuh bermandi darah, dan meninggal saat itu juga.

Semua orang terkejut, walau banyak yang sudah menduga hal itu bisa saja terjadi. Berulang kali Romero mendapat ancaman mati, terutama dari kelompok militer yang mendukung rezim diktator di El Salvador. Tapi masih banyak yang tak menyangka, rencana pembunuhan itu benar-benar dilakukan. Bahkan secara terang-terangan.

Penembakan Romero (dokumentasi El Pais, November 2009)

Dan Romero tercatat sebagai Uskup pertama yang dibunuh di dalam gereja, setelah Thomas Becket yang dibunuh di Canteburry tahun 1170. Operasi pembunuhannya dilakukan oleh algojo paramiliter di bawah komando Mario Molina, putra presiden terdahulu, Kolonel Arturo Molina, bersama bekas agen rahasia militer, Roberto d’Abuisson.

Seperti dituturkan Carlos Dada dalam The New Yorker saat menyambut proses beatifikasi Romero Mei tahun lalu, operasi pembunuhan itu di bawah restu rezim militer dan disokong orang-orang kaya di El Salvador. Malam setelah kematian Romero, daerah paling kaya di El Salvador yang biasanya tenang, dipenuhi oleh kembang api dan suara tembakan, serta kegembiraan orang-orang kaya karena kematian Romero.

Tapi perhitungan mereka meleset. Kematian Romero tidak dapat membungkam suara-suara protes yang selama ini menjadi khotbah-khotbah sang Uskup. Ini diakui Joaquin Villalobos, mantan pimpinan FMLN (Farabundo Marti Liberation Front), kelompok gerilya yang menentang rezim diktator. “Sebelum kematian Monseñor, hanya ada beberapa puluh gerilyawan FMLN,” katanya. “Setelah kematiannya, ada ribuan orang bergabung.” Lebih dari 12 tahun lamanya FMLN menempuh perjuangan senjata melawan rezim yang ada.

 

“Pertobatan” Romero

Sesungguhnya agak aneh, jika Uskup Romero (lahir 15 Agustus 1917 di Ciudad Barrios, daerah San Miguel di El Salvador) akhirnya menjadi simbol yang ditakuti rezim penguasa, kelompok militer maupun orang-orang kaya.

Ketika Vatikan mengangkatnya sebagai Uskup Agung, 23 Februari 1977, pihak pemerintah Salvador bahkan menyambut gembira. Seorang Uskup yang sudah berusia 60 tahun, dikenal pemalu dan tidak punya visi politik yang progresif, jauh lebih disukai ketimbang para imam yang dipengaruhi Teologi Pembebasan dan cenderung Marxis. Tidak heran jika para imam yang progresif, termasuk Rutilio Grande, S.J., imam Yesuit sahabatnya sendiri, khawatir kalau-kalau sikap konservatif Romero akan menghalangi pilihan gereja untuk “membela kaum miskin” (preferential option of the poor), sebagaimana diajarkan Konsili Vatikan II.

Dan sepanjang pemerintahannya sebagai Uskup, yang ternyata tidak berlangsung lama, Romero memang berusaha mengambil posisi untuk tetap “netral” – posisi yang paling mungkin bagi seorang pejabat gerejawi, di tengah konflik yang makin luas antara pemerintah, para gerilyawan, aktivis-aktivis HAM, maupun para imam yang progresif. Sebagai Uskup, ia yakin harus mampu menjadi “gembala” bagi semua kalangan yang saling bertentangan.

Ruitilio Grande, S.J.

Namun realitas yang kejam di El Salvador membuatnya tak mungkin menutup mata. Tanggal 12 Maret 1977, hanya beberapa bulan sejak Romero diangkat Uskup, Rutilio Grande S.J. dibunuh dengan keji tak jauh dari desa tempat ia dilahirkan, hanya karena mendirikan kelompok misi Yesuit yang menjadi pusat pemberdayaan masyarakat miskin. Ini sungguh memukul Romero. “Saat saya melihat jenasah Rutilio terbaring kaku, saya berpikir, ‘Jika mereka membunuhnya karena apa yang ia lakukan, mungkin aku harus bernasib sama’,” kata Romero, sebagaimana dikutip Maria Lòpez Vigil.

Boleh jadi, peristiwa ini merupakan titik balik “pertobatan” Romero. Berulang kali ia mendesak pemerintah untuk membentuk tim pencari fakta independen dan melakukan penyelidikan, namun tak seorang pun memberinya perhatian. Bahkan media massa yang dijaga sensor ketat militer juga tidak berbicara apa-apa. Sementara itu, setelah Rutilio, satu demi satu imam yang progresif di Salvador dibunuh. Dan sang Uskup tak lagi mampu berdiam diri. Ia pun menjadi juru bicara bagi mereka yang tak mampu berbicara (voice of the voiceless) tentang penindasan yang dialami.

Berbicara di Universitas Katolik Louvain, Belgia, tanggal 2 Februari 1980, Romero berbicara lantang tentang pembunuhan dan proses penghancuran yang terstruktur dan sistematis terhadap upaya-upaya gereja membela kaum miskin. “Kurang dari tiga tahun, lebih dari 50 imam diserang, diancam, dianiaya. Enam di antaranya menjadi martir – mereka dibunuh. Sebagian dianiaya dan diusir ke luar negeri,” kata Romero. Baginya, penindasan itu berlangsung secara sistematis, karena mengarah pada para imam dan lembaga-lembaga gerejawi yang bekerja khusus untuk pemberdayaan rakyat miskin.

 

Martir Kaum Tertindas

Sejak saat itulah Romero dengan lantang mengkritik pemerintah dan praktik-praktik teror serta penindasan yang berlangsung setiap hari.

Khotbah-khotbah mingguannya, yang disiarkan secara luas oleh jaringan radio Katolik, membangkitkan harapan bahwa gereja tidak berdiam diri menghadapi penindasan, dan karena itu sangat populer di kalangan masyarakat. Konon, menurut survei pendengar, 73 persen pendengar di pedesaan dan 47 persen pendengar di daerah perkotaan, setia mendengarkan siaran tersebut.

Beato Òscar Romero (15 Agustus 1917 - 24 Maret 1980)

Hampir dalam setiap khotbah Minggunya, Romero menyebut nama-nama mereka yang “hilang paksa”, dianiaya, dipenjara tanpa alasan, atau dibunuh. Deretan fakta ini mengguncang stabilitas politik yang ada. Apalagi biasanya, pada hari Senin, Romero akan memberi pidato selama satu jam penuh yang juga diedarkan melalui jaringan radio, mengenai persoalan-persoalan masyarakat yang membuatnya prihatin. Suara Romero makin menjadi “suara yang berseru-seru di padang gurun”, dan dirasa sebagai ancaman terhadap rezim yang berkuasa.

Salah satu khotbah Romero yang paling mahsyur, diberikan saat misa Minggu, 23 Maret 1980. Dalam khotbah itu, sebagai orang Kristen, Romero meminta, memohon, dan bahkan memerintahkan – sebagai Uskup – agar para prajurit berani menolak perintah atasannya, jika perintah itu untuk menindas, menyiksa, dan membunuh rakyat miskin maupun para aktivis HAM. Khotbah itu sungguh menghujam hati nurani. Esok sorenya, saat melayangkan misa harian, Romero ditembak mati.

Tanggal 18 Agustus 2014, Paus Fransiskus menyebut tak ada lagi persoalan doktrin, sehingga proses beatifikasi Romero – yang sudah diusahakan sejak 1990 oleh Arturo Rivera y Damas, Uskup Agung San Salvador – bisa dilakukan dengan cepat. Banyak kalangan menduga, sikap Paus dari Amerika Latin ini mencerminkan kecenderungannya pada model pelayanan ala Romero. Sejak itu proses beatifikasi Romero berjalan lancar. Dan tanggal 23 Mei 2015, secara resmi Gereja Katolik memberinya gelar Beato, “Yang Terberkati”, pada sang martir, walau sempat menimbulkan perdebatan karena sebagian kelompok tidak setuju.

Tetapi apa sebenarnya sumbangan penting Romero? Menurut saya, Romero merupakan cermin bagi kerja-kerja pembebasan yang tidak melulu bergulat dengan dimensi sosial-politik, tetapi memberi nafas spiritual yang sangat penting. “Pembebasan yang diberikan Kristus dan Gereja-Nya tidak dapat direduksi hanya sebagai proyek temporal saja,” katanya. “Juga tidak dapat direduksi pada tujuan yang antroposentris: hanya demi pemenuhan ekonomi atau membangun tatanan politik atau sosial atau ekonomi maupun kebudayaan. Apalagi pembebasan yang disokong oleh tindakan kekerasan.”

Bagi Romero, revolusi sosial yang paling mendalam dan radikal, adalah suatu proses pertobatan: pembaruan batin yang melahirkan ciptaan baru. Itulah dimensi spiritual kerja-kerja pembebasan yang kerap dilupakan dalam karya sosial gereja. Karena itu, Beato Romero dapat menjadi cermin bukan hanya bagi gereja maupun umat kristiani, namun juga bagi setiap umat beragama yang ingin menjalani panggilan dasar agamanya sebagai jalan pembebasan.

Karena itu, sejak kematiannya, Beato Romero terus menjadi inspirasi bagi jutaan orang yang memperjuangkan keadilan, perdamaian, maupun keutuhan ciptaan.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home