Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 07:25 WIB | Senin, 31 Agustus 2015

Romo Magnis: Negara Harus Minta Maaf kepada Korban 1965-1966

Pastor Franz Magnis Suseno, SJ dalam seminar dialog lintas agama dalam rangka HUT ke-38 Paroki Salib Suci, Cilincing, Jakarta Utara bertajuk 'Guyub Rukun Membangun Masyarakat dalam Keberagaman', Minggu (30/8). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Cendekiawan Franz Magnis Suseno, akrab disapa Romo Magnis, mengatakan perlu kiranya negara meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM pada tahun 1965-1966, yang terjadi pascakejadian Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Permintaan maaf itu, menurut Romo Magnis, juga harus disertai pengakuan bahwa telah terjadi kejahatan yang besar sekali dalam kurun waktu itu.

"Harus meminta maaf dan mengakui bahwa telah terjadi suatu kejahatan besar yang hingga kini masih ditutup-tutupi. Selain itu, kalau masih mungkin, juga bisa dipertimbangkan untuk memberikan restitusi (pemberian ganti rugi)," ujar Romo Magnis kepada Antara di Jakarta, Minggu.

Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya ini melanjutkan, Indonesia tidak bisa melakukan rekonsiliasi terhadap korban, karena seharusnya tindakan tersebut datang dari korban sendiri.

"Harus diakui bahwa korban pelanggaran HAM 1965-1966 adalah memang korban. Kalau memang mau rekonsiliasi, hal itu tidak bisa datang dari negara, namun dari para korban itu sendiri," kata Romo Magnis.

Polemik penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Indonesia terus bergulir hangat. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan dirinya menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966 setelah adanya gerakan 30 September 1965 (G30S).

Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.

Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.

Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.

Dalam naskah tersebut tertulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965".

Komnas HAM sendiri sejak tahun 2008 telah melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.

Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kejadian tahun 1965-1966 termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pada Pasal 9 UU tersebut dinyatakan ada 10 perbuatan yang dikategorikan kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.

Komnas HAM menyatakan sembilan dari 10 perbuatan tersebut ditemukan dalam kasus 1965-1966. (Ant)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home