Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 13:08 WIB | Selasa, 10 Mei 2016

RSF Kutuk Kekerasan dan Sensor Terhadap Wartawan di Papua

"Kami mengutuk kekerasan dan sensor terhadap wartawan lokal, yang melakukan liputan atas unjuk rasa demi kepentingan publik," kata Benjamin Ismaïl, kepala RSF wilayah Asia-Pasifik dalam seruan itu.
Polisi menangkap ratusan pendukung Persatuan Gerakan Pembebasan Papua (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) dan membawanya ke lapangan di depan markas Brimob di Jayapura, Senin 2 Mei 2016. Organisasi jurnalis internasional, Reporters Without Borders, mengutuk kekerasan dan pelarangan terhadap wartawan yang ingin meliput peristiwa tersebut. (Foto: dok Markus Haluk)

HONG KONG, SATUHARAPAN.COM -  Organisasi wartawan internasional, Reporters Without Borders atau Reporters Sans Frontières (RSF) meminta pihak berwenang Indonesia menghentikan pelanggaran hak-hak jurnalis di Papua. Seruan itu disampaikan menyusul tindakan polisi Jayapura mencegah wartawan meliput demonstrasi damai mendukung United Liberation Movement for West papua (ULMWP) pada 2 Mei lalu.

"Pihak berwenang harus menghormati hak-hak wartawan untuk secara bebas melaporkan peristiwa di Papua, termasuk ketika wartawan meliput unjuk rasa oleh warga Papua," seru RSF.

RSF mencatat setelah ratusan pengunjuk rasa di berbagai bagian kota, mereka dikumpulkan di alun-alun di depan markas Brimob di Jayapura. Ketika itu, menurut RSF, wartawan yang ingin meliput peristiwa tersebut diperintahkan mundur dan berbalik oleh sekitar 20 polisi bersenjatakan tongkat kayu.

Salah satu dari mereka mengatakan Komisaris Polisi, Mathius Fakhiri, memberikan petunjuk khusus kepada mereka untuk mencegah wartawan meliput bagaimana polisi memperlakukan para tahanan, yang memerintahkan mereka melepas pakaian dan sepatu saat berbaris di lapangan.

Seorang jurnalis Suarapapua.com ditangkap pada saat yang sama dengan penangkapan pengunjuk rasa, meskipun ia menunjukkan kartu persnya kepada polisi. Pihak berwenang, kata RSF, menuduhnya berbohong, merusak ponselnya dan membawanya ke markas Brimob, di mana ia ditahan selama beberapa jam.

"Kami mengutuk kekerasan dan sensor terhadap wartawan lokal, yang melakukan liputan atas unjuk rasa demi kepentingan publik," kata Benjamin Ismaïl, kepala RSF wilayah Asia-Pasifik dalam seruan itu.

"Janji Presiden Joko Widodo sekarang terdengar lebih kosong daripada sebelumnya. Setelah baru-baru ini melarang seorang wartawan Prancis yang telah melakukan peliputan di Papua Barat yang dilakukan secara resmi, kita sekarang memiliki bukti lebih lanjut bahwa pemerintah masih terus menyensor dan mengendalikan liputan media secara sewenang-wenang. "

RSF dalam siaran persnya mengatakan pihak berwenang Papua masih menyensor semua wartawan yang melakukan peliputan atas gerakan separatis Papua, diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Januari lalu RSF juga telah mengutuk larangan yang diterbitkan Indonesia terhadap kunjungan lanjutan wartawan Prancis, Cyril Payen, setelah saluran televisi Prancis 24 menyiarkan laporannya dari Papua.

RSF mengatakan pihak berwenang Indonesia juga  juga menargetkan wartawan lokal dan mereka yang menjadi nara sumber wartawan asing dalam peliputan mereka.

Abeth Anda, seorang wartawan yang bekerja untuk Tabloidjubi.com, diserang oleh polisi pada 8 Oktober 2015 saat meliput
unjuk rasa di Jayapura oleh sebuah kelompok yang disebut Solidaritas untuk Korban Pelanggaran HAM di Papua. Ketika itu polisi menangkap dan menginterogasi dua orang yang membantu wartawan Prancis.

Editor : Eben E. Siadari

Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home