Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 08:36 WIB | Selasa, 25 Juli 2017

Rumah Panjang, Saksi Kerukunan di Perbatasan

Rumah panjang di Badau, dengan teras memanjang menjadi ruang terbuka bersama bagi penghuninya. (Foto: kemenang.go.id/Kustini Kosasih)

BADAU, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat di Kecamatan Badau menyebut rumah panjang untuk bangunan yang terdiri atas beberapa petak ruang berderet memanjang. Rumah yang didominasi bahan kayu ulin itu dihuni 15 - 30 keluarga.

Layaknya rumah panggung, rumah itu dilengkapi tangga. Sisi terdepan adalah ruang terbuka memanjang, menjadi teras bersama penghuninya. Setiap petak rumah terdiri atas ruang tamu, dapur, dan kamar.

Rumah panjang di Kecamatan Badau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat itu, secara geografis berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Tim peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI berkesempatan  melakukan penelitian kehidupan keagamaan di perbatasan tahun 2017. “Rumah panjang adalah tempat untuk persemaian nilai-nilai kerukunan,” kata Tumenggung Ubang, di Kapuas Hulu, Kalbar, Minggu (23/7), seperti dilansir situs resmi Kementerian Agama.

“Para tetua adat, tumenggung dan patih yang mengayomi umat Katolik dan Kristen (Suku Iban), serta punggawa yang memangku umat Islam (Melayu), menyatakan rumah panjang sebagai rumah bersama,” ia menambahkan.

Menurut Ubang, rumah panjang biasa digunakan untuk mediasi atau musyawarah jika terjadi konflik antarsesama. Hal ini juga yang menjadi temuan Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama, Kustini Kosasih. Setelah beberapa hari melakukan pengamatan, Kustini menilai rumah panjang menjadi tempat memediasi beragam masalah, termasuk masalah agama dan persoalan adat istiadat.

“Mekanisme adat bekerja secara lentur menyelesaikan persoalan. Prinsip kebersamaan hak dan kewajiban, sikap saling menghargai antarkeluarga terbangun di ruang terbuka,” kata Kustini Kosasih.

Lebih dari itu, lanjut Kustini, di rumah itu juga anak-anak sejak dini terbiasa dengan hidup bersama. Mereka  belajar mengenal perbedaan, mulai dari perbedaan agama hingga kehidupan sosial lain. Kustini mencontohkan, “Jika ada perkawinan antaragama, kedua pemangku adat akan bersidang.”

Hal sama ditemukan juga oleh peneliti lainnya, I Nyoman Yoga. “Bagi masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia, setiap masalah harus tuntas di tingkat paling bawah. Jika tidak selesai di rumah panjang, masalah akan diselesaikan di balai adat dan harus melibatkan dewan adat di masing-masing suku,” tuturnya. (kemenag.go.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home