Loading...
OPINI
Penulis: Josep Purnama Widyatmadja 00:00 WIB | Kamis, 07 November 2013

Runtuhnya Langit, Matinya Allah

SATUHARAPAN.COM - Kisah korupsi di Republik Indonesia silih berganti tanpa kehabisan lakon di panggung media. Banyak kisah korupsi yang disajikan oleh media membuat rakyat kecil geram tapi tak berdaya. Dari kasus Century, Hambalang, pencetakan Al-Qur’an  yang tak kunjung selesai, sampai munculnya kasus korlantas , daging sapi dan SKK migas.

Ditangkapnya Akil Muchtar Ketua Makamah Konstitusi menjadikan rakyat Indonesia terperangah dan hilang harapan atas penegakan hukum di Indonesia. Mitos bahwa MK  merupakan lembaga bersih dan satu satunya benteng keadilan di negara Indonesia  yang bebas dari koruptor tiba tiba berubah makna. Makamah konstitusi  berubah nama menjadi markas korupsi.

Banyak yang  tak percaya akan kejadian operasi tangkap tangan di wisma Widya Chandra yang dilakukan oleh KPK di tempat tinggal para petinggi negara. Marzuki Alie menyebutnya  MK menjadi hancur dalam waktu sedetik. Rasanya rakyat Indonesia merasakan  kiamat  sudah datang. Dikabarkan SBY geram atas kejadian itu walaupun ekpresinya tetap terkendali dan nalarnya tetap teruji. Ketua Abraham Samad menyebutkan bahwa ditangkapnya Ketua KPK Akil Muchtar menyebabkan langit Indonesia seperti runtuh. Semboyan “Fiat Justitia Rua Caelum“ atau “Biarlah langit runtuh asal  keadilan  di tegakkan” menjadi tak berarti. Yang berlaku bagi AM adalah biarlah MK runtuh asal pundiku penuh.

Kiamat sudah datang di Indonesia karena tidak ada instansi penegak hukum di negeri  yang bebas dari korupsi. Dari instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Makamah Agung semuanya kena virus korupsi. Semua profesi hukum anggotanya banyak yang  terlibat mafia hukum. Mengapa ini bisa terjadi di negara yang berdasarkan ketuhanan dan pemerintahnya memiliki departemen agama? Banyak rupiah di gelontorkan untuk membangun rumah ibadah baik dari APBN, APBD maupun dari pemberian umat agama masing masing. Ibadah ke tanah suci marak dilakukan oleh para penjabat tapi tak mengubah karakter penjabat untuk bebas dari korupsi.   Rencana ibadah ke tanah suci dari salah satu gubenur yang dicekal KPK terpaksa di bekukan oleh Menteri Agama karena kasus dugaan korupsi.

Bukankah para petinggi negara kita disumpah atas nama Tuhan ketika mereka menduduki jabatan publik, termasuk Ketua MK? Lalu apa artinya sumpah  dan apa makna Allah yang hidup ketika mereka berjanji untuk mengabdi negeri dan rakyat dengan jujur dan bebas korupsi?  Bukankah para penjabat yang diseret oleh KPK adalah orang yang rajin  beribadah ke rumah sembahyang, rajin berdoa, bersedekah atas nama Allah? Tak sedikit mereka yang aktif dalam organisasi keagamaan  maupun menjadi penyiar agama dan zakat terlibat korupsi di negeri ini. Apa yang ada dalam hati iman mereka? Adakah rasa takut dan hormat mereka kepada Allah yang hidup yang membenci keserakahan harta?

Allah sudah mati, untuk apa takut?

Orang bergama (khususnya gereja) pasti akan marah pada Friedrich Nietzsche (1844 - 1900),  karena pada masa hidupnya Nietzsche menyebut bahwa sesungguhnya yang  hidup dalam kepercayaan orang beragama ( khususnya gereja )  adalah  kepercayaan pada  Allah yang sudah mati.  God is dead!

Sebagai seorang anak pendeta Lutheran yang kuliah teologi, Nietzsche mengenal baik keadaan masyarakat dan gereja di Eropa pada saat itu. Yang terjadi dalam teologi dan praksis gereja sering tidak nyambung. Tidak satunya ucapan/ ajaran dari para pemimpin agama dengan apa yang dilakukan oleh gereja dan orang Kristen (orang  beragama itu) dalam hidup sehari hari. Dalam ajarannya gereja mengajarkan para pengikutnya untuk mempercayai apa yang dilakukan oleh Yesus selama hidupnya di Palestina. Tapi dalam kehidupan sehari-hari gereja tidak pernah melakukan dan tak memiliki wibawa untuk meminta anggota gerejanya untuk melakukan apa yang Yesus pernah lakukan di bumi Palestina.

Yang  terjadi gereja sebenarnya hidup dalam “moral of piety“ yang menjadi penyakit masyarakat pada waktu itu. Akibatnya tidak ada rasa takut dari pengikut agama atas dosa yang dilakukan oleh negara, gereja dan rakyatnya. Masalah perdagangan budak dan candu, eksploitasi buruh dan tani oleh bangsawan tidak dikecam oleh gereja. Sebaliknya  gereja malah mendoakan  kejahatan sosial yang dilakukan oleh warganya  karena mereka memberikan sumbangan  yang tak sedikit pada gereja.

Allah sudah mati dan dikubur, lalu untuk apa orang harus takut pada Allah yang mati? Teologi “Allah sudah mati“  ditolak oleh mulut orang beragama, tapi dipraktikkan dalam berbagai kasus korupsi di negeri ini.  Inilah yang mengendap dalam hati para koruptor dan pejabat agama masa kini sehingga mereka tidak takut melakukan dosa korupsi ketika mereka baru saja pulang dari ibadah di tanah suci atau mengucapkan sumpah suci. “Puaskanlah nafsumu dengan harta dan kekuasaan serta idamanmu  karena Allah sesungguhnya telah mati. Atau paling tidak Allah sedang mati suri.“

Dalam konteks inilah kita semua diingatkan dengan pesan sidang raya Dewan Gereja Sedunia di Busan akhir Okttober 2013, “God of Life lead us to justice and peace!“ Allah sesungguhnya tidak mati dan tutup mata terhadap segala bentuk ketidak-adilan di dunia dan di Indonesia. Terungkapnya korupsi ketua MK merupakan bagian tindakan Allah agar Indonesia mulai berbenah diri dan tidak puas diri.  Yang menjadi sarang penyamun  di Indonesia tidak hanya sebatas di departemen pertanian, departemen olah raga, departemen agama, departemen ESDM, polri, kejaksaan tapi juga dalam Mahkamah Konstitusi.

Makamah Konstitusi merupakan tempat untuk melaksanakan misi suci perlu berbenah diri. Demikian juga rumah ibadah di Indonesia perlu mawas diri dan bersih diri. Tidak jarang korupsi di rumah ibadah jauh lebih buruk dari Makamah Konstitusi. Karena korupsi di rumah ibadah atas nama Allah demi kesucian.

Tuhan Yesus pernah membersihkan  bait Allah di Yerusalem  dan  berkata : “Rumah-Ku adalah rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” Dengan kata lain, Makamah Konstitusi  maupun rumah ibadah di Indonesia adalah rumah keadilan, jangan sampai di dalamnya bersarang penyamun yang melakukan korupsi!

Penulis adalah Direktur Center for Development and Culture


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home