Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 19:21 WIB | Rabu, 23 Juli 2014

RUU MD3: BAKN Hilang, Tanda Transparansi DPR Tidak Ada Lagi

Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri (kanan). (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Berdasarkan pengesahan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), pada 8 Juli kemarin, putusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang dihilangkan dari parlemen patut menjadi keprihatinan kita bersama, karena berpotensi tidak adanya transparansi terhadap setiap laporan di parlemen, menurut Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Hasan Bisri.

Hampir di semua negara maju, parlemennya mempunyai lembaga akuntabilitas negara yang disebut Public Account Commitee/PAC), seperti Australia, Inggris, Belanda, meskipun namanya berbeda-beda, tetapi lembaga itu tugasnya bermitra dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa dan menindaklanjuti laporan DPR.

“DPR perlu membentuk lagi lembaga sejenis (BAKN, Red), meskipun namanya berbeda,” kata Hasan saat menjadi narasumber kegiatan focus group discussion UU MD3, di Paramadina Graduate School, SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (23/7).

Hasan berpendapat bahwa semenjak di DPR terbentuk BAKN yang di dalamnya hanya ada sembilan anggota itu, DPR menjadi bisa begitu kritis terhadap laporan BPK.

“Itu dianggap masukan yang sangat berharga bagi kami (BPK, Red), umpamanya orang menulis di koran, kalau ada pembaca yang mengkritisi, tentu kita senang berarti persoalan yang kita tulis menjadi concern masyarakat meski tidak semua orang setuju,” kata Hasan yang sejak 1977 sudah di BPK.

Jarang bahkan hampir tidak ada komisi di DPR yang meminta BPK melakukan pendalaman, padahal komisi itu yang akan melakukan rapat dengan mitranya dengan lebih intens. Misalnya DPR rapat dengan Kementerian Pekerjaan Umum bahas mengapa tiap menjelang lebaran jalan baru diperbaiki, itu ada masalah apa, ngapain saja kerjanya selama setahun.

“Saya perhatikan komisi-komisi DPR tidak begitu senang dengan keberadaan BAKN, terutama jika dikritisi. Laporan yang dibuat setebal bantal tidak ada komentar,” kata Hasan.

Lebih lanjut dikatakan Hasan, komisi di DPR sibuk mengurus penyusunan APBN, pemilihan pejabat, dan sedikit masalah legislasi, bahkan saat mengurusnya luar biasa bergairah, sangat rajin dan maksimal kerjanya. Sama seperti di pemerintahan (eksekutif, Red), di mana unit-unit yang mengurus pengadaan barang sangat bersemangat.

Tetapi unit yang mengurus laporan, orang-orangnya malas-malasan, ogah-ogahan, ibaratnya orang yang habis pesta, mereka bagian cuci piring. Ini paradigma yang tidak hanya ada di pemerintahan, tetapi juga di parlemen seperti demikian.

Di sinilah peranan terbesar unit yang telah dibubarkan itu (BAKN, Red), yang seharusnya memiliki fungsi pengawasan dan berperan menindaklanjuti hasil audit dari BPK di DPR.

Ke Mana Selanjutnya Fungsi BAKN?

Kalau fungsi BAKN yang dibubarkan itu nantinya dikembalikan kepada masing-masing komisi di DPR, ini menandakan komitmen DPR dalam menjadikan laporan BPK sebagai salah satu alat kontrol, diragukan atau laporan BPK dianggap tidak penting oleh DPR.

Ketika Badan Anggaran (Banggar) DPR membahas laporan pemerintah pusat, laporan itu nantinya disahkan dengan UU. Dari laporan itu bisa berlanjut kepada hak-hak DPR lainnya, misalnya hak menanyakan, hak mengemukakan pendapat, dan lain sebagainya.

Misalnya ada suatu kasus, kenapa penerimaan pajak selama tujuh tahun terakhir tidak pernah tercapai, sementara potensi pengembalian (restitusi) pajak selalu meningkat, di situ Banggar seharusnya bisa memanggil Kementerian Keuangan untuk menjelaskan ada apa dengan perpajakan kita. Akan tetapi, kecenderungan komisi DPR adalah membela kementerian dan menyalahkan BPK.

Audit Segitiga

Konsumen utama produk BPK adalah parlemen, di negara manapun di dunia baik sistem presidensial maupun parlementer. Terlebih di negara maju justru dilakukan audit segitiga, antara BPK, pemerintah, dan BAKN. Di situ sangat dinamis sekali dalam diskusinya, bahwa BPK pun dikritisi agar tidak menuliskan semena-mena tanpa data dalam laporannya, sementara pihak pemerintah (dalam hal ini kementerian, Red) akan ditanya dan didesak oleh parlemennya (BAKN, Red), kenapa sampai terjadi seperti itu.

BPK pun seharusnya tidak dalam posisi ibarat menara gading, tidak tersentuh oleh orang-orang, bisa semena-mena. Sayangnya ide yang hendak diusulkan Hasan itu tidak disetujui dilakukan di Indonesia, karena dianggap tidak ada dasarnya parlemen mengkritisi laporan BPK. Justru kalau BPK terbuka, dalam arti bisa dikritisi, itu akan membuat BPK lebih hati-hati dan lebih profesional.

Kelahiran BAKN sejatinya juga sama dengan kelahiran DPD. Sebetulnya jadi anggota DPD lebih berat daripada anggota DPR, misalnya di Jawa Timur yang penduduknya hampir 40 juta hanya diwakili empat orang, sementara anggota DPR dari Jawa Timur ada 100 orang lebih. Tetapi dengan tugas yang lebih berat itu kewenangnnya justru lebih kecil daripada DPR. Belum lagi persepsi anggota DPR terhadap DPD cenderung sinis.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home