Loading...
RELIGI
Penulis: Melki Pangaribuan 16:14 WIB | Selasa, 30 Juni 2015

SAE Nababan: Panggilan untuk Mengusahakan Keadilan

Pdt. SAE Nababan. (Foto: Melki Pangaribuan)

SATUHARAPAN.COM – Ada tiga kemungkinan mengapa bagi kebanyakan orang Kristen istilah keadilan tidak terlalu populer seperti berkat, anugerah, mujizat, damai, kasih, dsb. Pertama, karena pengalaman: di zaman Orde Lama istilah ini terlanjur diborong PKI, bahkan dijadikan slogan di segala bidang, sehingga banyak orang Kristen memahami istilah ini pertama-tama sebagai istilah politik, dan bukan istilah agama.

Di zaman Orde Baru kebanyakan orang enggan memakai istilah ini, karena takut, bila dicium penguasa sebagai “berbau kiri”, bisa membahayakan eksistensi. Di zaman Reformasi, agaknya kebanyakan kita masih larut dalam euforia menikmati kebebasan setelah begitu lama dipasung bahkan ditakut-takuti, sehingga masalah keadilan belum sepenuhnya disadari, sekalipun akibat ketidakadilan makin lama makin nyata dan bertambah.

Kemungkinan kedua adalah karena masih kuatnya pengaruh pietisme dalam kehidupan bergereja kita. Sebagai gerakan yang merupakan reaksi terhadap formalisme dan intelektualisme pada abad 17, memang gerakan ini membawa banyak yang baik bagi gereja: pentingnya pertobatan, kesalehan pribadi, peranan Penelaahan Alkitab, dan terutama dorongan untuk memberitakan Injil ke luar daerah.

Gerakan inilah yang mengilhami lahirnya badan-badan Pekabaran Injil, yang mengutus banyak Penginjil ke beberapa penjuru dunia, termasuk Indonesia. Akan tetapi karena gerakan ini sangat menekankan orientasi ke surga (bdn lagu-lagu rohani yang penuh dengan kerinduan ke surga!), maka perhatian terhadap tantangan dunia ini sangat tipis. Sikap ini makin diperkuat aliran neo-pietisme lagi sejak pertengahan abad yang lalu.

Kemungkinan ketiga adalah lugunya menerima dan larutnya menikmati hidup dalam sistem dan orde masyarakat yang ada, dan dalam peraturan-peraturan gereja yang diwarisi. Contoh: Beberapa banyak di antara kita yang menganggap penguasa Orde baru yang sudah makin diktatoris harus ditaati sesuai Roma 13, dan melupakan Wahyu 13 yang memperingatkan bahwa penguasa bisa menjadi binatang buas. Atau, betapa gampangnya kita di zaman Reformasi ini menganggap, bahwa bila seseorang kaya atau kaya raya (konglomerat), itu adalah berkat Tuhan (pengaruh neo pietisme). Sedang seorang sastrawan sekuler saja sudah pernah memperingatkan bahwa “Behind every great fortune there is a crime” (Balzac).

Atau berapa banyak kita peduli di dalam gereja, bahwa salah satu sumber ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan itu adalah “penolong” bagi laki-laki melupakan bahwa perempuan juga diciptakan “menurut gambar” Allah sama dengan laki-laki, dan mengutip ayat yang memberi kesan, bila perempuan berzinah, bisa diceraikan, tetapi tidak menyebut, bila laki-laki berzinah. Kemalasan dengan tekun secara bersama mempelajari Alkitab mengakibatkan rasa puas dengan “agama Kristen” yang diwarisi.

Oleh sebab itu, panggilan untuk mengusahakan, mencari dan menegakkan keadilan perlu lebih nyaring disuarakan pada waktu ini. Alasannya: keadilan adalah istilah yang sentral dalam Alkitab! Ada beberapa hal yang perlu ditonjolkan dan digarisbawahi masa kini.

Pertama: hubungan kebaktian dengan keadilan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Nabi Yesaya dan Amos, mengingatkan betapa ketidakadilan dalam masyarakat mempertanyakan kegunaan ibadah. Yesaya mencela dengan sangat keras, bahwa ibadah yang bertele-tele dan aneka korban – “Untuk apa itu?” – tidak mempunyai makna, bila orang-orang beribadah itu tidak peduli terhadap ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dia menyerukan Firman Tuhan: “Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan (Apa keadilan itu?): selamatkanlah orang-orang tertindas – belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda” (1:11, 16b-17).

Dan pada saat orang banyak menganggap puasa itu sangat penting, bahkan perlu dipamerkan, tetapi pada waktu yang sama tidak memperdulikan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, nabi Yesaya menyampaikan pesan TUHAN secara radikal: “Berpuasa yang Ku-kehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap sesamamu sendiri” (58:6-7).

Nabi Amos tidak kurang tajamnya: melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari penuh ketidakadilan, kejahatan dan korupsi – orang-orang lemah diinjak-injak dan dipungut pajak, menjadikan orang benar terjepit, menerima suap, meminggirkan orang-orang miskin,– dan pada waktu yang sama sibuk mengurus seremoni dan ritus agama, dia menyampaikan pesan keras dari TUHAN: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu ... aneka korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu, Aku tidak mau pandang. Jauhkan dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu Aku tidak mau dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir(5:21-24).

Di dalam Perjanjian Baru juga kita baca betapa keadilan itu berada di jantung Injil itu. Hal ini jelas kita lihat dalam kritik Yesus terhadap para pemimpin zamannya, yang menekankan bahwa yang terpenting dalam Hukum Taurat adalah “keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan.” Dia mengakui bahwa aturan-aturan agama perlu, tetapi yang terpenting jangan dilupakan (Mat. 23:23).

Dan yang paling mengejutkan lagi adalah peringatan tentang penghakiman terakhir, di mana bukan kesalehan beragama yang menentukan, melainkan sikap dan perlakuan terhadap salah seorang dari saudara Yesus yang paling hina itu – yang lapar, yang haus, pengungsi, yang telanjang, yang di penjara (Mat. 25:37-40).

Warisan pietisme menghalangi mata kita melihat, bahwa apa yang harus dilakukan menyelamatkan, memerdekakan, memampukan hidup “saudara-saudara Yesus yang paling hina itu”, bukan sesuatu tambahan kepada kebaktian, semacam amal, karitatif melulu. Melainkan sangat mendasar: ibadah yang kita lakukan (ritus, seremoni, persembahan, paduan suara, KKR, dllsb) adalah tempat pemberangkatan orang percaya memasuki dunia, kehidupan sehari-hari untuk menegakkan keadilan yang utuh. Dan ini bukan saja mencakup “kegiatan sosial” melainkan terutama sikap hidup dan kepedulian mengusahakan sistem dan orde masyarakat yang adil!

Kebaktian yang sejati adalah tempat pemberangkatan untuk memampukan orang-orang percaya terlibat dalam kehidupan politis yang mengusahakan keadilan dan perdamaian dalam masyarakat! Bila kebaktian tidak mampu menjadikan orang percaya menjadi peduli dan mampu menentang ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat, sudah ada yang tidak beres, yang perlu diperbaiki dan diperbaharui!

Agaknya pesan Amos sangat relevan masa kini, agar kita jangan larut dalam kebaktian yang bertele-tele, penuh keributan musik dan pengulang-ulangan yang emosional, seolah-olah Tuhan itu tuli! – sehingga kita tidak peduli ketidakadilan dan kejahatan dalam masyarakat, dan tidak sempat ikut menegakkan keadilan. Ada baiknya kita mengingat bahwa keputusan siapa “masuk surga” tergantung dari keterlibatan menegakkan keadilan dalam masyarakat.

Kedua: Cerita manna (Kel 16) menyampaikan tiga pesan: (a) bahwa Allahlah yang memberikan manusia makanan tiap hari; (b) bahwa setiap orang bebas dan dapat mengambil/mengusahakan “menurut keperluannya”; (c) bahwa ada patokan dan batas dari “keperluan” atau kebutuhan ini, yakni CUKUP.

Artinya: “yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan” (bdn doa “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami secukupnya”) Jemaat purba pertama mencoba menghayati ini sebagai persekutuan (Kis. 2:44-45; 4:32-37). Rasul Paulus mencoba menerapkan ini dalam hubungan antar gereja dengan tujuan “agar ada keseimbangan” (2 Kor. 8:14-15).

Tetapi baik pada saat manna untuk pertama kali diturunkan dari langit, maupun pada saat jemaat purba pertama mencoba hidup dalam keseimbangan, musuh utama dari pengaturan CUKUP ini sudah muncul, yaitu ketamakan dan kerakusan! Orang Israel melanggar dengan mengambil lebih dari ukuran cukup. Hasilnya: “berulat dan berbau busuk” (Kel. 16:20).

Apa yang kita sebut polusi waktu ini adalah akibat dari pelanggaran mengambil lebih dari cukup! Ketamakan ini digambarkan Amsal dengan indah: “Si lintah mempunyai dua anak perempuan: “Untukku!” dan “Untukku!” Ada tiga hal yang tak akan kenyang, ada empat hal yang tak pernah berkata: Cukup.

Dunia orang mati, dan rahim yang mandul, dan bumi yang tidak pernah puas dengan air, dan api yang tidak pernah berkata: “Cukup!” Bila kita perhatikan, dalam semua “daftar dosa” yang ada dalam Perjanjian Baru, kata “keserahkahan” selalu ada. Dalam kehidupan sehari-hari kita lihat keserahkahan ini dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan korporatokrasi-korporatokrasi, seolah-olah sudah “dilindungi” dalam sistem danorde ekonomi dunia masa kini (bdn IMF, WB, WTO).

Ketiga: Berhubung dengan alam sekitar, berabad-abad lamanya teologi menekankan bahwa tugas manusia adalah menaklukkan dan menguasai alam (Kej. 1:28) dan Gereja membiarkan, bahkan sempat memberkati, pemikiran ini, yang melahirkan kolonialisme dan imperialisme, yang mendorong penjajahan bangsa-bangsa lain dan eksploitasi sumber daya alam tanpa batas.

Apa yang kita kenal dengan orde ekonomi sekarang, tidak lain dari orde yang disusun berdasarkan ajaran penguasaan dan penaklukan ini. – Ibu dari kapitalisme dan neolib. Baru menjelang pertengahan abad XI Gereja menyadari bahwa manusia juga ditugaskan mengusahakan dan memelihara ciptaan (Kej. 2:15).

Dilema yang dihadapi Gereja di seluruh dunia adalah bahwa Gereja berada di pangkuan masyarakat yang diatur dalam orde ekonomi dan politik yang dikuasai kapitalisme dan neolib. Itu sebabnya juga tidak begitu gampang mengatakan, bila seseorang kaya raya dengan sendirinya itu adalah “berkat Tuhan.” Saya rasa Tuhan tidak pernah memberkati eksploitasi atau usaha yang merugikan orang lain dan orang banyak!

Panggilan untuk mengusahakan keadilan adalah bagian integral dari panggilan untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Karena Injil yang utuh adalah “berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia (Mrk. 1:15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk. 4:18-21).” Dan panggilan ini ditujukan kepada semua pengikut Yesus masa kini, apapun nama gerejanya.”

*Tulisan Pdt. SAE Nababan ini merupakan makalah pada acara diskusi bertajuk “Ekonomi Kehidupan”dan Peluncuran Buku Terjemahan “Justice Not Greed”, yang diselenggarakan Pokja Oikotree Indonesia yang bekerja sama satuharapan.com dan PMK HKBP di Aula Gedung Sinar Kasih Jakarta, pada 25 Juni 2015.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home