Loading...
DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan 09:32 WIB | Rabu, 21 November 2018

Sakdiyah Ma'ruf, Komedian Indonesia Masuk Daftar BBC 100 Women

Sakdiyah Ma’ruf, perempuan komedian tunggal Muslim pertama dari Indonesia, yang menggunakan komedi sebagai cara untuk menantang ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Capital FM)

Caption: Sakdiyah Ma’ruf disebut sebagai perempuan komedian tunggal Muslim pertama dari Indonesia, yang menggunakan komedi sebagai cara untuk menantang ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan.

SATUHARAPAN.COM – BBC 100 Women mengumumkan daftar 100 perempuan yang dianggap menginspirasi dan berpengaruh dari seluruh dunia untuk 2018. Perempuan komedian tunggal (stand-up) Indonesia, Sakdiyah Ma'ruf masuk dalam daftar ini.

Sakdiyah disebut sebagai “perempuan komedian tunggal Muslim pertama dari Indonesia” yang menggunakan komedi sebagai “cara untuk menantang ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan”.

Sebelumnya, pada wawancara 2015 dengan BBC News Indonesia soal “Wajah radikal dan moderat peranakan Arab Indonesia”, melalui panggung komedi, Sakdiyah sering menyuarakan kegelisahannya terhadap sikap radikal yang ditunjukkan sebagian warga keturunan Arab di Indonesia.

“Di masa post-reformasi, kita menghadapi minoritas keturunan Arab yang suaranya keras, termasuk kelompok radikal dan fundamentalis,” kata Sakdiyah saat itu.

Dia juga tidak memungkiri sebagian anak muda keturunan Arab tertarik ideologi ISIS.

“Komunitas Arab seperti terhubung lebih mudah -ketimbang masyarakat lain- dengan orang-orang di Timur Tengah. Ini terjadi karena situasi geopolitik yang mencair,” katanya setengah menganalisis.

“Sebagian orang-orang Arab Indonesia ini kemudian mencari rujukan baru,” lanjutnya.

“Di sinilah isu trans-nasional menemukan tempatnya”. Namun, Sakdiyah meyakini jumlah anak muda keturunan Arab yang tertarik radikalisme Islam jumlahnya kecil.

Mengubah Strategi Berkomedi

Sampai sekarang tema konservatisme masih menjadi perhatian Sakdiyah dalam mengulik materi untuk diekspresikan di panggung. Namun, kini Sakdiyah mengakui bahwa ada kesulitan yang dihadapinya dalam mengeksplorasi tema-tema tersebut.

“Tantangan-tantangan lama yang saya hadapi setelah sekian lama di profesi ini ternyata masih harus saya hadapi dan kondisinya 'tidak membaik' karena ... terus terang saja, apalagi ini tahun politik ya, apa yang dilakukan orang yang tidak ada hubungannya dengan diri saya itu ikut mempengaruhi hidup dan karier saya,” kata Sakdiyah, Senin (19/11) kepada BBC News Indonesia.

“Apa pun yang dilakukan menjadi ‘us vs them’ saat ini. Setiap kata, setiap tindakan, setiap joke dianggap sebagai keterlibatan politik praktis. Saya tahu setiap statement yang saya lakukan adalah pernyataan politik, tapi bukan politik elektoral. Pernyataan politik dalam arti ini posisi saya menyikapi relasi kuasa, tetapi kalau sekarang, posisi apa pun yang diambil siapa pun menjadi sangat dikaitkan dengan politik elektoral, dan itu membuat situasi menjadi lebih sensitif,” Sakdiyah menambahkan.

Menurut Sakdiyah, kini bisa dibilang dia mengubah strateginya dalam berkomedi.

“Yang saya lakukan sekarang ini adalah mendekatinya dari posisi yang lebih universal, yaitu pengalaman perempuan. Materi baru saya, masih kritik terhadap konservatisme tetapi saya dekati dari fakta bahwa saya baru melahirkan anak perempuan,” kata Sakdiyah.

“Misalnya, saya baru melahirkan anak perempuan. Sedih sekali begitu (anak) lahir sudah dibilang bahwa ini tanda-tanda akhir zaman, misalnya, kan karena orang sekarang kan dikit-dikit tanda-tanda akhir zaman. Makin banyak anak perempuan yang lahir katanya tanda-tanda akhir zaman,” ujarnya.

Tak Sengaja Terjun ke Stand Up Comedy

Sakdiyah yang juga pernah meraih penghargaan Vaclav Havel International for Creative Dissent 2015 di Oslo, Norwegia ini, menyatakan bahwa dia tidak sengaja terjun ke stand-up comedy.

“Artinya ini bukan bagian dari cita-cita atau mimpi saya. Saya juga tidak pernah berpikir akan menjadi komedian. Saya juga tidak pernah berpikir bahwa seorang komedian akan lahir dari komunitas keturunan Arab, apalagi perempuan, dan berjilbab. Tetapi, saya meyakini, kebanyakan kaum Arab peranakan itu memiliki DNA sebagai komedian. Jadi, kehadiran saya sebagai komedian tidak terlepas dari sejarah saya,” kata Sakdiyah saat itu.

Menurut Sakdiyah, dalam komunitas Arab, ketika mereka -terutama kaum pria- berkumpul santai, mereka bisa berkelakar berjam-jam.

“Mereka adalah humoris yang berbakat, walaupun materi kelakarnya terkadang sangat arogan dan terkesan ingin menunjukkan superioritas mereka. Itulah sebabnya saya sering bertanya-tanya: kenapa orang-orang Arab di Timur Tengah suka marah, perang, padahal mereka memiliki selera humor yang tinggi, suka bercanda.”

Sebagai komedian, masalah isu perempuan menjadi materi saat di panggung, di antaranya soal tubuh perempuan, termasuk soal hijab.

Tema-tema lain yang dieksplorasi oleh Sakdiyah termasuk soal identitas kearabannya, kebangkitan gerakan fundamentalisme, serta soal liberalisme.

Siapa 100 Women Lain?

Lewat para perempuan yang masuk dalam daftar 100 Women ini, ada banyak tema yang dieksplorasi, termasuk soal menggunakan kemarahan untuk mendorong aksi dan mengangkat sosok perempuan terlupakan dari bayang-bayang sejarah.

Perempuan yang terpilih usianya beragam, dari 15 sampai 94 tahun dan berasal dari 60 negara. Mereka adalah pemimpin, pendobrak, dan pahlawan dalam kehidupan sehari-hari. (bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home