Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 10:14 WIB | Rabu, 08 Agustus 2018

Sampah yang Mematikan dalam "Octagon Syndrome"

Pementasan dramatic reading "Octagon Syndrome" di hall PKKH-UGM, Sabtu (4/8). (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyadur naskah "Negeri Plastik" karya BM. Anggana, Komunitas Sakatoya berkolaborasi dengan Snooge Artwork menggelar sebuah pementasan teater ekologi dalam penyajian dramatic reading di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjaseomantri (PKKH)-UGM, 4-5 Agustus 2018.

Dikisahkan seorang ayah yang tinggal dengan kedua anaknya di rumah yang terisolasi yang diciptakan dari sampah-sampah plastik, lebih tepatnya sampah -sampah plastik yang disusun dan ditata ulang menjadi rumah, pohon dan perabotan lainnya.

Octagon, nama laki-laki itu setiap hari bersama kedua putrinya mengalami banyak peristiwa di dalam rumah mereka yang mereka anggap sebagai rumah kebahagian. Tanpa diketahui oleh kedua putrinya kematian semakin mendekat karena hidup mereka hanya bergantung pada teknologi canggih yang disebut tabung Futuregen yang kapasitasnya semakin hari semakin berkurang dan tidak dapat diperbarui lagi.

Menyadari kemungkinan tersebut Octagon mau tak mau harus menjelaskan persoalan kematian kepada kedua anaknya. Akhirnya Octagon sadar bahwa satu-satunya sikap yang dapat diambil adalah merayakan kematian dengan sebaik-baiknya. Octagon akhirnya memutuskan membuat sebuah pemakaman terindah yang bisa ia ciptakan sebagai hadiah terakhir kepada kedua anak yang dicintainya.

Menempatkan penonton menyatu dalam panggung pertunjukan membuat pementasan "Octagon Syndrome" menjadi lebih intim karena penonton mengalami langsung bahkan menjadi bagian dari pementasan itu sendiri.

Realitas hari ini plastik kemasan seolah menjadi sebuah keharusan dalam banyak pemakaian sehari-hari. Disadari ataupun tidak, ketika plastik kemasan tersebut menjadi sampah di alam adalah sebuah ancaman nyata mengingat lamanya terurai secara alami. Sampah plastik memerlukan waktu yang beragam agar dapat terurai di alam. Kantong plastik (kresek, plastik bungkus) memerlukan waktu antara 10-12 tahun untuk terdaur ulang. 

Di berbagai media massa kerap disajikan berita-berita tentang kematian binatang laut akibat tidak sengaja menelan sampah plastik. Beberapa waktu lalu di perairan Thailand ditemukan mati karena menelan 80 bungkus plastik seberat 8 kilogram. Bahkan dalam pencernaan yang mengandung asam pun plastik tidak bisa terdekomposisi. Bisa dibayangkan sekiranya material plastik tersebut masuk dalam sistem pencernaan manusia. Bukan sekedar mengganggu sistem pencernaan namun juga mengganggu metabolisme tubuh lainnya.

Pada titik ini Sakatoya yang mencoba membangun kesadaran bersama tentang bahaya sampah plastik di alam, berhasil membuat narasi melalui dialog yang ringan-berat langsung pada pokok permasalahan bahwa cepat ataupun lambat sampah-sampah plastik dan sampah yang terdekomposisi dalam waktu yang lama adalah ancaman kematian bagi kehidupan yang nyata. 

Sampah rumah tangga baik organik maupun non-organik selalu menjadi masalah sebuah kota di manapun. Dalam satu hari Kota Yogyakarta menghasilkan setidaknya 200 ton sampah rumah tangga.  Dalam catatan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta sekitar 10-15 persen sampah domestik dibuang di bantaran sungai.

Konflik pengelolaan sampah antar daerah-wilayah kerap terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Beberapa waktu lalu kita disuguhi bagaimana konflik pengelolaan sampah di TPA Bantargebang maupun di Kota Bandung membuat warga sekitar menjadi tidak nyaman untuk beberapa waktu lamanya akibat menumpuknya sampah di berbagai sudut kota. Ancaman ketidaknyamanan hingga membahayakan kesehatan.

Di titik itu pula Sakatoya melontarkan kritik: haruskah kita menyiapkan jalan kematian yang indah akibat ketidakmampuan mengelola sampah-sampah plastik, sampah non-organik lain, maupun sampah organik? Bukankah pendekatan teknologi pengolahan sampah telah banyak diperkenalkan dan diterapkan? Lebih dari itu, ketika sampah adalah realitas kehidupan hari ini yang semakin hari semakin meningkat hanya bisa dilawan dengan kesadaran untuk bertindak bersama sebelum semuanya terlambat? Setidaknya, dengan membuang sampah pada tempatnya Anda bisa berlaku lebih arif membantu pihak lain untuk bersama mewujudkan lingkungan hidup yang lebih sehat, lebih indah, dan lebih aman. Membentengi diri dalam sebuah keindahan tanpa berpikir pada keselamatan bersama seperti Octagon hanya akan mengulang kematian demi kematian tanpa disadari.

Beruntung Sakatoya hanya mendisplay properti panggung memanfaatkan botol-botol plastik yang sudah dibersihkan. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya Sakatoya benar-benar membuat pementasan drama ekologi di tempat penampungan akhir (TPA) sampah: bisa jadi penonton akan mengalami drama-drama kehidupan yang sesungguhnya secara langsung atau mungkin mengurungkan keinginanannya untuk menonton pementasan. 

Sebelum semua menjadi seperti kota-kota besar, jagalah tanah kita dari sampah yang membawa kematian.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home