Loading...
OPINI
Penulis: Fransisca Ayu Kumalasari 00:00 WIB | Kamis, 03 November 2016

Satu Harga BBM: Satu Nasib Indonesia

Langkah berani Presiden Jokowi Oktober lalu yang membuat harga BBM di Papua sama dengan harga di Jawa, punya makna penting, lebih dari sekadar kebijakan ekonomi. Ini merupakan komitmen Presiden guna menjaga Indonesia sebagai rumah bersama.

SATUHARAPAN.COM - Pemerintah akhirnya mewujudkan program bahan bakar minyak satu harga atau sama dengan daerah lain di Indonesia, untuk daerah Papua dan Papua Barat. Pencanangan itu dilakukan Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan ke Papua 17 Oktober lalu. Terobosan ini tentu sangat disambut sumringah oleh rakyat Papua karena selama ini mereka sering mengeluh betapa mahalnya biaya hidup, termasuk BBM.

Jika di daerah lain di Indonesia hanya dengan merogoh kocek senilai Rp. 6.450,00 sudah bisa mendapat bensin satu liter, namun di Papua, harga seliternya mencapai Rp.50.000 atau Rp.60.000 bahkan Rp.100.000 perliter, tergantung jaraknya. Ini membuat rakyat di Papua merasa seakan dianaktirikan karena tidak memperoleh priviledge yang sama dalam menikmati harga premium nasional. Keluhan rakyat Papua ini sudah lama diutarakan di pemerintahan sebelumnya, namun selalu gagal direspons pemerintah dengan baik dengan berbagai rasionalisasi ekonomi. Misalnya, karena ongkos transportasi yang mahal sehingga distribusi BBM terkendala terlebih untuk daerah perdalaman.

Dengan kondisi geografi yang rumit dan juga harus melewati isolasi fisik, upaya pendistribusian BBM di daerah Papua harus menguras ongkos ekonomi yang besar. Itu sebabnya Pertamina, sebagai BUMN yang bertanggung jawab mendistribusikan BBM, mengakui bahwa agak susah untuk menerapkan harga BBM yang sama dengan daerah lain di Papua karena hanya akan mendatangkan kerugian bagi Pertamina.

Dalam perspektif ekonomi, tentu berat untuk menerapkannya, namun dalam teori kebijakan publik, William N Dunn, yang adalah seorang pakar kebijakan publik internasional, mengatakan bahwa ongkos ekonomi sebuah kebijakan tidak harus menegasi kemanfaatan sosial yang diperoleh jika sebuah kebijakan diimplementasikan. Artinya, nilai untung rugi dari pemberlakuan harga BBM di konteks rakyat Papua hendaknya tidak menjadi perspektif tunggal untuk mengukur efektifitas dampak kebijakan harga BBM.

 

Patut diacungi jempol

Itu sebabnya alasan yang selama ini digunakan Pertamina terkait harga BBM di Papua ditolak mentah-mentah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintahan Jokowi dengan tegas meminta kepada Pertamina untuk menyamaratakan harga BBM di wilayat barat timur, tengah di Indonesia, supaya keadilan bisa menjadi bagian semua rakyat, tanpa pengecualian.

“Ada ketidakadilan di sini, di Jawa hargaya 7 ribu, sedangkan  di Wamena 70 ribu bahkan ada yang 100 ribu”, ujar Jokowi saat melakukan kunjungan di Jayapura (17/10). Dengan mengadakan subsidi silang atau menggunakan laba yang didapat dari penjualan di Indonesia Barat, maka harga BBM di Papua bisa disamakan dengan harga di daerah lain dan hal tersebut tidak akan merubah neraca perdagangan”.

Memang menurut Pertamina, adanya disparitas harga BBM yang dijual di Papua karena di luar garis distribusi Pertamina. Dengan kata lain harga BBM yang selangit itu harga yang dijual secara eceran. Artinya pertamina hanya menjual BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, Agen Premium Minyak dan Solar (APBM) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Di Papua menurut Pertamina, lokasi penjualan BBm milik Pertamna hanya mencapai 36 unit SPBU, 97 unit APMS, 16 unit SPDN dan 4 unit SPBN. Sehingga daerah-daerah yang berada di luar titik distribusi Pertamina tersebut harus menanggung harga yang lebih mahal. 5.150 untuk solar.

Ketegasan Presiden Jokowi patut diacungi jempol. Di tengah kondisi keuangan negara yang sedang defisit, ia mampu bertindak bijaksana dengan mengambil opsi berani yang notabene selalu gagal dilakukan para pemimpin sebelumnya. Dengan satu harga BBM tersebut, secara nasionalisme, akan semakin melekatkan imajinasi kebangsaan sebagai senasib dan sepenanggungan di bumi pertiwi ini.

Padahal Papua sudah lama masuk dalam orbit perlakuan kebijakan khusus pemerintah, mengingat masyarakat di sana masih jauh tertinggal di banding daerah lainnya. Padahal kalau mau jujur, apa sih yang tidak dimiliki Papua. Sejumlah kekayaan alamnya terbentang luas, menggiurkan para pendatang termasuk investor internasional, yang sudah puluhan tahun menanamkan modalnya di bumi ujung timur itu.

Mereka punya hutan dengan sejumlah kekayaan di dalamnya, laut yang menyimpan banyak sumber kehidupan, ada emas, minyak dan kekayaan lainnya. Namun semua itu tak mampu mengangkat mereka dari keterbelakangan. Hidup rakyat Papua sebagian besar masih dikitari litani kemiskinan di tengah deru mesin tambang yang kerap loba dan mendestruksi lingkungan di sekitarnya.

Selama puluhan tahun juga, pemerintah pun sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang terjadi di Papua karena memang pemerintah tidak punya visi bagaimana memulihkan martabat rakyat Papua dari sandera kesulitan ekonomi dan hidup dalam situasi keterpencilan. Padahal sejak bergabungnya mereka ke pangkuan NKRI pada tahun 1969, mereka tentu sangat berharap hidup dan masa depan generasi mereka menjadi lebih baik.

Bisa menikmati fasilitas penerangan dengan baik dan merata, sekolah setinggi-tingginya supaya bisa menghasilkan generasi yang membangun tanah kelahirannya, punya banyak fasilitas kesehatan sehingga ketika sakit mereka bisa langsung berobat ke rumah sakit terdekat, tidak lagi semata mengharapkan pengobatan dengan sistem kepercayaan tradisional yang kerap berisiko kematian, mereka juga bisa bepergian dari desa ke kota untuk memasarkan hasil tani dan membeli kebutuhan pokok sehari-hari dengan biaya transportasi yang murah, bisa menikmati infrastruktur jalan raya yang baik dan sebagainya. Itulah mimpi mereka, seindah lagu Alm Franky Sahilatua yang mengibaratkan rakyat Papua berenang di atas minyak, saking kayanya. Namun itu tak seindah kenyataan karena mereka Cuma menjadi penjual buah pinang.

 

Usaha berani

Tidak itu saja, mereka pun bisa hidup tenang tanpa diganggu oleh konflik sosial yang selalu mengurung mereka dalam ketakutan dan kecemasan. Termasuk ancaman disintegrasi yang dilakukan oleh kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan Papua. Kelompok tersebut menyulut benih konflik yang telah memakan korban rakyat kecil yang tak tahu apa-apa. Mereka beralasan karena rakyat Papua selama ini diperlakukan tak adil dan tak kunjung merasakan kesejahteraan hidup meski sudah lama bergabung dengan Indonesia.

Semua kekecewaan itu memang realitas yang terpampang di bumi Papua dan kita tak bisa memungkirinya. Namun harus ada usaha berani pemerintah untuk keluar dari kemelut itu, yakni dengan mencarikan strategi yang tepat untuk meredam konflik di Papua, tidak saja dengan pendekatan keamanan yang justru makin menoreh luka mendalam untuk rakyat tetapi juga dengan menggunakan strategi dialog dengan menggunakan kearifan budaya setempat, dan melibatkan tokoh-tokoh adat, masyarakat asli Papua. Selain itu memberikan prioritas pembangunan infrastruktur seperti yang sudah dilakukan Presiden kemarin dengan meresmikan enam proyek infrastruktur listrik di Papua, sehinga diharapkan denyut ekonomi rakyat Papua tak lama lagi akan mulai bergerak.

Empati pemerintah terhadap Papua sangat dibutuhkan. Karenanya saya memprotes apa yang dikatakan oleh Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM, bahwa selama ini Presiden Jokowi telah sia-sia melakukan kunjungan ke Papua karena hanya menghabiskan APBD. (Kompas.com 18/10). Statemen ini tentu tendensius, emosional dan lahir dari kaca mata kuda dalam melihat masalah yang ada.

Padahal intensitas kunjungan Presiden ke Papua selama ini adalah bentuk dari upaya membangkitkan empati terhadap rakyat Papua. Kunjungan atau blusukan yang dilakukan selama ini tidak terlepas dari ikhtiar membangun nilai-nilai empati, karena percayalah, hanya dengan empati, seorang pemimpin akan terinspirasi untuk bisa melahirkan kepedulian dan aksi humanisnya melalui berbagai kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat. Kalau hanya duduk di belakang meja, seorang pemimpin pasti akan kehilangan ilham sejati untuk mencetuskan ide-ide pemihakan terhadap rakyat.

 

Penulis adalah pemerhati sosial

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home