Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 13:41 WIB | Jumat, 19 Agustus 2016

Sekjen Presidium Dewan Papua: Referendum Bukan Harga Mati

Thaha Alhamid (Foto: Eben Ezer Siadari)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tidak seperti sebagian kalangan Indonesia yang meneriakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati, tokoh Papua, Thaha Alhamid, justru melihat tuntutan diadakannya referendum bukan merupakan harga mati bagi rakyat Papua. Referendum menurut dia adalah salah satu opsi.

Sekretaris Presidum Dewan Papua (PDP) ini mengatakan paling penting adalah dialog antara Papua dan Jakarta untuk menyelesaikan permasalahan Papua secara damai, yang sampai saat ini belum dilaksanakan. Dan, dalam dialog, tidak pernah ada kata harga mati.

Thaha Alhamid, yang di era Presiden B.J. Habibie merupakan salah satu personel dari Tim 100 yang diminta merumuskan penyelesaian persoalan Papua, mengatakan hal itu dalam perbincangan dengan satuharapan.com, Kamis (18/8) di Jakarta.

"Apakah itu dialog atau referendum itu kan hanya salah satu cara," kata Thaha.

Menurut dia, referendum adalah produk. "Dan orang tidak bisa bicara produk tanpa bicara proses. Saya kira komitmen rakyat Papua adalah dialog. Menyelesaikan secara damai. Bukan pakai perang. Dan dialog untuk semua aspek. Aspek ekonominya bagaimana. Otsusnya yang kacau ini bagaimana. Itu harus ada dialog," kata pria yang dikenal dekat dengan pemimpin kharismatik Papua, almarhum Theys Eluay.

Thaha Alhamid mengatakan tuntutan merdeka dari sebagian rakyat Papua harus disikapi proporsional. Demikian juga tuntutan supaya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melakukan intervensi atas berbagai pelanggaran HAM di Papua, harus disikapi dengan tenang.

Tuntutan-tuntutan semacam itu, bagi Thaha Alhamid, adalah suatu hal yang lazim dalam proses negosiasi.

"Soal, call (seruan) tinggi, dulu kami (Presidium Dewan Papua, Red) juga call Papua merdeka. Juga soal intervensi kemanusiaan (PBB). Beberapa kali sudah ada special rapporteur (pelapor khusus), sudah datang di Papua.  Tetapi sama seperti referendum, itu call. Itu bukan menjadi soal. Yang terutama mari kita bicara proses. Dialog," kata Thaha.

Thaha mengingatkan bahwa ketidak adilan di Papua merupakan persoalan yang paling kasat mata. "Tidak perlu menjadi sarjana untuk melihat ketidak adilan di Papua," kata Thaha, seorang Muslim dan keturunan Arab, tetapi lahir dan besar di Fakfak, Papua, serta menjadi salah satu tokoh yang turut menyuarakan ketertindasan Papua sejak masa Orde Baru.

Wikipedia menyebut Thaha Alhamid  seorang aktivis atau pejuang Gerakan Separatis Papua di bidang politik, namun ia sendiri mengatakan tujuan utama perjuangannya adalah menentang ketidak adilan yang dialami oleh rakyat Papua. Ia bersama tokoh Papua lainnya, Tom Beanal,  Willy Mandowen, dan Terrianus Yoku pernah ke Amerika Serikat untuk melobi Kongres AS dan PBB agar sejarah Papua diluruskan dan diadakan referendum untuk menentukan nasib sendiri rakyat Papua.

Sebagai seorang Muslim, Thaha mengatakan ia terpanggil memperjuangkan nasib rakyat Papua karena menurut keyakinannya, itulah panggilan Islam yang sebenarnya. "Semakin Islam seseorang, semakin dia berkeyakinan, bahwa dia tidak boleh tidur di kala orang lain lapar, tertindas. Dia harus berjuang, itu misi, itu khilafah yang sesungguhnya. Kalau kau melihat sesuatu yang munkar, ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan atau tulisan. Jika tidak mampu juga, barulah berdoa, tetapi itu yang paling lemah," kata Thaha, yang sejak sekolah dasar, sudah menyaksikan bagaimana kekerasan oknum tentara RI terhadap penduduk Papua.

Thaha mengeritik pemerintah yang seringkali serius memperhatikan masalah Papua bila diangkat di forum internasional. Sedangkan apabila tokoh Papua berbicara di dalam negeri, tidak terlalu diperhatikan.

"Menurut saya masalah Papua itu tidak harus dibicarakan di Vanuatu. Papua itu adalah ujung timur Indonesia. Jangan bicara Papua di Vanuatu.Jangan baru panik bila orang bicara Papua di Washington. Kalau kami berteriak di Papua, Jakarta tutup telinga tetapi kalau ada yang teriak di Oxford, baru panik," sindir Thaha Alhamid.

Dia menegaskan bahwa United Liberation Movement for West Papua (ULMW) yang belakangan ini gencar memperjuangkan referendum adalah sayap diplomasi yang disepakati oleh rakyat Papua.

"ULMWP itu kesepakatan bersama untuk melaksanakan sayap diplomasi. Tetapi yang utama adalah (dialog) dengan rakyat (Papua)," tambah dia.

Thaha Alhamid menyayangkan bila Presiden Joko Widodo sampai saat ini belum menyentuh substansi permasalahan Papua. Ia menilai kunjungan Jokowi ke Papua berkali-kali justru kurang produktif.

"Justru kami harap dia jangan datang terlalu sering kalau belum bisa melihat Papua dari hati. Kebijakan Jokowi belum menyentuh substansi sama sekali. Lebih banyak cuma mengalirkan angin sorga, dan janji-janji. Itu kami rasa tidak baik lagi," kata dia.

Dia menambahkan, satu-satunya presiden Indonesia yang ia nilai dapat memahami Papua adalah Presiden Abdurrahman Wahid. "Political will itu masalah hati. Ada hati atau tidak di situ?," kata Thaha.

Kabar baiknya, menurut Thaha, adalah Presiden Jokowi memilih Tito Karnavian sebagai Kapolri. "Menurut saya, ini kabar baik bagi Papua. Tidak ada yang lebih baik dari Pak Tito. Karena dia tahu perkembangan di Papua. Dia punya kecerdasan dan punya hati nurani, mengembangkan pendekatan baru dalam tugas-tugas polisi di Papua," kata Thaha.

Lebih jauh, Thaha mengingatkan bahwa pada tahun 1998 sudah ada sejumlah opsi atau skenario bagi masa depan Papua. Opsi-opsi itu, pertama adalah Papua merdeka dan berdaulat penuh.

Opsi kedua, Papua menjadi seperti Hong Kong, one nation two system.

Opsi ketiga adalah otonomi seluas-luasnya.

"Otonomi seluas-luasnya dianggap sebagai solusi politik dan sudah menjadi undang-undang. Tetapi apa efeknya perlu dibicarakan.Apakah setelah (Otsus) yang gagal ini berhenti, akan ada kebangkitan baru rakyat Papua?," ia bertanya.

"Jakarta sebetulnya sudah melewatkan momentum. Apakah di era Otsus ini pernah didorong adanya komisi kebenaran dan rekonsiliasi?. Tidak pernah terjadi. Sekian tahun ini orang hanya pesta dengan uang yang banyak. Tetapi tidak ada trust antara Jakarta dan Papua," kata dia.

"Apakah di atas kapal republik ini kami sudah diakui? Apakah situasi justru tidak lebih buruk? Luhut (Panjaitan, menko polhukam, red) mengatakan uang yang digelontorkan ke Papua tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat Papua. Artinya, Otsus yang sudah jadi UU tidak pernah dilaksanakan pemerintah."

Thaha Alhamid mengatakan saat ini ia mendengar pemerintah sedang merumuskan satu badan otorita yang akan menangani pembangunan di Papua. Thaha mengatakan memang harus dicarikan bentuk yang dapat menyelamatkan Otsus yang sudah gagal tersebut.

"Kongres II Presidium Dewan Papua tahun 2000 sudah menetapkan, masalah Papua sepatutnya diselesaikan melalui jalan damai atau dialog. Dari dulu saya percaya bahwa inilah jalan yang lebih arif. Mari kita bicara terbuka soal sejarah politik, tentang pelanggaran HAM, serta hak-hak dasar lainnya. Toh rujukan sudah ada, pengalaman juga sudah ada, tinggal kemauan politik saja yang belum cukup," ia menambahkan. Thaha adalah pemimpin rapat ketika berlangsungnya Kongres II Rakyat Papua.

Soal agenda apa yang mau dibicarakan, bagaimana menggulirkannya, siapa-siapa yang berdialog, siapa saksi independen dan seterusnya, kata Thaha,  bisa saja lebih dulu disiapkan dalam sebuah frame of dialog yang disetujui oleh kedua belah pihak.

"Yang terpenting kita pegang ialah bahwa orang tidak bisa berdialog di bawah intimidasi dan todongan senjata, sehingga segenap prasyarat ke arah dialog yang damai dan bermartabat memang musti disiapkan."

Menurut Thaha, orang sering bicara tentang NKRI harga mati dan Papua Merdeka Harga Mati.  Padahal, posisi semacam ini tidak mungkin memberi ruang untuk dialog.

"Jujur saja, saya takut mengobral istilah harga mati macam NKRI harga mati atau Papua merdeka harga mati. Kalau kita setuju berdialog, maka kutub yang ekstrem seperti ini baiknya dihindari. Hari ini kita menyanyi harga mati, jangan sampai esok setengah mati dan akhirnya betul-betul mati," kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home