Loading...
OPINI
Penulis: JC Pramudia Natal 14:00 WIB | Selasa, 02 Mei 2017

Sekolah (Tidak) Hanya Sejauh Doa

Musim ujian sekolah sudah tiba. Dan salah satu kegiatan yang banyak dilakukan di mana-mana, selain bertambahnya jam pelajaran, adalah doa bersama. Pertanda apakah itu?

SATUHARAPAN.COM - Triwulan ketiga tahun ajaran 2016-2017 kita masuki, dan geliat persekolahan di jenjang tahun pungkasan (kelas 6, 9, dan 12) semakin terasa karena sudah memasuki fase ujian akhir. Selain dari kegiatan ujian di sekolah, ekstra sekolah murid-murid juga lebih getol mengulang materi pelajaran di berbagai bimbingan belajar yang mereka ikuti.

Tidak berhenti di ranah kognitif, iklim (kalau tidak mau disebut teror –mengutip praktisi pendidikan Habe Arifin) ujian demikian menyergap sehingga ranah ilahi juga disergap melalui satu kegiatan yang bernama praktik doa bersama. Mengingat kegiatan akbar keilahian ini terjadi dalam ruang sosial dengan skala besar, maka dapat dikatakan bahwa pemicunya adalah sebuah hal yang krusial bagi hajat orang banyak. Namun karena sifatnya yang mendasar bagi kepentingan umum, justru perlu dikaji mendalam apakah praktik doa bersama ini sudah tepat guna, atau justru hanya gelap mata keputusasaan dan kegelisahan akibat silap nalar?

Di dalam Injil, Yakobus 2:26 dengan lantang mereformasi seruan Paulus dan Martin Luther: ”Iman tanpa perbuatan adalah mati”. Di dalam Alquran Q.S.  Ar-Rad 13:11 difirmankan : “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum tersebut mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Dalam kerangka kedua firman ini pelaksanaan doa bersama menjelang ujian menjadi perlu diselidiki, terutama untuk memahami apakah segenap usaha telah dilakukan oleh para pelaku ujian (sekolah dan persekolahan nasional, peserta didik, dan keluarga) sehingga yang tersisa adalah tinggal berserah kepada penyelenggaran Ilahi (Providentia Dei / Lillahi Taala) ? Sekali lagi, itu kalau memang tujuan doa bersama adalah berserah segala upaya kepada Sang Maha Kuasa, dan tidak memohon keajaiban karena kurangnya pengelolaan diri.

 

Sekolah dan Persekolahan Nasional

Di dalam risetnya Visible Learning (2015), ilmuwan pedagogi John Hattie menyusun ranking dari 195 variabel yang menentukan perkembangan kognitif peserta didik. Variabel yang menduduki rangking tertinggi kedua adalah keampuhan kolektivitas antar subjek dan guru-guru subjek. Atau jika kita mau mengutip pelang-pelang sekolah Indonesia maka kolektivitas ini dikenal dengan nama Kurikulum Terpadu. Melalui praktik kurikulum terpadu seyogyanya sekolah dibentuk menjadi sebuah pusat kreatif (creative hub) atau tangki gagasan (think tank) yang di dalamnya berisi jejaring konseptual dan praktik antara tiap mata pelajaran.

Dalam praktik tahap mendasar murid dan guru masih menjalani kegiatan belajar di bawah payung mata pelajaran tertentu, namun jika ditelisik secara mendalam maka murid sesungguhnya hanya meniti/berpraktik di jejaring konseptual yang dirancang-bangun para guru dengan ujung suatu ujian otentik terpadu.

Misal di kelas Fisika murid memelajari hubungan jenis tabung dengan frekuensi bunyi, di kelas Matematika murid memelajari cara pengukuran volume bangun tabung, di kelas Musik murid memelajari produksi alat musik tiup sederhana, dan di kelas Bahasa murid memelajari bentuk tulisan panduan pembuatan.

Dengan kesinambungan kolaborasi tata kala kurikulum, guru dari keempat mata pelajaran di atas dapat merancang tugas akhir terpadu yang memadukan semua pelajaran di atas. Praktik pembuatan alat musik tiup sederhana berikut buku panduan memastikan peserta didik tidak sekadar mengetahui materi pelajaran tertentu, tetapi lebih mendalam lagi peserta didik memadukan semua pengetahuannya untuk menciptakan pemahaman dan praktik nyata.

Berkaca dari praktik kurikulum terpadu seperti di atas, maka apa yang ada di lapangan masih jauh panggang dari api. Kurikulum terpadu mensyaratkan bahwa 1) Guru berpola pikir multisubjek 2) Sekolah mengalokasikan waktu untuk kegiatan perencanaan terpadu, dan, 3) Tersedia kesinambungan pelatihan kegiatan belajar dan ujian kurikulum terpadu. Ironis justru tiga hal di atas belum tercermin di lapangan. Dalam beberapa organisasi profesi guru nasional pelatihan-pelatihan yang ditawarkan kepada guru tidak ada yang memenuhi poin ke tiga. Apabila pelatihan diadakan oleh pihak swasta maka tema baru mencapai lingkup pengelolaan ruang kelas dengan para guru masih terbata-bata mengikuti diferensiasi kognisi-psikis per usia peserta didik. Apabila pelatihan diadakan oleh organisasi pemerintah maka sasaran terbatas meningkatkan kuantitas (ya, kuantitas) karya tulis dan kemelekan teknologi guru, atau sejauh-jauhnya pengulangan pemahaman mata pelajaran.

Berkaca dari situasi di atas, sekolah ideal sebagai sebuah pusat inovasi dan tangki pikir masihlah sasaran jangka panjang yang perlu diperjuangkan. Terutama ketika guru masih berjuang menerima bahwa pelajaran dan pendidikan seharusnya berpulang kepada kebutuhan dan ketertarikan peserta didik yang didasari hasil ujian otentik dan pengamatan obyektif para guru, tidak semata pemampatan pengetahuan karena tuntutan kurikulum pemerintah (pusat atau juga daerah).

 

Peserta Didik

Kenyataan peserta didik Indonesia menawarkan suatu citra yang lebih beragam. Mengacu kepada pelaksanaan UN dan USBN dari segi hasil, pemerintah akan merasa bangga bahwa secara nasional jumlah kelulusan masih jauh lebih tinggi dari ketidak lulusan. Namun jika memang pemerintah masih mengulang-ulang kebanggaan tersebut, maka perlulah lebih mawas diri terhadap kinerja pelajar Indonesia dalam ujian PISA.

Dalam tiga seri terakhir (2009, 2012, 2015) tes literasi reflektif internasional tersebut, Indonesia belum bisa menembus rangking 40 besar. Di mana ketertinggalan peserta didik Indonesia? Bukan pada tataran literasi, namun pada refleksi terhadap literatur.

Di dalam rangking Hattie yang penulis acu, refleksi belajar mandiri (self-reported grades) merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki peserta didik untuk memacu perkembangan belajarnya. Refleksi, yang dalam taksonomi kognisi Bloom merupakan pintu masuk menuju tingkat sintesis dan kreasi, memampukan peserta menyelam dari permukaan literasi (baca-tulis) dan membangun jejaring antara pelajaran masa lalu, pengalaman masa kini, dan perencanaan yang akan datang. Dalam konteks literasi, tahap refleksi adalah keadaan meta-tekstual ketika peserta didik mampu menciptakan kembali dunia konseptual dan kontekstual berdasarkan teks yang ia baca (dan pelajaran yang ia alami).

Karena sifat konseptual dan kontekstual, maka dua aktifitas penting perlu dialami secara konsisten oleh peserta didik, yaitu penelisikan (inquiring) dan permainan (playing). Melalui kedua aktifitas tersebut keragaman intelektualitas (multiple intelligence) peserta didik diakomodasi. Kontrasnya hasil UN dengan hasil tes PISA menandakan bahwa peserta didik Indonesia masih terlalu menitikberatkan pada pemecahan soal-soal latihan. Jenis aktifitas pemecahan soal-soal ini lazim dilakukan menjelang ujian, bahkan tidak cukup hanya di dan oleh sekolah, peserta didik menambah porsi dengan juga mengikuti bimbingan belajar di luar.

Harga yang harus dibayar? Tanyalah kepada para pembimbing seni budaya dan olah raga di sekolah-sekolah mengenai lazimnya persiapan ujian digunakan sebagai alasan oleh wali kelas dan orang tua (dan bahkan) peserta didik untuk berhenti melakukan kegiatan terkait, bahkan sejak peserta didik tersebut memasuki tahun terakhir (9 bulan pra-). Masihkah relevan praktik seperti ini dengan misi pendidikan nasional, menghasilkan peserta didik berbudaya melalui proses yang bermudu, atau lebih krusial dengan kebutuhan peserta didik sebagai manusia yang ingin keunikannya dihargai secara selaras dan seimbang bahkan dalam dunia pendidikan nasional?

 

Keluarga

Keluarga, dalam hal ini orang tua, adalah akar bertumbuhkembangnya individu secara sosial. Sebagaimana akar merupakan penyalur nutrisi bagi pohon, orang tua merupakan sumber dan penyaring utama berbagai hal yang dicerap oleh peserta didik, bahkan sebelum ada sekolah dan tenaga kependidikan lain. Dengan demikian (jika dapat menyitir Konfusius) orang tualah pembangun fondasi individu, dan jika individu merupakan fondasi dari berbagai komunitas sosial yang berujung kepada negara dan dunia, maka orang tua dapat dikatakan sebagai fondasi negara dan dunia. Nilai-nilai dan kebiasaan yang diturunkan orang tua ke anak menjadi fondasi kehidupan sosial tersebut. Berkaca dari kebutuhan peserta didik akan aktifitas penelisikan dan permainan sudahkah orang tua di Indonesia memenuhi perannya sebagai agen pendidikan anak? Hal ini dapat dilihat dalam dua tataran secara internal dengan anak, dan secara eksternal dengan sekolah.

Peran orang tua secara internal menurut Marzano (2003) adalah komunikasi berkesinambungan mengenai pendidikan anak mereka. Diskusi sistematis, penyediaan dukungan (teknis terkait mapel atau nonteknis moral dan kehadiran), dan perkembangan gaya keorangtuaan (dari otoritarian/permisif menjadi otoritatif) adalah praktik-praktik komunikasi yang krusial untuk dilaksanakan.

Dalam konteks peserta ujian, ketiga hal di atas menuntut waktu keluarga yang tidak sedikit. Alih-alih memerjuangkan waktu bersama tersebut, keluarga justru memercayakan peserta didik untuk pergi ke bimbingan-bimbingan belajar dalam mencari pendampingan menghadapi proses belajar. Beban ini kelak ditambah juga dengan kebijakan Sekolah Sehari Penuh yang digagas oleh Kemendikbud. Waktu keluarga semakin sedikit, ibarat jalur akar ke pohon semakin sempit, masihkah relevan kita berharap peserta didik tumbuh menjadi generasi yang kuat?

 

Ketika Iman dan Perbuatan (Tidak) Selaras

Berkaca dari kinerja pelaku pendidikan nasional di atas, maka praktik doa bersama setiap menjelang praktik ujian justru semakin terasa absurd. Ketika setiap usaha digalakkan atas nama iman, maka seyogyanya setiap usaha dapat dilakukan atas nama nasib bangsa dan generasi muda penerus bangsa.

Bagi sekolah dan keluarga sebagai penanggung jawab generasi muda peserta didik, kolaborasi yang lebih mencerahkan dan aplikatif mengenai proses belajar perlu ditingkatkan. Dari sekolah-sekolah swasta sudah lazim ada lokakarya bagi orang tua yang dilakukan oleh guru sekolah, dan hasil riset (Marzano, 2003) membuktikan kesangkilan kolaborasi sekolah-keluarga melalui lokakarya keluarga. Bagaimana dengan sekolah negeri dan Depdikbud?

Bagi sekolah secara internal, bila ruang dan waktu selalu mencukupi untuk suatu proses bersyukur Ilahi, bukankah juga seyogyanya tersedia ruang dan waktu untuk guru berinteraksi secara kreatif memadukan segi-segi mata pelajaran mereka demi membangung pelajar yang kuat dan luas pemahaman konseptualnya?

Sampai pengembangan kolaborasi keluarga-sekolah dan pengembangan profesional guru terkait kurikulum terpadu belum secara konsisten dilaksanakan, maka kelayakan hasil ujian kemampuan peserta didik nasional tidak pernah sejauh doa bersama.

 

Penulis adalah praktisi pendidikan

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home