Loading...
INSPIRASI
Penulis: Tjhia Yen Nie 08:13 WIB | Selasa, 03 Maret 2020

Selamat Jalan, Pak Ervin Koesnoto!

"Saya hanya melayani Tuhan.”
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – ”Apa Bapak pernah berharap punya rumah yang mewah?”

“Enggak…” jawabnya sambil tersenyum.

”Dari dulu... apa Bapak pernah kepikiran sedikit saja, jadi orang kaya?” tanya saya lagi

”Enggak tuh,” kembali dia menjawab dengan senyum yang terukir di wajahnya

Bener? Jadi, apa yang ada di pikiran Bapak setiap hari?” kembali saya menanyakan kepadanya.

”Hanya melayani Tuhan.”

”Apa Bapak siap kalau ada apa-apa, misalnya didera gara-gara Bapak melayani, seperti buku-buku kisah misionaris yang pernah saya baca?” saya kembali melontarkan pertanyaan padanya.  

Saat itu saya baru memasuki tahun kedua kuliah saya, dan  dia adalah hamba Tuhan pertama yang bisa saya ajak ngobrol tanpa ada batasan, sehingga saya pun tidak segan kepadanya.

”Siap,” katanya kembali sambil tersenyum.

”Bagaimana nanti dengan keluarga?” saya kembali bertanya.

”Saya berharap mereka tidak kena imbas jika terjadi apa-apa pada saya karena pelayanan.  Tapi, saya percaya Tuhan pasti pelihara.” Jawabnya tegas, namun tetap dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.

Percakapan singkat itu terjadi lebih dari 20 tahun lalu, di Ciampea, Pos Gereja Kristus Bogor.  Letaknya  berseberangan dengan pasar,  tempat kami, mahasiswa KPS IPB ikut mengajar setiap jumat siang murid-murid SMP di sekitar daerah itu. Setelah mengajar, kami pun selalu dijamu Bapak dan Ibu Ervin, makan bersama di ruang keluarganya.

”Ini namanya buntil,” Bu Ervin menjelaskan kepada saya, yang saat itu terheran melihat masakan daun singkong yang diisi parutan kelapa, ikan teri, dan petai cina diikat dengan tali rafia, sehingga kami harus mengguntingnya dulu sebelum makan. Dan ketika saya bilang saya menyukai sayur buntil.  Masakan itu hampir selalu ada setiap saya selesai mengajar.  Bahkan sampai saat ini, saya selalu terkenang percakapan siang itu jika melihat sayuran buntil.

Waktu cepat berlalu, saya menghadiri penahbisannya sebagai pendeta, ibadah  emeritasi beliau, dan ternyata saya pun menghadiri ibadah penghiburan atas kepulangannya ke rumah Bapa.

Teringat beberapa waktu lalu, dalam suatu kesempatan dia berkata, ”Bapak enggak tega…” ketika saya mengisahkan orang yang melarikan diri dari utangnya dalam pelayanan. ”Apa tidak lebih baik diampuni saja utangnya, dan dia disuruh berjanji tidak mengulanginya lagi?”

Senyumnya, kasihnya, dan ketulusannya menyirami hati saya.  Ketika sekeliling dunia menampilkan wajah yang keras , saya selalu teringat, ada seseorang yang senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya. Ketulusannya mewarnai kehidupan orang-orang di sekelilingnya.  Teringat perkataannya waktu itu, "Saya hanya melayani Tuhan.”

Dan sekarang, Tuhan memanggil hamba-Nya.

Selamat jalan, Pak Ervin!

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home