Loading...
INSPIRASI
Penulis: Retno Ratih Suryaning Handayani 07:00 WIB | Kamis, 23 April 2015

Selamatkan Bumi!

Kita makan dan minum dari belas kasihnya.
Foto: ftopics.com

SATUHARAPAN.COM – Mengapa tanahku rawan kini? Bukit-bukitpun telanjang berdiri. Pohon dan rumput enggan bersemi kembali. Burung-burung pun malu bernyani.

Syair lagu ”Lestari Alamku” karya Gombloh semakin relevan sekarang ini. Meski Sang Pencipta telah tiada, kita masih dapat menangkap keprihatinannya tentang kerusakan alam. Dan rasanya-rasanya keprihatinan Gombloh juga menjadi keprihatinan kita. Bumi makin merana. Setiap hari manusia menjejalinya dengan dengan berbagai sampah, meracuni dengan berbagai bahan kimia, dan mengeruk kekayaan dari dalamnya melampaui batas kebutuhan.

Rusaknya bumi tentu tak lepas dari ulah manusia yang menempatkan alam sebagai objek yang terus-menerus dieksploitasi. Kerusakan bumi ini terkait dengan cara pandang manusia mengenai alam, pola konsumsi yang berlebihan, maupun kebijakan yang tidak berpihak pada alam. Padahal rusaknya alam membuat semua semua makhluk, termasuk manusia, merana. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam.

Kerusakan alam yang semakin parah ini bertentangan dengan maksud penciptaan alam. Kisah penciptaan bumi dalam Kitab Kejadian menuturkan bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta dalam keadaan baik. Di akhir penciptaan dikatakan bahwa apa yang telah dicipta-Nya sungguh amat baik. 

Sayangnya, keindahan yang tercipta pada awal penciptaan tak lagi kita temukan. Bumi telah  rusak. Manusia yang diberi mandat untuk memelihara bumi justru menempatkan diri  sebagai tuan atas ciptaan lainnya.  Terlebih pola pikir yang memandang alam sebagai sumber ekonomi. Kekayaan yang ada dikeruk sedemikian rupa untuk memenuhi keinginan manusia. Manusia lupa, dirinya adalah bagian dari ciptaan yang saling terhubung dan tergantung satu dengan lainnya.              
Dengan memperingati Hari Bumi, 22 April, kita diingatkan untuk peduli dan ,menghargai planet yang kita tinggali: bumi. Hari Bumi menjadi momentum untuk mentrasformasi pola relasi kita dengan alam. Karena itu, dibutuhkan spiritualitas baru untuk mengupayakan keutuhan dan kesinambungan seluruh jaringan kehidupan yang ada di bumi. Donal Dorn menyebutnya dengan spiritualitas integratif. Spiritualitas integratif mengajak manusia dalam kerendahan hati menyadari bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak hanya tergantung pada sesamanya, tetapi juga pada tumbuhan dan hewan. Bahkan manusia sangat tergantung pada bumi itu sendiri untuk air, makanan, udara, tanah, tempat tinggal sebagai sumber kehidupan. Manusia adalah anak-anak bumi. Kita makan dan minum dari belas kasihnya. Karenanya bumi juga berhak menerima cinta kasih kita.

Di samping itu, upaya untuk melakukan perubahan pola hidup harus dikembangkan. Kita perlu memilih gaya hidup sederhana, bukan gaya hidup dalam kemewahan dan pemborosan. Memilih untuk makan yang secukupnya, bukan makan yang berlebih apalagi sampai membuang makanan. Memilih untuk bersentuhan dengan alam, bukan mengabaikannya. Memilih hidup berbagi, bukan hidup hanya untuk diri sendiri. Masih banyak pilihan lain yang dapat kita ambil sebagai upaya untuk menyelamatkan bumi.

Selamat Hari Bumi!

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home