Loading...
RELIGI
Penulis: Martahan Lumban Gaol 16:49 WIB | Rabu, 05 Agustus 2015

Sembilan Kiai Anggota Ahwa akan Pilih Rais Aam PBNU

Ilustrasi. Lokasi Muktamar ke-33 NU. (Foto: Dok. satuharapan.com)

JOMBANG, SATUHARAPAN.COM – Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur, menyepakati sistem pemilihan Rais Aam atau Pengurus Besar NU melalui sistem Ahlul Halli Wal'aqdi (Ahwa). Sebanyak sembilan kiai pun telah dipilih untuk menentukan siapa Rais Aam PBNU periode 2015-2020.

Berdasarkan urutan hasil voting Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU dan Pengurus Cabang NU yang berjumlah 508 orang sembilan nama kiai senior yang dipilih menjadi anggota Ahwa adalah sebagai berikut, Kiai Haji Ma'ruf Amin dari Jakarta (333 suara), Kiai Haji Nawawi Abdul Jalil dari Sidogiri, Pasuruan (302 suara).

Kemudian, Kiai Haji Turmudzi Badrudin (298 suara), Kiai Haji Khalilurrahman dari Kalimantan Selatan (273 suara), Kiai Haji Dimyati Rois (236 suara), Kiai Haji Syekh Ali Akbar (186 suara), Kiai Haji Mahtum Hannan (162 suara), Kiai Haji Maimun Zubair dari Rembang Jawa Tengah (159 suara), dan Kiai Haji Massubadar dari Pasuruan Jawa Timur (135 suara).

Salah satu pemimpin sidang pleno, Kiai Haji Ahmad Muzakki, mengatakan penetapan nama-nama tim Ahwa mengacu pada pasal 19 ayat (3) Tata Tertib Muktamar ke-33 NU. Artinya, PWNU dan PCNU seluruh Indonesia diminta menyerahkan nama-nama calon untuk duduk di Ahwa.

"Dari 508 utusan PC dan PW seluruh Indonesia, 380 di antaranya masing-masing telah menyerahkan sembilan nama. Kemudian muncul 119 nama calon Ahwa dengan rangking tertinggi, berikut nama kiai  dengan rangking tertinggi," kata Muzakki di sela-sela muktamar.

Sebelumnya, Dosen Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina, Novriantoni Kahar, mengatakan penyebab gagasan Ahwa muncul adalah kegelisahan warga Nahdliyini dengan sistem pemilihan kompetisi terbuka melibatkan seluruh muktamirin yang rentan politik uang, kurang menempatkan ulama di posisi layak, dan menimbulkan kegaduhan serta pertentangan.

“Gagasan ini muncul karena ada kegelisahan sistem yang sepenuhnya kompetisi terbuka melibatkan seluruh muktamirin dianggap rentan politik uang, dianggap kurang menempatkan ulama pada posisi yang layak, dan terlalu menimbulkan kegaduhan dan pertentangan,” ucap Novriantoni saat ditemui satuharapan.com, di alun-alun Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (4/8) malam.

Dia melanjutkan, warga Nahdliyin juga merasa posisi Rais Aam atau ketua umum dewan syuro seharusnya diisi seorang ahli atau ulama disegani. Bahkan, harus memliki keyakinan tinggi dan tidak suka politik praktis. “Saya kira bagus sistem Ahwa bagus cuma bila diterapkan sampai level pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU itu agak berlebihan. Sebab, tidak mudah merenggut kebebasan memilih yang sudah diberikan kepada seseorang,” kata Novriantoni.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home