Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 18:35 WIB | Selasa, 10 Januari 2017

Sentimen Agama Marak Saat Otoritas Lemah dan Ekonomi Sulit

Sebuah foto arsip yang diabadikan oleh Institute Mosintuwu, menggambarkan kegiatan Fesitival Anak Perdamaian di Poso, pada tahun 2012 (Foto: perempuanposo.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Konflik antarkelompok masyarakat di Indonesia kebanyakan bukan berakar dari konflik agama tetapi bereskalasi setelah sentimen agama turut mengambil tempat. Konflik meluas setelah simbol-simbol agama tergulung ke dalam kekacauan, apalagi bila otoritas negara melemah dan krisis ekonomi melanda.

Hal ini terangkum dari paparan Antropolog Universitas Indonesia, Geger Triyanto, pada diskusi bertema Darurat Kebinekaan dalam Intoleransi belum lama ini di Wahid Institute, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang dikoordinatori oleh Antropolog Kartini Sjahrir. Peneliti Sosiologi dan Pengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI itu mendasarkan paparannya pada kajian atas sejumlah konflik yang terjadi di Poso, Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan Barat, dalam makalah berjudul Mengapa Menjadi Intoleran?: Konteks, Alasan dan Dalihnya.

Dia mengatakan di Indonesia terdapat wilayah-wilayah yang lebih rentan dengan konflik komunal dibandingkan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah tersebut mengemban watak yang menjadikannya ringkih ketika otoritas negara melemah dan krisis melanda.

Wilayah yang rentan itu, menurut dia, ditandai oleh pertama, terjadi deagrarianisasi dan ekonominya tergantung secara tak wajar terhadap pekerjaan dan proyek dari pemerintah.

Kedua, di tempat-tempat ini jumlah umat kelompok agama yang berbeda seimbang.

Menurut Geger, dalam praktik pemerintahan di banyak tempat di Indonesia, jabatan dan pekerjaan diperoleh bukan melalui profesionalitas melainkan jaringan-jaringan perkoncoan maupun patron klien. Di luar ranah birokrasi, kesempatan-kesempatan pencaharian pun didapat dan dipertahankan masih dengan pola serupa. Orang-orang memperolehnya melalui jaringan terdekatnya dan jaringan ini di berbagai tempat masih sangat bercorak etnis maupun agamis.

"Ruang-ruang sosial yang ada, bukan hanya tak membuka kesempatan untuk terjalinnya hubungan yang bermakna di antara kelompok yang berbeda, kelompok yang berbeda pun dengan mudah menjadi lekat dengan ancaman terhadap penghidupan satu kelompok," kata Geger.

Ketakutan Tersisih dan Kalah

Geger menunjuk contoh konflik Ambon yang menyebabkan ribuan jiwa meninggal dan ratusan ribu orang terusir dari tempat tinggalnya. Menurut dia, mengutip studi Gerry Van Klinken dalam buku Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars, presedennya sebenarnya adalah perasaan ketersisihan orang-orang Dayak lantaran orang-orang Madura dianggap menyerobot tanah dan pekerjaan mereka.

"Ketakutan terhadap kelompok lain menjadi kian keruh setelah adanya politisasi dan sakralisasi," kata dia.

Suasana diskusi Darurat Kebinekaan dalam Intoleransi di Wahid Institute, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang dikoordinatori oleh Antropolog Kartini Sjahrir. Geger Riyanto duduk paling kanan. (Foto: Eben E. Siadari)

Konflik religius di Maluku Utara antara 1999-2000, kata dia, juga mengomfirmasi hal ini. Awalnya adalah bentrok antara komunitas Makian dan Kao terkait pemekaran kecamatan Malifut, Halmahera Utara. Orang-orang Makian, pendatang, yang dianggap menguasai birokrasi secara tidak adil oleh orang-orang asli bernama Kao, bermanuver mendorong pemekaran agar perusahaan tambang emas setempat memberikan kompensasi langsung kepada mereka dan bukannya kepada orang-orang Kao. Situasi yang berlarut-larut berujung konflik terbuka di antara kedua kelompok komunitas.

"Konflik di antara orang-orang Kao dan Makian mengalami eskalasi setelah sentimen agama turut mengambil tempat. Setelah orang-orang Makian pergi ke Ternate, serangan balik terjadi dan bukan hanya menyerang orang Kao melainkan orang Kristen lainnya. Gereja-gereja dibakar. Hal sebaliknya terjadi. Orang-orang Kristen, tak peduli dengan asal-usul konflik, menganggap apa yang mereka alami dan melakukan retaliasi sebagai komunitas religius yang lebih luas," kisah Geger.

Konflik Ambon, lanjut Geger, juga mengalami pola serupa. "Ia berkembang tak terkendali setelah simbol-simbol agama tergulung dalam kekacauannya. Ia tak lagi sekadar menjadi persoalan etnis pendatang mulai mengancam pencaharian orang asli tetapi orang-orang Islam berusaha menyingkirkan orang-orang Kristen. Pada tahap lanjut, orang-orang Islam berusaha membela saudara serta agamanya dari pembantaian dan penistaan," lanjut Geger.

Ke depan, ia memperkirakan dengan semakin terpampangnya keuntungan-keuntungan pragmatis dari politisasi identitas, intoleransi masih akan terus memperoleh momentum. Namun, di tengah kemuraman itu ia mengajak rakyat Indonesia tak boleh menyerah memperjuangkan Indonesia yang majemuk dan inklusif.

"Sulit melihat Indonesia, satu komunitas yang tak dapat ditampik keberagamannya, dapat menapak jauh ke masa depan dengan spiral toleransi yang kian dan kian meruyak," kata dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home