Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 12:20 WIB | Selasa, 24 September 2013

Seratus Tahun Pelukis S. Sudjojono di Galeri Nasional

Seratus Tahun Pelukis S. Sudjojono di Galeri Nasional
Pengunjung di pameran seni rupa memperingati S. Sudjojono dari Persagi. (Foto Ignatius Dwiana)
Seratus Tahun Pelukis S. Sudjojono di Galeri Nasional
Anak-Anak Main Perang-Perangan karya S. Sudjojono.
Seratus Tahun Pelukis S. Sudjojono di Galeri Nasional
Maka Lahirlah Angkatan 66 karya S. Sudjojono yang mendokumentasikan kelahiran angkatan 66. Karya yang dipasang dalam pameran merupakan karya repro.
Seratus Tahun Pelukis S. Sudjojono di Galeri Nasional
Rendesvouz karya Ketua Persagi Agus Djaja.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sindhu Sudjojono atau yang dikenal S. Sudjojono merupakan salah satu tokoh Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang berdiri 23 Oktober 1938. Persagi adalah lembaga yang mewadahi para pelukis khususnya dalam mendinamisasi kesenian para anggotanya.

Dalam catatan sejarah, Persagi dihadapkan secara diametral dengan para pelukis generasi sebelumnya yang bercorak Mooi Indie (Indonesia molek). Mooi Indie adalah sindiran S. Sudjojono kepada para pelukis Indonesia yang hanya berkutat pada keindahan alam eksotis Indonesia (Hindia waktu itu) yang dihasilkan kepada para pelukis Eropa. Karena Mooi Indie jauh dari realitas masyarakat.

Realisme lukisan S. Sudjojono bercampur antara nasionalisme dan perlawanan atas kolonialisme. Di sisi lain juga peka pada pergeseran nilai-nilai budaya yang berubah bersama perkembangan lingkungan hidup moderen Indonesia. Realism-nya berpengaruh kuat pada perkembangan seni rupa Indonesia saat ini.

Menurut kurator dan kritikus seni, Rizki A. Zaelani, pengaruh S. Sudjojono tidak saja terletak pada gaya seni realisme yang bersifat realistik atau mimetik. Realismenya terlebih juga dalam hal pembentukan sikap seorang seniman dalam menghadapi realitas hidup yang dijalaninya.

Seniman Nasionalis

S. Sudjojono adalah seniman Indonesia modern. Sejak awal kariernya dia banyak berbicara, berkarya, dan berpikir di sekitar nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Kesenian baginya berperan dan berfungsi dalam revolusi dan kehidupan pada umumnya.

Dia gelisah dan harga dirinya bereaksi ketika karya seni bangsanya dilecehkan.  Melalui tulisan-tulisannya yang amat produktif, S. Sudjojono menggebrak kesadaran tentang harga diri dan kebangsaaan dengan sejumlah pernyataan. Salah satunya pernyataannya, ‘Kami Tahu Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa’ dimuat dalam majalah Revolusioner Nomer 4 dan 5.

Pernyataan itu merespon keras artikel penulis Belanda J. Hopman dalam majalah Uitzicht edisi Januari 1947 berjudul ‘Toekomst van de Beldende Kunst in Indonesie’ (Masa Depan Seni Rupa di Indonesia ) yang menafikan keberadaan seni rupa di Indonesia. Kurator Suwarno Wisetrotomo mengatakan, ”Meski S. Sudjojono menyadari masih adanya sejumlah kekurangan yang ada pada para seniman dan karya-karya seni di Indonesia, tetapi dia tidak sudi menerima pandangan Barat yang nadanya merendahkan.”

Tema Perlawanan

Realisme S. Sudjojono hidup sebagai warisan ide seni rupa Indonesia hingga kini. Tetapi generasi pasca S. Sudjojono menghadapi persoalan yang berbeda. Tema perlawanan S. Sudjojono atas kolonialisme bergeser menjadi resistensi atas pengaruh Westernisasi hingga globalisasi. Nasionalisme bergerak kepada ciri ke-Indonesia-an dalam seni, seni yang merakyat, dan atau seni dengan kepribadian nasional.

Kehadiran S. Sudjojono pada seratus tahun lalu ini diperingati salah satunya dengan pameran seni rupa bertema ”Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Sudjojono, Persagi, dan Kita” di Galeri Nasional Jakarta. Ada 48 lebih karya trimatra dan dwimatra yang ditampilkan. Di antaranya karya-karya S. Sudjojono, anggota Persagi, dan seniman seni rupa saat ini. Pembukaan pameran yang dibuka Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti ini berlangsung dari hari Jum’at (20/9) hingga hari Minggu (6/10).

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home