Loading...
INSPIRASI
Penulis: Tjhia Yen Nie 01:00 WIB | Selasa, 09 Februari 2016

Serumpun Bambu

Hidup bagaikan serumpun bambu.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Dalam satu becak, saya dan dua adik perempuan saya pergi ke rumah saudara-saudara setiap Imlek tiba.  Saya dan adik nomor dua duduk dengan menumpangkan kaki agar adik nomor tiga bisa menyisip di tengah. Saling berceloteh gembira, sambil mengharap tahun itu mendapat angpao yang lebih banyak dari tahun sebelumnya.  Sedangkan mama dan papa menyusul dalam becak yang lain, dengan adik bungsu saya.

Kami disambut gembira di setiap rumah yang kami datangi.  Sambil melipat tangan di depan dada, dan mengucapkan: ”Kionghie”.  Kemudian angpao dalam amplop merah disisipkan ke tangan kami.   Yang saya ingat bila kami berkunjung ke keluarga papa adalah adanya foto yang sama di setiap ruang tamu dari rumah yang kami kunjungi.  Foto keluarga besar, yang terdiri dari kakek, nenek, beserta anak-anak dan cucu-cucunya, yang diambil sebelum mereka meninggal dunia, dan jauh sebelum kelahiran saya.

Kebesaran dan kesuksesan keluarga kakek hanya saya dengar dari cerita dan foto tersebut.  Terkadang ketika saya berkunjung ke rumah teman dahulu, kakek mereka menanyakan siapa kakek saya, dan saya menjawab namanya, mereka langsung berkata, ”Oh, kakek kamu orang terkenal di kota ini.”

Foto dengan tulisan mandarin yang tidak dapat saya baca itu juga ada satu di rumah kami.  Suatu hari saya menanyakan pada papa, apa arti tulisan tersebut.  Dia menjawab, tulisan tersebut mengatakan bahwa inilah keluarga besar kami yang difoto pada tanggal dan tahun sekian, biarlah dalam keluarga hidup saling tolong-menolong, yang mengalami kesusahan hendaknya dibantu karena keluarga bagaikan serumpun bambu.

Tahun berlalu, kini saya sudah menjadi orangtua dan tinggal di kota lain, mereka yang dahulu kami kunjungi pun satu per satu sudah tiada, foto yang dahulu terpajang sudah entah di mana.  Dan bambu-bambu dalam rumpun itu ada yang tumbuh subur, ada juga yang kering, ada yang tinggi menjulang, ada juga yang terpangkas kehidupan. 

Ternyata kakek mewariskan nasihatnya kepada saya, cucunya, yang tidak pernah dia tahu, melalui selembar foto dan tulisan yang terpatri dalam ingatan saya: ”Keluarga adalah Serumpun Bambu.”  Ketika keluarga-keluarga lain mengajarkan persaingan dalam saudara, siapa yang paling kaya, pandai, sukses secara ekonomi dan sosial di mata masyarakat, kebesaran kakek adalah mewariskan pengertian pada generasi berikutnya yang berbeda zaman, bahwa hidup bagaikan serumpun bambu, harus saling menolong, memperhatikan, bukan saling cuek, bahkan bersaing atau menyakiti.

Pada saat Imlek ini, batang-batang bambu yang hidup dengan kesibukan masing-masing itu teringat kembali pada rumpunnya, berkumpul sejenak atau sekadar mengucapkan salam melalui telepon dengan kebahagiaan, ”Kionghie-kionghie….”

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home