Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Senin, 10 November 2014

Sidang Raya XVI PGI: Panggilan Keesaan

Dokumen Keesaan Gereja Keesaan in Action
Plakat Sinode peserta Pertemuan Raya Pemuda Gereja di Sirombu, Nias Barat. (Foto: Bayu Probo)

SATUHARAPAN.COM – Konon seorang teolog Katolik yang mahsyur, Hans Küng, pernah menyebut bahwa Protestantisme menderita penyakit self-destructiveness tendency yang akut. Mungkin istilah itu menyakitkan. Tetapi, kalau dicermati bahwa dewasa ini sudah lebih dari 43.000 denominasi dalam tubuh Protestan, jangan-jangan Küng benar.

Kecenderungan ke arah perpecahan itu, sudah tentu, membuat frustasi banyak orang, terutama jemaat awam. Pasalnya jelas. Bukankah Yesus sendiri di Gethsemani, menjelang disalibkan, berdoa: “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21)? Namun, kalau melihat jumlah denominasi sekarang, bukan tidak mungkin sampai Yesus kembali pun gereja-gereja akan terus terpecah-belah.

Kenyataan pedih itulah yang mendorong bangkitnya gerakan oikoumene pada tingkat global, maupun upaya pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) yang nantinya menjadi PGI. Sekalipun gerakan oikoumene di Indonesia sudah ada jauh sebelum terbentuknya DGI, akan tetapi sulit dipungkiri bahwa pembentukan DGI pada tahun 1950 merupakan tonggak sejarah yang penting dalam upaya gereja-gereja menuju ke arah “pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes”, seperti ditegaskan dalam Manifes Pembentoekan DGI.

Sebab dengan pembentukan DGI, yang dirancang sebagai “tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-Geredja di Indonesia” itulah, perjalanan sejarah kekristenan di Indonesia mencapai titik menentukan. Jika selama ini gereja-gereja di Indonesia hidup, berkembang dan melayani sendiri-sendiri sesuai konteks yang melatarinya, maka lewat DGI gereja-gereja telah “memasuki sejarah bersama”.

Pengalaman “sejarah bersama” selama hampir 65 tahun memperlihatkan, pada satu sisi, visi dan kerinduan gereja-gereja untuk membentuk Gereja Kristen yang Esa (GKYE) di Indonesia masih tetap membara; namun, pada sisi lain, pengalaman itu juga menunjukkan jalan menuju GKYE tidaklah mulus dan mudah, melainkan penuh kerikil dan lika-liku tak terduga. Bahkan kerap kali harus diterima dengan getir, gerak keesaan juga sering diwarnai oleh arus sebaliknya, yakni berbagai proses perpecahan yang kerap menimpa tubuh gereja. Agaknya gereja-gereja harus terus menerus bergumul untuk mencari “bentuk-bentuk keesaan” yang lebih memadai sesuai panggilan zaman.

Dalam perjalanannya, pergumulan keesaan itu mencapai jalan buntu karena perbedaan pandangan mengenai bagaimana keesaan gereja dipahami. Sebagian pandangan lebih menekankan “keeesaan rohani dalam Kristus”, dan karena itu kurang menaruh perhatian pada aspek-aspek struktural organisatoris yang mewadahi “keesaan rohani” itu. Sementara pandangan lain sebaliknya: mencurahkan perhatian pada bagaimana membangun struktur dan organisasi GKYE yang tunggal, sehingga kurang sabar dalam menghadapi perbedaan tradisi dan warisan teologi gereja-gereja yang memang beranekaragam.

Sidang Raya ke-X DGI/PGI tahun 1984 di Ambon merupakan tonggak sejarah penting lainnya dalam perjalanan gerakan oikoumene di Indonesia. Dalam Sidang itu diterima rumusan LDKG (Lima Dokumen Keesaan Gereja) yang terdiri atas Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM), Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana (MKTDD), serta Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (TD-PGI). Kelima dokumen tersebut harus diakui merupakan terobosan terhadap situasi jalan buntu di atas.

Secara ringkas, apa yang ditegaskan dalam Sidang tersebut adalah bahwa “keesaan gereja itu bukanlah keseragaman (uniformitas), bukan pula keterpisahan, melainkan keragaman dalam kebersamaan.” Maka LDKG menjadi kerangka dasar di mana “keragaman dalam kebersamaan” tersebut digulati dan dijalani secara konkret. Sidang Raya XIII di Palangka Raya tahun 2000 kelima dokumen LDKG disatukan menjadi DKG (Dokumen Keesaan Gereja) sampai sekarang.

Jika dibaca dengan teliti, DKG telah memainkan peran sangat penting di dalam membimbing “arak-arakan oikoumenis” sejak 1984 sampai sekarang. Peran itu nyata setidaknya dalam tiga hal mendasar. Pertama, meletakkan persoalan keesaan gereja-gereja di dalam konteks “tugas panggilan bersama” di Indonesia. Di sini, keesaan terkait erat dengan misi “agar dunia percaya” (Yoh 17:21), dan gereja-gereja diundang “untuk menemukan keesaannya di dalam panggilan bersama di seluruh Indonesia sebagai wilayah kesaksian dan pelayanan bersama”.

Singkatnya, suatu penegasan visioner bahwa “keesaan kita adalah keesaan in action, dalam arti bahwa justru dalam melaksanakan aksi bersama keesaan kita makin lama makin nyata.” Aspek penting ini digarisbawahi dengan menempatkan PTPB, yang merupakan “dokumen misiologi gereja-gereja di Indonesia”, sebagai dokumen awal yang memberi horison pada dokumen-dokumen lain dalam DKG.

Kedua, guna melaksanakan “tugas panggilan bersama” itu, maka dibutuhkan kerangka yang menjadi semacam kesepakatan-kesepakatan dasar persekutuan antar-gereja yang, sembari tetap menghargai keunikan tradisi dan warisan teologis masing-masing, juga memperlihatkan tanda-tanda nyata kesatuannya (visible unity) sebagai Tubuh Kristus. Kesepakatan-kesepakatan itu, pada sisi dogmatisnya, dituangkan dalam dokumen PBIK, sementara pada sisi praktis beroikoumene dituangkan dalam dokumen PSMSM. Kedua dokumen itu, khususnya PSMSM, merupakan pedoman agar tanda-tanda nyata keesaan gereja-gereja sebagai bagian utuh Tubuh Kristus di Indonesia makin tampak.

Akhirnya, ketiga, pergeseran fundamental dalam visi beroikoumene ini, pada gilirannya, mengharuskan perubahan dari DGI menjadi PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). Perubahan tersebut makin menggarisbawahi dimensi persekutuan (koinonia) dari arak-arakan oikoumenis bersama gereja-gereja di Indonesia, sekaligus fungsi PGI yang dicita-citakan sejak awal (saat DGI diproklamasikan), yakni sebagai “tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-Geredja di Indonesia.

Jadi, panggilan keesaan rupanya harus dimaknai sebagai “keesaan panggilan”. Dan hal itulah yang seharusnya menandai “pesta iman” Sidang Raya XVI PGI di Nias!

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home