Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 00:32 WIB | Senin, 10 Februari 2020

“Siklus” Sastra Rupa Watie Respati

“Siklus” Sastra Rupa Watie Respati
Rupa tak Berupa – cat akrilik di atas botol kaca – Watie Respati – 2020. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Siklus” Sastra Rupa Watie Respati
Pemilik Indigo artspce Fransisca Lusiana (baju coklat) mengamati karya Watie Respati berjudul Bidadari Tak Bersayap saat pembukaan pameran, Jumat (7/2) malam.
“Siklus” Sastra Rupa Watie Respati
Mana Hutanku – mix media – 100 cm x 100 cm – Watie Respati – 2020.
“Siklus” Sastra Rupa Watie Respati
Watie Respati (baju putih) saat memberikan penjelasan karya kepada pengunjung saat pembukaan pameran, Jumat (7/2).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah menggelar pameran tunggal perdananya bertajuk “Dua Sisi” tiga tahun lalu, perempuan-perupa Watie Respati kembali menggelar pameran tunggal. Pameran bertajuk “Siklus” dibuka oleh pemilik Indigo artspace (Madiun) Fransisca Lusiana, Jumat (7/2).

“Empat tahun mengenal Watie Respati adalah waktu yang berkualitas. Pernah satu ketika dia datang ke Madiun (tempat saya) sendirian, memberikan support bagi pameran seniman yang keseluruhannya laki-laki. Dia menjadi motivator bagi teman-teman perupa. Saya merasa deep impress. Sebagai perempuan, ibu rumah tangga (dengan segala aktivitas domestiknya), Watie masih (menyempatkan waktunya) terus berkarya yang dituangkan dalam karya seni sastra maupun seni rupa. Ini menjadi luar biasa. Siklus Watie sebagai perempuan, siklus motivator, siklus berkaryanya yang kompeten dan eksistensial (dalam berbagai ruang pergaulan). Sebagai orang yang sibuk masih bisa berkomunitas, bersosialisasi dengan banyak orang-kalangan, berkarya, tanpa meninggalkan kewajibannya mengurus keluarga.” papar Fransisca Lusiana dalam sambutan pembukaan, Jumat (7/2) malam.

Sebanyak 31 lukisan dalam medium cat akrilik di atas kanvas berbagai ukuran, satu drawing series dan satu sketsa dalam medium cat air di atas kertas, serta satu lukisan series di atas 8 botol kaca dipresentasikan Watie dalam goresan khas dekoratif-figuratif dengan warna-warna cerah-soft pastel.

Keseluruhan karya menjadi refleksi keseharian Watie menjalani kehidupannya. Menarik, ketika pada setiap karya tunggal maupun karya series-nya Watie melengkapi dengan puisi yang dibuatnya. Karya puisi tidak serta merta berdiri sendiri namun menjadi sebuah kesatuan karya seni dalam sebuah narasi yang utuh.

Pada sebuah lukisan berjudul “Memetik Surga” berukuran 100 cm x 100 cm, Watie menuliskan puisi berjudul “Pintu Surga” : “... Ibu yang bertafakur dalam sunyi/Menghadap Tuhannya/Meminta kebahagiaan bagi anak-anaknya/Ibu yang selalu mengurai senyum dalam perih luka yang tertanam di dada/Ibu yang selalu menebar wangi surga dalam rumah tangganya/Ibu yang selalu diharuskan kuat untuk bersandar anak-anaknya/ Ibu adalah masa lalu, kini, dan nanti/ Aku adalah ibu/Ibu adalah aku/ Aku... Ibu...”

Pada karya “Memetik Surga” dengan visual figur ibu yang sedang menggendong anaknya, Watie membuat garis-obyek dalam citraan yang cerah-ceria yang semakin menegaskan bahwa sosok Ibu dan surga adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Figur-peran perempuan dipotret juga oleh Watie dalam karya berjudul “Bidadari tak Bersayap”.

Kegelisahan pada menurunnya daya dukung lingkungan dituangkan Watie pada karya berjudul “Mana Hutanku”. Empat botol kaca yang menjadi tempat tumbuh hutan dalam lukisan seolah menjadi kritik Watie pada kondisi hutan dan lingkungan yang sudah tereskploitasi habis dan terkapling-kapling sehingga fungsinya bagi lingkungan pun turut menurun: “... Hutan yang sudah terkotak-kotak/Oleh batasan/Hijauku semakin menipis/Cenderung habis/Tak ada lagi kearifan menyertai/Pohonku semakin mengering...”.

Di tengah keprihatinan atas kondisi sosial-lingkungan, Watie selalu menghadirkan optimisme dalam karya-karyanya. Lukisan panel “Selamat Pagi” adalah gambaran kegembiraan dunia anak-anak yang dituangkan dalam empat lukisan dalam ukuran kecil masing-masing 36 cm x 36 cm. Pada keempat lukisan kecil tersebut goresan garis naif  dan warna-bentuk dekoratif Watie cukup terasa, termasuk goresan kuas pada langit-langit pegunungan mengingatkan pada karya Vincent van Gogh Starry Night. Dalam visual kegembiraan, Watie menuliskan sebait optimisme : “... melewati titik awal keberangkatan/bertasbih bersama seisi bumi/gendang semangat terbarukan/menyongsong terbit mentari/dalam doa yang terpanjatkan.

Menggabungkan seni rupa dengan lintas seni dalam sebuah karya baik dalam proses maupun kekaryaan sempat menjadi kecenderungan seniman di Yogyakarta. Tahun 2017 musisi Lani Frau berkolaborasi dengan seniman-perupa Restu Ratnaningsih. Dalam perjalanannya, Restu merespon tiga lagu Frau, sementara Frau merespon tiga gambar Restu. Kolaborasi tersebut kemudian menghasilkan 4 lagu yang disajikan dalam mini album "Tembus Pandang" yang diluncurkan pada bulan November 2017 di Ruang Mes 56.

Beberapa waktu sebelumnya seniman peran Annisa Hertami meluncurkan antologi puisi berjudul “Agar Dapat Kueja Zaman”, pada puisi-puisi yang dibuat Annisa direspon oleh seniman-perupa dalam karya dua dimensi dan dipamerkan bersamaan dengan puluncuran buku antologi puisi tersebut, Agustus 2017 di Pendapa artspace.

Lama berproses di Sanggarbambu turut mengasah kepekaan Watie atas permasalahan sosial-lingkungan sekitarnya yang dituangkan dalam karya-karya berjudul “Cerita Hari”, “Aku juga Ciptaan-Nya”, “Potret”, “Gejolak”, “Suasana Gunungan Sekaten”, “Sang Penguasa Malam”.

Eksplorasi medium dilakukan Watie pada delapan botol kaca yang dilukis dengan obyek ekspresi wajah berjudul “Rupa tak Berupa”. Sementara pada lukisan series “Face Cats”, lima belas panel kanvas berukuran masing-masing 15 cm x 15 cm, Watie membuat lukisan ekspresi wajah kucing dalam goresan garis dekoratif.

Melengkapi proses berkarya seni rupa dalam setiap karyanya, Watie mempresentasikan satu karya sketsa berjudul “Sketsa Gunung Pule” serta drawing series berjudul “Kebersamaan” yang dibuat dalam medium cat air di atas kertas.

“Satu ketika saya ketemu seniman perempuan muda pada sebuah pameran di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dia bilang mas aku mau melukis terus. Waktu itu saya belum kenal. Belakangan saya tahu Watie Respati, ternyata sama-sama satu sekolah (Sekolah Menengah Seni Rupa) namun angkatannya jauh di bawah saya. Setelah dia bergabung di Sanggarbambu kami menjadi semakin akrab, berproses bersama saling berbagi pengetahuan mengasah kepekaan rasa dalam berkesenian dan bermasyarakat.” jelas ketua Sanggarbambu Totok Buchori saat memberikan sambutan pembukaan pameran.

Pameran tunggal Watie Respati bertajuk “Siklus” berlangsung sampai tanggal 20 Februari 2020 di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta, Jalan  Parangtritis No. Km 8.4, Tembi, Timbulharjo-Sewon, Bantul.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home