Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 11:49 WIB | Minggu, 13 April 2014

Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana

Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana
Karya Ulet Ifansasti. Lokasi desa Sibintun, Simpang Empat, Karo Sumatera Utara. (Foto-foto: Ignatius Dwiana)
Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana
Karya Chaideer Mahyuddin. Lokasi desa Bekerah, Karo Sumatera Utara.
Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana
Karya Tarmizy Harva. Lokasi desa Kuta Rakyat, Naman Teran, Karo Sumatera Utara.
Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana
Karya Ferganata Indra Riatmoko. Lokasi Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta.
Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana
Karya Ferganata Indra Riatmoko. Lokasi Jalan Jenderal Sudirman Yogyakarta.
Sinabung Kelud Calling: Pameran Foto Jurnalisme Bencana
Pengunjung pameran.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kurator Oscar Motuloh mengatakan jurnalisme bencana merupakan reportase yang sensitif. Pewarta foto berada dalam lingkar nestapa dan tragedi kemanusiaan. Tetapi dia melakukan reportase di atas ladang penderitaan manusia.

“Lensa mustinya berjiwa. Karena lensa seyogyanya mewakili mata hati sebagai manusia, meskipun kehadiran kita disebabkan amanat tugas jurnalistik,” katanya dalam pameran foto ’Sinabung Kelud Calling’.

Walaupun hipokrasi dan rasa ingin tahu telah menjadi hasrat dasar umat manusia. Wilayah emosional reportase para insan fotografi jurnalistik sesungguhnya nyaris selalu berada pada garis abu-abu. Dia harus professional di satu sisi namun dapat terpleset menjadi kontroversial karena eksploitasi yang berlebihan. Ibarat dua sisi dari koin gobang yang sama. Dalam profesi ini kemuliaan dan kenistaan adalah paradoks yang menjadi cap atau pilihan.

Menjadi saksi mata dunia, atau hanya sekedar pecundang yang takluk pada ego dan citra material yang fana. Karena hasrat keingintahuan manusia adalah pondasi yang menyulap media pers menjadi industri penting dan berpengaruh di seantero satelit bumi. Dalam kemurungan dan putus asa, jurnalisme sesuai pakemnya, juga memiliki misi kemanusiaan di luar tugas pokoknya menyebarkan pewartaan.

Disebutkannya, fotografi jurnalistik bencana wajib memiliki siklus kehidupan manusia sebagai mata rantai kehidupan yang tidak berhenti pada satu fase saja. Fotografi jurnalistik bencana bukan sekedar monumen peringatan. Melainkan harus mampu menggerakkan solidaritas dan membangkitkan semangat harapan. Dia harus mampu mendorong kehidupan, bahkan dari sakratul dan kematian sekalipun. Jika magma adalah lensa, maka kepundan adalah jiwanya jurnalisme visual.

Pameran foto ’Sinabung Kelud Calling’ ini berlangsung Jum’at (4/4) hingga Rabu (9/4) di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Jakarta.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home