Loading...
OPINI
Penulis: Posman Sibuea 00:00 WIB | Kamis, 11 Agustus 2016

Solusi Mengatasi Defisit Daging Sapi

Walau sudah melakukan perombakan kabinet, termasuk mengganti Menteri Perdagangan, namun tantangan bagaimana mengendalikan kenaikan harga pangan masih membuat risau. Apa yang harus dilakukan?

SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo telah melakukan  perombakan kabinet (reshuffle), Rabu, 27 Juli 2016.  Reshuffle kabinet jilid kedua ini menjadi pertaruhan bagi Presiden Jokowi. Pasalnya, perombakan kabinet ini merupakan upaya menghadapi tantangan ekonomi yang tidak mudah. Salah satu nama yang masuk dalam jajaran kabinet kerja adalah Enggartiasto Lukito yang didaulat menjadi Menteri Perdagangan. Kehadiran Enggartiasto diharapkan bisa menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang perdagangan khususnya di bidang pangan, sebab ia bukan wajah baru dalam peta perpolitikan di Indonesia.

Pria yang lahir di Cirebon ini mengawali dunia politiknya dengan menjadi anggota DPR RI periode 1997-1999 dari Partai Golongan Karya (Golkar). Pria berusia 64 tahun ini kembali menjadi anggota DPR RI pada periode 2004-2009 sebelum berlabuh di Partai Nasdem. Dengan jam terbang yang cukup tinggi dalam dunia bisnis dan politik, Enggar dianggap mumpuni dalam bidang ekonomi dan perdagangan, terutama langkah penyelesaian masalah harga dan defisit daging sapi serta berbagai persoalan distribusi komoditas pangan lainnya.

 

Fokus utama

Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan beberapa waktu lalu, dan hingga saat ini masih bertengger pada posisi stabil mahal menjadi tugas berat yang menanti kehadiran  Enggar. Tantangan menurunkan harga ini menjadi salah satu fokus utama pekerjaannya dan juga merupakan arahan langsung Presiden Jokowi saat pelantikan menteri hasil reshuffle.

Ketika ditanya wartawan tentang tugas barunya ini,  Enggartiasto menjawab, “Kami beri jaminan berusaha (turunkan harga pangan) asalkan dia (pedagang) tidak ambil margin besar.” Lantas yang menjadi pertanyaan bagaimana strategi menurunkan harga pangan sehingga terjangkau daya beli masyarakat? Langkah pembukaan keran impor daging sapi, diambil untuk mengendalikan harga yang kerap tidak stabil. Kebijakan ini sesungguhnya lebih merupakan kebijakan teknis pemasukan ternak sapi/daging yang tak memiliki pengaruh langsung kepada keberlangsungan peternakan lokal secara berkelanjutan.

Kenaikan harga pangan di Indonesia sepertinya sudah menjadi kalender tahunan. Setiap kali menjelang Ramadhan dan Lebaran, harga bahan pangan pokok selalu naik. Tahun ini, tiga komoditas naik tajam, yaitu daging sapi, gula, bawang merah. Harga bawang merah yang biasanya Rp 28.000 per kg kini mencapai Rp 45.000 per kg dan masih cenderung bertahan pasca Lebaran. Sementara daging sapi masih berada di kisaran harga Rp 120.000 per kg, bahkan di beberapa kota di luar Pulau Jawa sempat menembus Rp 165.000 per kg.

Menanggapi fenomena kenaikan harga pangan jelang Lebaran lalu yang tidak realistis itu, Presiden Jokowi menginstruksikan agar harga daging sapi segera diturunkan pada kisaran Rp 80.000 per kg. Sayangnya perintah RI-1 itu tak serta-merta direspons pasar  secara baik  meski pemerintah memiliki perangkat ”intervensi” dengan mengelontor pasar dengan daging sapi impor.

Meski Kementerian Perdagangan segera menindaklanjuti perintah Presiden dengan menambah impor agar pasokan di pasar domestik terjaga, harga daging sapi tetap stabil mahal. Untuk komoditas beras dengan upaya operasi pasar yang dilakukan kelangkaan di sejumlah daerah dapat diatasi. Harga beras yang selalu dipantau terbukti tak naik menjelang Ramadhan kali ini. Dengan kata lain, melalui mitigasi konsisten, harga bisa dikendalikan.

Mengapa daging sapi begitu rentan terhadap siklus harga menjelang Ramadhan? Pertama, sudah pasti karena permintaan naik. Kedua, tak ada pengelolaan pasokan. Proyeksi produksi dalam negeri tak dilakukan secara akurat sehingga data pasokan tak realistis. Akibatnya, terjadi kerentanan dalam keseimbangan produksi. Selain itu sistem kelembagaan yang buruk juga telah memicu perilaku konsumen untuk melakukan penimbunan (stok) yang tak terkendali. Ke depan, guna menghindari perilaku buruk konsumen, kelembagaan harus ditata untuk membentuk sistem rantai nilai pasokan dan produksi.

Mengendalikan harga pangan dengan mempertimbangkan impor untuk menambah pasokan bukan berarti harus mengorbankan petani dan peternak domestik, apalagi meminggirkan kedaulatan pangan. Pengelolaan secara terencana dan sistematis akan memberikan solusi yang baik, harga pangan terjangkau daya beli warga.

 

Dari pinggiran

Untuk membangun kedaulatan dan swasembada daging sapi sehingga harga terjangkau, dibutuhkan waktu setidaknya sepuluh  tahun yang diikuti langkah yang konsisten. Penyediaan daging sapi haruslah berlandaskan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan yang mengatur penyelenggaraan pangan berasaskan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Penyediaan daging sapi juga harus berlandaskan Nawacita, salah satu butirnya membangun Indonesia (baca: kedaulatan pangan) dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa.

Penanganan ketersediaan daging sapi tidak boleh terjebak pada penyelesaian jangka pendek seperti saat ini. Pemerintah harus berani menetapkan bahwa penyediaan daging sapi adalah pekerjaan jangka panjang. Perlu arah yang jelas untuk mencapai swasembada guna mendorong ketersediaan daging sapi secara berkelanjutan dan berdaulat.

Melihat realitas pencapaian target swasembada daging yang gagal pada masa lalu, pemerintahan Jokowi-JK patut  membuat peta jalan pencapaian yang lebih realistis, misalnya 10 tahun ke depan. Dengan demikian, pencapaian target lebih pasti dan terukur. Target swasembada yang sangat drastis  seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya dikhawatirkan akan memunculkan kelangkaan daging sapi di pasaran hingga berpotensi dimanfaatkan kartel untuk meraup keuntungan.

Kita masih ingat tahun 2009, ketika itu pemerintah membuat target swasembada daging sapi dalam lima tahun. Sayangnya selama periode 2009 hingga 2014 tidak diimbangi dengan pertumbuhan populasi sapi lokal. Dampaknya, setiap menjelang bulan Ramadan selalu terjadi kelangkaan daging sapi. Pengalaman pahit masa lalu ini jangan terulang lagi.

Ke depan, pemerintah harus membuat regulasi yang melibatkan Bulog  dalam upaya penguatan swasembada daging sapi untuk mendukung ketersediaan stok sumber protein hewani ini. Bulog dapat  mengembangkan bisnis baru dalam rangka stabilisasi pasokan dan harga daging sapi. Salah satu model bisnis yang bisa dilakukan ialah meningkatkan investasi di sektor penggemukan sapi melalui kerja sama dengan pelaku usaha penggemukan, peternak lokal, pedagang, dan importir daging sapi. Posisi Bulog tidak untuk menjadi pedagang dan tidak untuk pesaing. Ia hanya ditugasi untuk stabilisasi pasokan dan harga daging sapi.

Untuk itu, Bulog harus mempunyai stok, yang dikelola secara bersama dengan pelaku usaha penggemukan, importir daging, dan peternak sapi lokal. Di sektor penggemukan, misalnya, Bulog bisa bekerja sama dengan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) dan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo). Dengan pola bisnis baru ini stabilisasi pasokan dan harga diharapkan bisa tercipta. Bulog dapat mengendalikan dan mengatur mekanisme bisnis dan pasar daging sapi.

Jika target swasembada harus tercapai 10 tahun  ke depan, maka Bulog perlu memiliki stok minimal 10 persen dari total kebutuhan daging sapi setiap tahunnya. Ketika harga daging sapi bergejolak, Bulog tinggal mengeluarkan stok. Bulog juga perlu masuk ke wilayah tengah dan hilir rantai pasokan daging sapi sehingga bisa mengetahui karakter permintaan konsumen.

Masih  tingginya harga daging sapi seharusnya dimaknai sebagai momentum menata ulang kebijakan persapian yang salah arah dan salah penanganan selama satu dekade terakhir. Kesalahan awal dimulai dari upaya memaksakan kebijakan swasembada tanpa dukungan data memadai hingga kurang dukungan untuk perbanyakan sapi lokal dan infrastruktur andal tata niaga sapi hidup dan daging sapi. Hal itu terlihat ketika sapi betina dan produktif ikut dipotong karena harga sapi tinggi. Dalam jangka menengah, hal ini semakin mengurangi kemampuan produksi dalam negeri.

Untuk memutus mata rantai daging sapi impor banyak hal yang harus dilakukan. Salah satunya ialah perlu adanya reformasi kelembagaan pangan.

 

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Sumut.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home