Loading...
OPINI
Penulis: Soedarsono Esthu 00:00 WIB | Senin, 23 Februari 2015

Solusi Setelah 100 hari Kepemimpinan Jokowi

SATUHARAPAN.COM – Indonesia yang sedang kacau perlu segera diatasi. Kekacauan itu sedemikian definitifnya, dalam arti sudah menggerogoti nilai-nilai holistik kenegaraan dan kebangsaan. Apapun nanti strategi dan bentuk pendekatannya, penyembuhan Indonesia yang sakit parah haruslah menggunakan pendekatan mental maraton.

Kekacauan ini tak lain  disebabkan oleh sikap kejumawaan  dari kaum elit politik. Pertikaian demi pertikaian di lingkungan elit politik selama ini ditengarai sebagai  kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok. Sementara di wilayah pemerintahan tampak  tak ada prioritas yang dilakukan untuk menyembuhkan luka-luka. 

Pandangan tersebut muncul karena adanya dua hal yang bersinggungan secara koheren. Yaitu hadirnya harapan-harapan yang harus segera diwujudkan untuk menyembuhkan luka-luka secara cepat, tetapi di sisi lain muncul suatu perilaku kemaruk pada kebebasan berdemokrasi. Ibarat seorang yang sedang sakit parah dan  ia hanya  boleh makan makanan tertentu, maka ia  kemaruk tatkala makan makanan yang dilarang tersebut. Akibatnya penyakit  semakin parah. Itulah dikotomi yang sulit dihindari untuk tidak semakin memperburuk suasana, apalagi kepemimpinan JW-JK  tampak masih gamang bersikap arif. Dari segi hukum misalnya, seharusnya mengadili siapa pun yang di masa lalu berbuat kesalahan, baik dalam bentuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Namun jika hukum betul-betul ditegakkan demi keadilan, yang berarti keadilan demi keadilan, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pendekatan yang hanya mengejar nilai tunggal karena kita tidak melihat secara perspektif. 

Yang paling pas adalah keadilan yang tumbuh dari sikap kejatmikaan intelektual, yaitu  orang yang telah berbuat kesalahan di masa lalu memilih untuk  jujur dan terus-terang mengakui kesalahannya.  Itulah sikap hidup yang bertanggung-jawab, yang muncul dari kejatmikaan intelektual. Dengan begitu masyarakat akan terdidik pula berperilaku arif, melakukan rekonsiliasi  sepenuh hati, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.  

 

Reaktif versus proaktif

Kemelut Indonesia secara intrinsik  disebabkan ketiadaan  sikap proaktif dari berbagai pihak. Karena Indonesia memilih bentuk demokrasi atas dasar perwakilan, maka DPR, MPR, dan pemerintahlah yang mestinya bersikap proaktif. Rakyat menunggu hasil konspirasi ketiga unsur tadi. 

Tetapi di dalam perjalanannya, ternyata masing-masing lebih mengambil sikap reaktif. Isu yang dipilih DPR justru telah mengaburkan prioritas kerja lembaga  itu sendiri. Mengapa? Karena mengakibatkan pemerintah,  dalam hal ini  Joko Widodo, dibuat repot untuk mencari alibi. Mengapa DPR tidak memprioritaskan hal-hal strategis yang lebih mempertajam agenda kerjanya sehingga masyarakat bisa bahu-membahu menciptakan suasana kondusif dan mendukung sepenuh hati. Paradoks ini menandakan bahwa para wakil rakyat belum memiliki konfidensi dan ketajaman intuisi untuk memilah dan memilih mana hal yang menjadi prioritas bangsa ini. 

Sementara itu, lembaga pemerintah masih sukar menjalankan perannya karena elemen-elemen sumber dayanya tidak kapabel menangani masa transisi yang rentan terhadap kesalahan langkah-langkah kecil.  Padahal, jika saja DPR mampu menuangkan gambaran yang lebih fokus mengenai tujuan utama berbangsa dan bernegara, pemerintah akan sangat terbantu pula dalam menyusun rencana tindakan yang lebih membumi.

 

Analisa Transaksional

Gejala apa yang sedang melanda Indonesia hari ini, secara sederhana bisa dikaji dengan Analisa Transaksional (AT). Menurut AT, organisasi terdiri atas 3 unsur yaitu: hardware, teamware atau orgware, dan software. Sebuah penelitian menyimpulkan, bahwa bubarnya organisasi-organisasi besar, menengah, maupun kecil disebabkan  tidak punya hardware (10%), teamware (20%) dan software (70%).  Dengan ketiga unsur tadi kita akan memotret dinamika (organisasi) Negara Republik Indonesia  sehingga  tahu langkah apa yang mesti diperbuat untuk membuat  negara  semakin berkembang.

Unsur hardware memiliki 6 variabel yang secara simultan saling berkaitan erat. Ada 6 pertanyaan untuk ini. Pertama,  apa tujuan utama (main goals) bangsa Indonesia dalam masa transisi ini? Perbaikan ekonomi? Penegakan hukum? Ataukah rekonsiliasi politik? Mana yang paling signifikan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan UUD 45? 

Kedua, apa alat utama (main tools) untuk mencapai tujuan tersebut? Ketiga, apakah tidak terjadi pembauran antara main goals dengan main tools? Apakah perbaikan ekonomi, penegakan hukum, atau rekonsiliasi politik bukannya lebih pas disebut sebagai main tools atau alat utama untuk mencapai main goals? Kalau demikian, apa main goals-nya? 

Keempat, apakah tersedia keahlian yang sesuai? Baik di DPR, MPR maupun lembaga eksekutif, untuk menangani masa transasi yang sangat krusial ini? Kelima, apakah keuangan beres dan teknologi tepat guna,  artinya teknologi yang tidak ketinggalan zaman tetapi juga terlalu canggih tanpa relevansi? Pertanyaan terakhir adalah,  apakah keahlian dihargai? Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan tegas dan jelas dalam arti unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka unsur hardware pemerintahan transisi telah memenuhi persyaratan untuk maju secara dinamis.

Unsur orgware atau teamware, mencakup 5 variabel yang menggambarkan dinamika kerjasama dari seluruh komponen bangsa secara luas. Untuk ini ada tiga pertanyaan:  pertama, apakah kepentingan masing-masing kelompok, golongan, atau komponen bangsa terlalu didewakan dan diutamakan sebagai tujuan, bukan sebagai tools? Kedua,  apakah masing-masing profesi saling melengkapi? Apakah keahlian para ekonom, politikus, lembaga swadaya masyarakat, pelaku ekonomi, masyarakat hukum, lembaga eksekutif, dan profesi-profesi lain saling melengkapi, bukannya saling tuduh dan menghakimi? Ketiga, apakah masing-masing memperhatikan bentuk kerjasama dan team building dengan added value untuk kemaslahatan bangsa? Lalu, sejauh mana mental kekeluargaan menjadi pegangan kerjasama? Dan apakah bakat kerjasama dan mendamaikan perselisihan dihargai? 

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa  menyadarkan kita bahwa bangsa kita hari ini telah  terjebak ke dalam faksi-faksi yang sesungguhnya sedang belajar berorganisasi tetapi tanpa didasari  pengetahuan kognitif sehingga ketika sampai pada taraf afektif, ia menjadi ego yang mencerminkan sikap kejumawaan, dan pada tahap psikomotorik menjelma menjadi perilaku  ambigu, tak jelas arah, karena dihinggapi oleh  kelainan  jiwa yang menggerogoti kepribadian para pemimpin, antara lain maniak atau kegilaan akan kekuasaan berupa pangkat, derajat, dan semat. Juga intoxication atau kemabukan, yakni   menghalalkan segala cara, mata dan telinganya tertutup sehingga tak mampu menangkap peringatan  dari dalam atau  luar dirinya.

Ketidakmampuan bekerjasama dalam TA mengindikasikan bahwa dalam kelompok tersebut tidak ada ahlinya. Ada keahlian tetapi tidak sesuai dan tidak saling melengkapi. Sebab, dengan  keahlian yang sama, masing-masing  berebut posisi, kerjasama tidak terjadi.

 

Doing nothing

Sikap dan perilaku peminpin atau negarawan kita, tak lepas atau didasari oleh pesan-pesan yang direkam atau diwariskan dari generasi terdahulu, tapi bisa juga berdasarkan pengalaman masa lalu. Contohnya, ketika KAMI-KAPI, (sekarang disebut angkatan 66), melakukan demonstrasi dan berhasil menumbangkan Orde Lama, maka orang lalu meniru kegiatan serupa untuk menumbangkan Orde Baru. Ketika Orde Baru bisa ditumbangkan dengan demonstrasi, maka demonstrasi juga digunakan untuk menurunkan pemimpin Orde Reformasi. 

Perilaku tersebut disebut discounting  atau ketidakmampuan mencari jalan keluar secara dewasa. Sebab, mencari jalan keluar secara dewasa akan dilakukan dengan duduk bersama-sama dan melakukan curah gagasan dengan berpikir secara lateral, bukannya saling debat dan adu argumen dari kejauhan. DPR tak ketinggalan berdemo meski bentuknya sedikit lain, yaitu  mendemonstrasikan haknya untuk mengeluarkan melakukan impeachment kepada presiden. Dengan DPR tidak memilih isu yang lebih signifikan terhadap proses reformasi pada dirinya sendiri, melainkan yang tidak populer, hal itu bisa ditangkap sebagai indikasi bahwa DPR menyangkal kenyataan bahwa lembaga legislatif ini tidak mampu memecahkan persoalan bangsa. Mengapa? Mereka men-discount, atau menyangkal kemampuan untuk mencari jalan keluar.

Demonstrasi dalam rangka menuntut apapun atau memberi tekanan terhadap hal-hal tertentu, memaksa seseorang untuk turun jabatan baik secara langsung  atau  jarak jauh lewat media masa misalnya, memberhentikan orang secara mendadak tanpa memberitahukan secara jelas kesalahan atau kekurangannya, mengintimidasi orang secara terbuka ataupun tertutup, menyebar fitnah baik yang dilakukan orang-perorang, atau bahkan pemberitaan oleh pers tanpa check dan recheck hanya untuk menaikkan oplah, dan lain sebagainya, menunjukkan incapcity, yakni ketidakmampuan mengatasi situasi.  Mereka tidak menggunakan akal untuk mencari jalan keluar dan  membicarakan masalah bersama-sama. Pemimpin-peminpin seperti ini tidak menggunakan energinya untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa.

Mengobati Indonesia yang sedang sakit tak lain dengan membuat perencanaan ke depan, dengan duduk bersama-sama. Pertama-tama, kita perlu menjawab pertanyaan hakiki tentang apa sumber inspirasi kita tentang masa depan bangsa? Apa mission bangsa saya? Apa dream bangsa Indonesia? Dalam ilmu manajemen moderen,  perencanaan harus berorientasi  ke depan, bukan ke belakang. Unsur keunggulan ada pada strong point kita, bukan pada weak point. Sejarah masa lalu tidak boleh dijadikan patokan atau dasar untuk perencanaan.  Ia boleh dipakai sejauh hanya sebagai supporting. Keberhasilan masa lalu bisa saja diulang tetapi tidak dengan alasan-alasannya.* 

 

Penulis adalah Direktur The Center for Resolving Conflicts Creatively Program


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home