Loading...
ANALISIS
Penulis: Lucia Ratih Kusumadewi 00:00 WIB | Rabu, 17 Agustus 2016

S.O.S Pendidikan : Catatan untuk Menteri Pendidikan

Akhirnya gagasan sekolah sehari penuh yang pernah dilontarkan Menteri Pendidikan dicabut, setelah menghadapi protes dari banyak kalangan. Apa sebenarnya persoalan pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian pemangku kepentingan?

Jakarta, Satuharapan.com - Walau belum ada sebulan dilantik sebagai Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy, telah beberapa kali menjadi sorotan publik, terutama berkaitan dengan pernyataan-pernyataannya yang kontroversial di media massa. Dalam diskusi jaringan Masyarakat Peduli Pendidikan di LBH Jakarta akhir pekan lalu, paling tidak terdapat dua isu penting yang perlu ditanggapi oleh para pegiat pendidikan tanah air; pertama terkait dengan pernyataan menteri tentang kekerasan dalam pendidikan dan kedua tentang sekolah sehari penuh yang ia gagas.

 

Kekerasan dalam Pendidikan Tidak Dapat Ditolerir

“Saya sangat menyayangkan tindakan kekerasan kepada guru masih terus terjadi. Namun sekarang ini banyak kesalahpahaman dalam memahami HAM. Bahwa kekerasan tidak boleh dilakukan, itu saya setuju. Hanya perlu diingat bahwa dalam batas-batas tertentu, sanksi yang sifatnya fisik pun, itu dapat ditoleransi di dalam pendidikan”, demikian pernyataan Muhadjir ketika diwawancara Metro TV beberapa waktu yang lalu.

Bagi para pegiat pendidikan, pernyataan ini sungguh menyedihkan. Apalagi pernyataan ini diucapkan oleh seorang menteri pendidikan yang seharusnya memberikan contoh dan teladan, bagi para pendidik, seluruh peserta didik dan masyarakat luas. Sayangnya menteri yang memiliki latar belakang studi militer ini memang berpandangan bahwa sanksi fisik masih diperlukan.

Secara hukum, sesuai dengan UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 pasal 9 ayat 1a disebutkan bahwa “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lainnya”. Sehingga bila menteri pendidikan memberi pernyataan bahwa sanksi fisik dapat ditoleransi, artinya menteri telah melanggar hukum negara Republik Indonesia, demikian pendapat Kamanto Sunarto, guru besar emeritus Sosiologi, Universitas Indonesia.

Secara moral, pendidikan berfungsi untuk membentuk karakter individu yang nantinya akan menjadi dasar dari pembentukan watak masyarakat. Bila dalam pendidikan bangsa ini, kekerasan, baik kekerasan yang bersifat simbolik dan terlebih lagi kekerasan fisik masih terus digunakan maka dapat dikatakan pendidikan telah menjelma menjadi salah satu institusi mengerikan yang turut melanggengkan budaya kekerasan dalam masyarakat. Artinya bila merujuk pada tujuan luhur pendidikan yang memanusiakan, maka kekerasan dalam pendidikan merupakan hal yang sama sekali tidak dapat ditolerir, seperti dikemukakan Jimmy Paat, dosen Universitas Negeri Jakarta, “Kekerasan dalam dunia pendidikan, haram hukumnya”.

 

Sekolah Sehari Penuh: Penyeragaman yang Memenjarakan

Menteri yang baru juga telah melemparkan gagasan prematur tentang sekolah sehari penuh yang telah memicu perdebatan publik. Walau sebuah media telah melangsir bahwa sang penggagas telah membatalkan ide tersebut, namun hiruk pikuk publik sudah terlanjur bergulir yang bagi para pegiat pendidikan tentunya hal ini menjadi amat sangat mengganggu.

Bagi para pegiat pendidikan, gagasan sekolah sehari penuh pada dasarnya sungguh tidak dapat diterima. Pertama, secara teknis pemikiran ini, seperti yang dikemukakan Darmaningtyas dari Perguruan Taman Siswa adalah sebuah ide yang bias masyarakat perkotaan. Orangtua di perkotaan sebagian besar tidak memiliki banyak waktu untuk memperhatikan anak-anaknya, sehingga anak-anak ketika pulang sekolah mencari kesibukan tanpa pantauan orangtua. Namun kebijakan ini juga akan berdampak pada masalah lainnya yaitu kemacetan kota, terutama ketika jam berangkat dan pulang sekolah berbarengan dengan jam pulang kantor.

Lalu anak-anak dan orangtua yang tinggal di daerah pedesaan tentunya akan sulit menyesuaikan diri dengan kebijakan ini. Bayangkan saja, bila biasanya anak-anak pulang sekolah dapat tidur siang, lalu punya waktu untuk bermain bersama teman atau kakak adik atau membantu orangtua dengan mengerjakan pekerjaan rumah atau sawah dan kebun, kemudian harus bersekolah sehari penuh, hilanglah semua kebiasaan-kebiasaan itu. Anak-anak akan lebih lama terpisah dari orangtua. Dalam kelakar di media sosial misalnya telah beredar mime dalam bahasa Jawa; “Nduwe anak kok ora iso disawang, opo kudu nggawe anak meneh?” (Punya anak kok tidak bisa dilihat, apa harus membuat anak lagi?)

Lebih dari itu, ide menteri pendidikan tampaknya benar-benar tidak dipikirkan secara matang dan sungguh-sungguh. Problem yang akan mengemuka kedepan bila ide kebijakan  ini diterapkan adalah berkaitan dengan kesiapan infrastruktur sekolah dan sistem pendidikan secara luas. Di daerah, infrastruktur sekolah banyak yang tidak memadai. Banyak juga sekolah yang masih dipakai penuh dari pagi hingga sore. Belum lagi masalah tenaga pendidik, terutama berkaitan dengan jam kerja yang panjang yang semakin membebani guru, belum lagi dengan problem kurangnya guru di daerah-daerah terpencil.

Terlepas dari hal-hal teknis dan pragmatis itu, persoalan yang paling penting adalah menyangkut tujuan luhur dari pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, seperti yang dijelaskan Darmaningtyas, pendidikan itu pada hakekatnya berpusat pada tiga elemen yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan menerapkan pendidikan di ketiga lingkungan itu dengan seimbang, maka anak-anak akan memahami kehidupan dengan lebih utuh dan tidak tercerabut dari akar budayanya. Ide tentang sekolah sehari penuh tentu saja telah mengurangi waktu dan ruang bagi anak-anak untuk dapat mengeksplorasi dunia bersama keluarga dan masyarakat luas sekaligus memberikan beban yang besar kepada sekolah, padahal pendidikan bukan hanya disekolah semata dan tanggungjawab terhadap pendidikan merupakan juga tanggungjawab orangtua dan masyarakat luas.

 

Catatan untuk Sang Menteri

Sebagai pejabat negara yang seharusnya memberikan contoh dan panutan yang baik, hendaknya menteri pendidikan bijaksana dalam bersikap tindak. Terutama dalam bertutur kata di muka publik, sudah seharusnyalah seorang menteri pendidikan tidak asal bicara saja, tanpa dipikirkan masak-masak implikasi yang lebih jauh dari pernyataan-pernyataannya itu.

Pendidikan Indonesia juga bukan bahan coba-coba ataupun dapat diperlakukan sesuai dengan kehendak atau pandangan individual. Pendidikan Indonesia memiliki cita-cita luhur pembentukan karakter bangsa yang telah dirumuskan bersama dan melebihi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu adalah hal yang sungguh tidak dapat diterima bila setiap ada pergantian menteri lalu ada pergantian kebijakan terutama untuk kebijakan-kebijakan yang telah berjalan baik dan sejalan dengan cita-cita luhur pendidikan.

Menteri pendidikan sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 82 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Selain itu juga meluncurkan nomer telepon pengaduan untuk kekerasan di sekolah yang wajib dipasang di setiap sekolah, maksudnya supaya bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah dapat segera ditangani dan diminimalisir.

Saat ini, dunia sedang bergerak pada sebuah masyarakat berkeadaban universal yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang anti-kekerasan. Pendidikan kita seyogyanya telah mengarah pada bentuk pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan individu, yang memberikan ruang-ruang reflektif yang besar untuk menemukan diri dan dunianya, bukan malah mundur menjadi agen pelestari budaya kekerasan dan ruang yang memenjarakan.

 

Penulis adalah pengajar di Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia, Depok. Pegiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif (LSP-Progresif).

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home