Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 13:59 WIB | Jumat, 09 September 2016

SP3 Karhutla: Hukum Takluk pada Penjahat?

Kabut asap di kota Pekanbaru, Riau, yang semakin pekat pada awal September 2016, akibat pembakaran lahan dan hutan. Masalah ini berlangsung setiap tahun selama puluhan tahun, dan terus terjadi, tanpa ada pelaku yang diadili . (Foto: dari Riau Post)

SATUHARAPAN.COM - Kapolda Riau mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap 15 perusahaan terkait pembakaran lahan dan hutan (karhutla) di wilayah tersebut. Alasannya, penyelidikan yang dilakukan tidak menemukan bukti yang cukup.

Pihak parlemen (DPR RI) dan kalangan pegiat pelestarian lingkungan tegas meminta Kapolri menyelidiki hal tersebut. Memang kita bertanya: bagaimana mungkin api yang berkobar dengan asap mengepul yang sampai membuat negara tetangga begitu jengkel, tidak ada jejak dari tindakan pelaku.

Masalah ini sebenarnya dimulai dari penyebutan kita yang naif tentang kasus ini. Kita menyebutkan sebagai kebakaran lahan atau hutan. Istilah yang secara jelas maknanya untuk tidak menonjolkan aspek pelaku. Padahal sebenarnya api di lahan dan hutan itu dibakar, api disulut oleh tangan manusia. Maka, semestinya disebut sebagai pembakaran hutan atau lahan.

SP3 Terulang Lagi

Yang membuat banyak pihak terperangah adalah keluarnya SP3 bagi 15 perusahaan. Dan keluarnya penghentian penyidikan ini adalah untuk kedua kalinya. Citra yang muncul di publik adalah sedemikian lembekkah penyedik kita sehingga tidak mampu menemukan bukti dari tindak kejahatan yang begitu masif?

Pembakaran lahan dan hutan sudah berlangsung tiap tahun selama puluhan tahun, dan kerugiannya sudah tak terhitung dan masif. Masalah kesehatan masyarakat akibat asap yang menyebar dalam jangka waktu panjang, akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius.

Pembakaran ini telah menyebakan kita kehilangan hutan alam yang sangat luas. Itu berarti kita kehilangan kekayaan plama nutfah, berbagai jenis flora dan fauna, sumber daya air, dan sumber produksi oksigen. Dan itu baru catatan pendek dari kerugian sebenarnya yang kita alami.

Masalahnya, kasus yang berlangsung tiap tahun selama berpuluh tahun ini, ternyata tidak memberikan aparat kita belajar. Teknologi pembukaan hutan kita tidak berubah: menyulut api dan melakukannya secara licik.  

Padahal ada teknologi untuk membuka hutan tanpa api, meskipun membutuhkan investasi lebih tinggi. Kalaupun menggunakan api, banyak pakar yang tahu bagaimana hal itu dilakukan tanpa menimbulkan asap yang masif, dan api bisa dikendalikan. Mengapa hal ini tidak dilakukan?

Teknologi forensik untuk penyidikan kasus pembakaran hutan tampaknya juga berjalan di tempat. SP3 yang berulang adalah tanda bahwa tidak ada kemajuan di bidang ini di kalangan penyidik. Hukum yang lembek akhirnya dilecehkan oleh para pelaku.

Sekuat Apa Kapolri Baru?

Masalahnya sekarang mau dan mampukan Kapolri yang baru, Jenderal Tito Karnavian, untuk mengatasi ketidak-mampuan jajarannya menyeret pelaku kejahatan pembakaran hutan dan lahan? Ini berarti bahwa jika ada aparat polisi yang terlibat menghalangi penyidikan, mereka harus ditempatkan pada posisi target penegakan hukum.

Sudah menjadi pandangan umum bahwa kasus kejahatan yang begitu masif dan terang-terangan, tetapi begitu sulit untuk dibongkar dan pelaku diadili, hampir pasti melibatkan orang dan pihak kuat di belakangnya. Maka sangat mungkin bahwa kasus pembakaran hutan dan lahan di Riau yang tak tersentuh hukum itu melibatkan pihak kuat. Dan ini sekaligus menunjukkan sebagai kejahatan yang makin terorganisasi.

Jadi masalahnya adalah sekuat apa Kapolri baru menghadapi kekuatan para pembakar lahan, di mana lahan itu umumnya untuk perkebunan kelapa sawit? Lemahnya penegakkan hukum ini yang  membuat pelaku kejahatan makin kuat, sehingga terus memilih pembakaran sebagai cara ‘’murah’’, meskipun jahat, untuk membuka lahan. Faktanya, cara irtu tetap dipilih ketimbang mengembangkan teknologi ramah lingkungan.  

Tentang Reaksi Singapura

Secara internasional kasus pembakaran lahan ini telah menjadi isu internasional. Setidaknya muncul dalam reaksi negara tetangga Malaysia dan Singapura. Singapura bahkan membuat UU yang akan mempidanakan WNI yang membakar lahan dan asapnya sampai ke negara tetangga itu. Mamang tidaklah sederhana bagi hukum Singapura untuk menjangkau pelaku kejahatan ini di Indonesia.

Namun yang disayangkan adalah reaksi dari Indonesia sendiri yang terasa naif.  Kalangan parlemen menyatakan tidak peduli dengan protes tetangga itu, atau ada yang justru mempertanyakan: apa urusan Singapura? Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat berdalih bahwa soal akibat, termasuk kesehatan, Indonesia menghadapi dampak yang lebih besar ketimbang Singapura.

Menghadapi masalah ini kita tidak bisa sibuk mencari alasan atas kegagalan kita. Sekarang saatnya untuk menegakkan hukum dan mengembangkan teknologi ramah lingkungan, bukan mecari alasan pembenaran.

Kejahatan lingkungan bisa dampaknya masif, skala luas dan menembus batas negara, sehingga bisa menjadi masalah internasional dan bahkan global. Tindakan kehajatan ini sangat mungkin mendorong kekuatan internasional menggunakan mekanisme pengadilan kejahatan internasional, seperti pengadilan pada pelaku kejahatan kemanusiaan.

UU yang dibuat Singapura, bisa menjadi preseden membawa masalah ini bisa dibawa ke panggung internasional. Kita harus tegas bahwa kasusnya ada di wilayah Indonesia, dan sepenuhnya bergantung pada pemerintah dan hukum Indonesia untuk mengatasinya. Sampai kapan kita akan bertindak dengan cara lama yang selalu gagal itu?

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home