Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 06:31 WIB | Minggu, 01 Maret 2015

Surat Terbuka kepada Presiden Jokowi: Perihal Hukuman Mati

Presiden Terpilih Joko Widodo (depan, ketiga kiri) bersama relawan dan tokoh lintas agama menghadiri acara "Doa Jokowi Untuk Negeri" di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Minggu (24/8). Acara tersebut didukung ratusan artis dan seniman untuk memperingati dan mensyukuri Hari Kemerdekaan NKRI ke 69. Tampak Stanley Rambitan di kiri depan. (Foto: Dok satuharapan.com/Antara)

SATUHARAPAN.COM – Ada pro kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati baru-baru ini dan rencana eksekusi kepada terpidana lain. Berikut ini adalah surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo terkait hukuman mati tersebut.

Salam sejahtera Pak Jokowi,

Saat ini masyarakat internasional memberi perhatian besar terhadap Bapak, khususnya menyangkut pelaksanaan hukuman mati bagi para terpidana kasus narkoba “Bali Nine”. Mereka adalah masyarakat atau pemimpin negara yang warganya sudah dihukum mati pada bulan Januari 2015 lalu dan mereka yang akan dieksekusi berikutnya. Pada eksekusi pidana mati pertama, Brasil dan Belanda menyampaikan protes keras bahkan dengan menarik Duta Besar-nya. Menyangkut rencana eksekusi mati berikutnya, Prancis, Brasil dan Australia juga bereaksi keras.

Australia menempuh berbagai cara untuk dapat membatalkan eksekusi mati itu, seperti meminta grasi dari bapak sebagai presiden dan melalui imbauan-imbauan politis dan sosial kemanusiaan. Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahkan meminta pembatalan eksekusi sebagai bentuk balas jasa Indonesia dengan menyinggung bantuan Australia bagi masyarakat Aceh saat Tsunami Desember 2004. Ungkapan Abbott itu telah menimbulkan reaksi keras masyarakat Indonesia yang kemudian menyelenggarakan program “Coins for Australia” atau Koin untuk Australia, sebuah usaha mengumpulkan uang untuk membayar kembali uang yang disumbangkan Australia.

Brasil membatalkan penyerahan kredensi atau surat kepercayaan dari Duta Besar RI, padahal ia sudah berada di istana presiden Brasil atas undangan resmi dan sudah mengikuti prosedur-protokolernya. Indonesia lalu melihat sikap Presiden Brasil sebagai pelecehan diplomatik dan telah menarik pulang Duta Besar tersebut serta mengirimkan surat protes keras kepada Duta Besar Brasil untuk Indonesia. Prancis mengimbau agar Indonesia mempertimbangkan pembatalannya. Tambahan lagi, Sekretaris Jenderal PBB sudah meminta Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati itu.

Konsistensi dan Ketegasan Sang Jokowi

Bapak tidak bergeming menanggapi berbagai protes dan imbauan tersebut. Alasan bapak, eksekusi mati adalah keputusan hukum negara dan Bapak sebagai presiden tidak dapat mengintervensinya. Juga negara lain tidak dapat memengaruhi keputusan hukum di Indonesia. Itu soal kedaulatan hukum di suatu negara, sehingga bahkan Bapak sebagai Presiden pun tidak memiliki wewenang untuk mencampurinya. Dengan begitu Bapak dinilai sebagai seorang presiden yang konsisten dan tegas yang menunjukkan bahwa Bapak setia pada penegakan hukum.

Bapak tidak sedikit pun mau berkompromi dengan pelaku kejahatan narkoba yang memang adalah kejahatan luar biasa dengan efek yang sangat besar bagi masyarakat. Bapak memahami akibat dan kejahatan narkoba adalah jatuhnya korban yang sangat massive; bahwa pecandu atau penderita narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 4,5 juta orang. Yang meninggal karena narkoba berjumlah 50 orang setiap hari, atau 18 ribu orang per tahun. Karena itu Bapak tidak mau memberikan grasi dan tetap mendukung hukuman mati yang dapat memiliki efek jera terutama bagi bandar dan pengedar narkoba, serta demi keadilan bagi para korban. Soal ketaatan pada penegakan hukum Bapak benar.

Bapak Presiden, Lebih Bijaksanalah!

Akan tetapi Bapak Presiden, konsistensi dan ketegasan pada hukum dan penegakannya tidak serta-merta menunjukkan bahwa sikap itu adalah baik dan tepat. Penolakan Bapak terhadap permintaan grasi dan persetujuan terhadap hukuman mati adalah tidak benar, tidak tepat dan tidak baik bagi dukungan terhadap hak asasi manusia universal atau bagi ukuran peradaban masyarakat modern.

Hukuman mati oleh negara adalah pembunuhan yang dilegalkan. Pemerintah atau negara yang melegalkan atau menyetujui hukuman mati identik dengan menyetujui pembunuhan. Pembunuhan adalah kekejian dalam peradaban masyarakat modern dan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Apa bedanya negara Indonesia atau Bapak yang menyetujui hukuman mati dengan kelompok ekstremis Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang menghukum orang dengan cara memenggal leher-kepala orang?

Seorang presiden yang konsisten dan tegas adalah benar. Tapi itu belum cukup untuk membuat dia menjadi seorang negarawan atau pemimpin yang baik dan mulia. Kebaikan dan kemuliaan seorang pemimpin ditunjukkan oleh hikmat atau kebijaksanannya. Pemimpin yang bijaksana atau berhikmat dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik yang signifikan. Seorang pemimpin berhikmat akan mencari cara penyelesaian persoalan dengan win-win solution dan dengan tingkat efek persoalan yang minimal.

Masalah yang ditimbulkan atau efek negatif dari kebijakan hukuman mati sebagaimana terjadi sekarang ini adalah pertama, hubungan dengan negara, khususnya Australia, Belanda dan Brasil, yang warganya dieksekusi mati menjadi tidak baik. Kedua, negara Indonesia dan Bapak sebagai Presiden-nya diberi cap sebagai negara dan bangsa “pembunuh berdarah dingin” karena melegalkan pembunuhan. Ketiga, yang paling utama dari eksekusi mati itu adalah negara Indonesia dan Bapak sebagai presiden telah mengambil napas yang adalah hak hidup seseorang yang berasal dari atau adalah pemberian Tuhan. Mencabut nyawa seseorang adalah hak Tuhan, bukan manusia, bahkan Presiden. Dengan menyetujui hukuman mati dan dengan tidak memberi grasi bagi terpidana mati, Bapak secara tidak langsung telah mengambil hak Tuhan itu.

Tergantung Bapak Presiden

Hukuman mati dapat dibatalkan asalkan Bapak berkehendak. Sesungguhnya Bapak menjadi pihak yang paling menentukan mati-hidup para terpidana mati. Jika Bapak memberikan grasi, eksekusi mati tidak dilakukan, pembunuhan tidak terjadi. Hukuman mati juga dapat dicegah melalui judicial review, yang memang sudah pernah dilakukan namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu masih dapat terus diperjuangkan. Bapak juga perlu mengingat betapa gigih usaha negara dan masyarakat Indonesia untuk membebaskan terpidana mati Satinah di Arab Saudi awal tahun 2014 lalu. Negara sampai mengeluarkan uang belasan miliar ditambah dengan dana dari rakyat. Mengapa kehendak baik dan mulia untuk menyelamatkan nyawa itu tidak dijadikan kehendak dan semangat untuk menyelamatkan nyawa manusia, termasuk para terpidana mati itu?

Bapak Presiden Jokowi, jadilah orang dengan hati baik, bijaksana dan berwawasan kemanusiaan dengan kebijakan pro-kehidupan, bukan pro-kematian.

Sekian surat saya Bapak Presiden. Semoga dipertimbangkan.

 

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home