Loading...
RELIGI
Penulis: Dewasasri M Wardani 08:32 WIB | Rabu, 17 Oktober 2018

Survei: Tingkat Opini Intoleransi dan Radikalisme Guru Sangat Tinggi

Ilustrasi. Seorang guru menjelaskan ayat-ayat Alquran yang dicetak pada pelat logam di kelas baca Alquran selama bulan Ramadhan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Jawa Barat, Selasa, 6 Juni 2017. (Foto: Voaindonesia.com )

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tingkat opini atau pandangan intoleransi dan radikalisme, di kalangan guru Muslim di Indonesia cukup tinggi.

Survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018 menunjukkan, sebanyak 63,07 persen guru memiliki opini intoleran, pada pemeluk agama lain. Sedangkan guru yang mempunyai opini toleransi terhadap pemeluk agama lain mencapai 36,92 persen.

Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Saiful Umam, mengatakan hasil tersebut diperoleh berdasarkan alat ukur Implisit Association Test (IAT). Sedangkan hasil yang diperoleh dengan alat ukur kuesioner (eksplisit) pun tidak jauh berbeda hasilnya, di mana sebanyak 56,09 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain.

"Tapi kedua-duanya (alat ukur) kita bisa melihat bahwa persentasinya sudah di atas 50 persen. Karena yang eksplisit membaca kuesioner, jadi itulah mengapa hasilnya berbeda. Dan kalau yang eksplisit bisa ditebak arahnya," kata Saiful Umam.

Hal tersebut disampaikannya dalam acara pengungkapan Hasil Survei Nasional - "Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru Indonesia", di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (16/10).

Saiful mencontohkan, salah satu bentuk opini intoleran di kalangan guru terlihat bahwa sebanyak 56 persen guru tidak setuju bahwa non-Muslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka, dan sebanyak 21 persen guru tidak setuju bahwa tetangga yang berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan.

Pengukuran tingkat radikalisme di kalangan guru dengan menggunakan alat ukur kuesioner (eksplisit) menunjukkan, sebanyak 14,28 persen mempunyai opini yang sangat radikal dan radikal. Sedangkan dengan menggunakan alat ukur implisit (IAT) menunjukkan sebanyak 46,09 persen mempunyai opini yang sangat radikal dan radikal.

Dalam hal opini radikal dan intensi-aksi radikal, menunjukkan 33 persen guru setuju untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang mewujudkan negara Islam. Dan 29 persen guru setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak dalam memperjuangkan berdirinya negara Islam.

Menurut Saiful ada tiga faktor yang dapat dikaitkan dengan intoleransi dan radikalisme guru. Pertama adalah pandangan Islamisme. Kedua, aspek demografis, dan ketiga adalah peran ormas dan sumber pengetahuan ke-Islam-an.

"Faktor Islamisme, jadi salah satu variable penting terkait dengan intoleransi dan radikalisme guru. Pandangan Islamisme berkontribusi pada opini dan intensi aksi intoleran. Dalam opini maupun intensi aksi itu berhubungan. Begitu juga pandangan islamisme punya kontribusi pada opini dan intensi aksi radikal. Jadi dua-duanya positif pandangan Islamisme ini dalam bentuk opini dan intensi aksi,” katanya.

Dengan hasil survei ini, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan pihaknya. Salah satunya, kata Saiful, adalah meningkatkan kesejahteraan guru, karena dari hasil survei terlihat bahwa penghasilan guru berkorelasi dengan kecenderungan intoleransi dan radikalisme.

Dalam kesempatan yang sama Sekjen Serikat Federasi Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo merasa terkejut dan sedih atas hasil penelitian ini. Meski Heru melihat bahwa objek yang diteliti kurang lengkap, pihaknya tetap mengapresiasi hasil penelitian ini.

Heru mengatakan, visi dan misi dari FSGI ini sendiri adalah menciptakan pendidikan yang berkeadilan, juga mendukung keberagaman. Maka dari itu, menurutnya hasil penelitian yang menunjukkan tingkat intoleransi dan radikalisme di kalangan guru Muslim tinggi merupakan ancaman bagi Indonesia.

“Maka dengan penelitian ini bisa dijadikan alat untuk menyampaikan, menggugah kembali jangan sampai potensi radikalisme, dan intoleransi menyebabkan guru dan siswa terjebak dalam kondisi radikalisme pasif. Kondisi radikalisme pasif antara siswa dengan guru, lama kelamaan ketika gurunya beranggapan ingin mengubah negara ini menjadi syariat Islam, menjadi Islami dan sebagainya, ketika ini sangat luas digaungkannya, maka ini lama kelamaan akan mencabut akar kepribadian Pancasila yang ada di masyarakat," kata Heru.

Ke depan, Heru berharap hasil penelitian ini bisa disosialisasikan sehingga para guru, tidak lagi memiliki rasa intoleran dan juga radikalisme.

Survei ini dilakukan pada 2.237 guru muslim dari TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA di 34 provinsi di Indonesia, di mana pada setiap provinsi dipilih kabupaten/kota secara acak (random) berdasakan teknik probability proporsional to size (PPS).

Waktu dilakukannya survei ini dari 6 Agustus sampai dengan 6 September 2018. Survei ini memiliki margin of error (MoE) 2,7 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen. (Voaindonesia.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home