Loading...
INSPIRASI
Penulis: Priskila Prima Hevina 04:25 WIB | Rabu, 29 Maret 2017

Syahadat Bumi

Value yang mereka pegang tidak diukur dengan rupiah.
Ungkapan rasa masyarakat Kendeng (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COMIbu bumi wis maringi (Ibu bumi sudah memberi). Ibu bumi dilarani (Ibu bumi disakiti). Ibu bumi kang ngadili (Ibu bumi yang mengadili). Laa ilaaha Illa Allah. Al-Malikul Haqqul Mubin. Muhammadur Rasulullah. Shadiwul Wa’dil Aamiin.”

Judul tembang Ibu Bumi atau Syahadat Bumi itu diciptakan oleh komunitas adat Sedulur Sikep yang mendiami Kawasan Pegunungan Kendeng. Maknanya dalam, mensyukuri keberadaan ibu bumi Kendeng sebagai nikmat Tuhan. Namun juga bermakna peringatan, agar manusia tidak lena merusak ibu bumi. Sepatutnya bumi diperlakukan seperti ibu, yang dihormati, dicintai supaya lestari.

Nama Kendeng akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan. Izin operasional Pabrik Semen Indonesia diteken pak Gubernur, berpotensi mengancam pegunungan karst Kendeng, Si Ibu Bumi. Para petani Kendeng meratapi ancaman kepada ibunya tersebut. Dengan segala daya upaya, anak-anak Kendeng pergi menemui Pak Presiden di Istana Negara. Mereka melagukan Ibu Bumi, mereka memohon keadilan bagi ibu mereka.

Pegunungan Kendeng adalah tandon air raksasa yang menyangga kehidupan tani bagi wilayah Pantura bagian timur (Rembang, Pati, Kudus, Blora, dan Cepu). Bila pabrik semen dibuka, maka bukan hanya pepohonan yang ditebang, tanah batuan dan pasir akan dijarah. Kekeringan masa depan mengancam 80.000 hektar sawah, selanjutnya sekitar 800.000 orang bakal nganggur.

Protes mereka dilakukan dengan aksi mengecor kaki dengan semen di kotak kayu. Satu di antara belasan petani Kendeng yang turut dalam aksi itu meninggal dunia karena serangan jantung. Namanya Ibu Patmi, beliau berpulang saat berjuang.

Di media sosial, banyak pihak bereaksi tak suka dengan aksi tersebut. Netizen menilai, demo dengan kaki disemen itu tidak bijaksana. Netizen menganggap, aksi itu menyiksa diri yang jelas-jelas adalah tindakan dosa. ”Kalau disemen kakinya, kan nggak mungkin bisa sholat. Sengaja nggak sholat itu dosa di hadapan Allah.”

Lepas dari tuduhan ini itu yang tidak enak didengar, yang saya lihat aksi tersebut adalah perjuangan di garda depan. Belasan anak-anak Kendeng menyemen kaki, memilih menderita sekarang, mengantisipasi kerugian serius pada waktu mendatang. Mereka mengambil bagian untuk sengsara hari ini, demi memelihara harapan masa depan. Harapan agar Kendeng lestari. Kalau Kendeng rusak, maka kehidupan di sekitarnya bakal menderita lebih banyak.

Mereka bukannya tak mau menguntungkan negara dengan mempersilakan negara menambang kapur di Kendeng. Value yang mereka pegang tidak diukur dengan rupiah. Berbakti bagi lestarinya Ibu bumi lebih penting bagi mereka. Pengayoman bumi dipercaya berlangsung turun-temurun sampai generasi selanjutnya.

Ibu bumi wis maringi, sekarang giliran anak-anaknya bangkit membela Si ibu. Di mana salahnya? Bagian mana yang bisa dikatakan bodoh? Tak ada.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home