Loading...
HAM
Penulis: Equivalent Pangasi 18:00 WIB | Jumat, 18 April 2014

Sylvana Apituley: Papua, Laboratorium MDGs Indonesia

Ketua Gugus Kerja Papua Komnas Perempuan, Pdt. Sylvana Maria Apituley (kiri) saat memaparkan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Papua, pada kegiatan media gathering yang dilaksanakan Komnas Perempuan, Rabu (16/4). (Foto: Equivalent Pangasi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Gugus Kerja Papua Komnas Perempuan, Pdt. Sylvana Maria Apituley mengatakan Papua layak disebut sebagai laboratorium MDGs (Millenium Development Goals) Indonesia karena seluruh isu MDGs dapat ditemukan di Papua.

“Semua masalah yang diangkat sebagai isu MDGs dalam diskusi di CSW, semuanya terjadi di Papua dan mencerminkan Papua. Jadi Papua bisa disebut sebagai tanda kemajuan atau kemunduran Indonesia dalam segala isu, dari isu demokrasi hingga isu pembangunan,” ungkap Sylvana dalam media gathering yang dilaksanakan Komnas Perempuan pada Rabu (16/4) di kantor Komnas Perempuan.

Kegiatan media gathering tersebut sekaligus memaparkan sejumlah catatan Komnas Perempuan setelah mengikuti Commission on the Status of the Women ke-58 (CSW-58) di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada sejak tanggal 10 hingga 21 Maret 2014.

Angka Kematian Ibu (AKI) di Papua

Catatan Komnas Perempuan di antaranya mengenai kekerasan terhadap perempuan yang turut menjadi faktor penyebab melambungnya angka kematian ibu (AKI), khususnya di pelosok Papua. Komnas Perempuan mengungkapkan, terdapat 359 kematian ibu melahirkan dari 100.000 kelahiran pada tahun 2012.

Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan salah satu penyebab tingginya AKI di Papua adalah karena tidak adanya pembagian kerja rumah tangga sehingga perempuan cenderung mengemban pekerjaan rumah tangga lebih berat. Pekerjaan rumah tangga yang cukup berapa dapat menyebabkan keguguran dan kematian ibu.

Selain itu, Yuni juga mengatakan bahwa tidak adanya comprehensive sexual education (CSE) bagi perempuan turut menjadi penyebab tingginya AKI.  “Tidak adanya pendidikan seksualitas yang komprehensif menyebabkan perempuan tidak tahu tentang kesehatan reproduksinya, tidak tahu tentang hal-hal yang beresiko dan dapat menyebabkan kematiannya.”

Melengkapi pemaparan Yuni, Sylvana mengatakan tingginya AKI di Papua juga disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor kultural dan faktor struktural.

Faktor kultural, mencakup nilai agama dan budaya yang cenderung merendahkan perempuan, “membuat perempuan tidak dapat secara mandiri memutuskan untuk mengontrol atau memeriksakan kehamilannya. Keputusan untuk mengontrol itu berada di tangan orang yang lebih kuat di keluarganya atau di lingkungannya,” ungkap Sylvana.

Sedangkan mengenai faktor struktural penyebab tingginya AKI di Papua, Sylvana memaparkan laporan sejumlah narasumber Komnas Perempuan di Papua.

Para narasumber mengatakan infrastruktur dan sistem kesehatan yang belum sempurna menyebabkan tingginya AKI di Papua. Sistem kesehatan yang jauh dari standar hanya memiliki sedikit dokter dan sedikit perawat, sedikit puskesmas dan terbatasnya peralatan medis, serta harga obat-obatan yang cukup mahal.

“Kalau ibu hamil harus turun gunung untuk tiba di puskesmas, sudah pasti tidak akan selamat,” ujar Sylvana.

Ia menambahkan, “saya sendiri pernah menyaksikan apa yang terjadi di Asmat, yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Timika dan Merauke, dua kota yang cukup besar. Ketika ada ibu hamil menghadapi masalah kesehatan, tidak ada pesawat yang bisa membawanya ke Timika atau Merauke. Jadi bisa dibayangkan kan bagaimana nasib ibu tersebut?”

“Jika kita memberi perhatian pada hal-hal kultural dan struktural tadi, sudah jelas bahwa menyelamatkan ibu melahirkan adalah pekerjaan rumah kita bersama,” pungkas Sylvana.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home