Loading...
EDITORIAL
Penulis: Trisno S Sutanto 11:20 WIB | Kamis, 17 April 2014

Tentang Harapan

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dua murid itu pergi, melarikan diri dari Yerusalem. Hati mereka hancur. Seluruh harapan yang selama ini menghidupi mereka, membuat hati mereka berkobar-kobar untuk memberitakan bahwa ‘kerajaan Allah sudah dekat’, kini tidak bersisa apa-apa.

Apalagi yang tersisa, setelah peristiwa penyaliban itu terjadi? Sang Guru dari Nazaret, figur yang selama ini memesona mereka, mati tergantung di antara dua penjahat di Golgotha setelah mengalami siksaan luar biasa. Mati tergantung di salib! Itu artinya menjadi orang paling hina dan terkutuk, baik di hadapan Allah maupun pemerintahan Romawi. Sebab, dalam hukum Musa, orang yang disalib adalah yang terkutuk di depan Allah; sedang bagi hukum Romawi, mereka tidak beda dengan penjahat maupun pemberontak.

Dan itu terjadi pada diri Yesus, Sang Guru! Selama ini mereka, kedua murid itu, mengikuti jejaknya. Mereka mendengar bagaimana ia mengajar dengan wibawa, bahkan menyaksikan bagaimana ia membuat mukjizat. Hati mereka berkobar-kobar. Dan diam-diam mereka makin yakin, dialah Sang Mesias yang dinanti-nantikan, figur yang akan membebaskan Israel dari penjajah Romawi dan membangun ‘takhta Daud’ yang kekal selama-lamanya. Para Nabi sudah membicarakan itu. Tetapi ia justru mati tergantung di salib, membuat harapan mereka hancur. Jadi apalagi yang perlu dikerjakan di Yerusalem? Tak ada. Lebih baik pergi melarikan diri.

Namun kisah belum berakhir di situ. Di tengah pelarian mereka, seseorang bergabung. Orang asing itu, dengan caranya sendiri, menuturkan tentang jalan Mesias yang justru merupakan jalan penderitaan. Sang Mesias bukanlah figur Pemimpin serba adidaya, tetapi ia yang turun ke tempat paling bawah, mengosongkan diri dan menjadi hamba bagi mereka yang menderita. Dan justru melalui jalan derita itulah harapan yang sesungguhnya dapat bersemi kembali.

Hari sudah malam. Lalu Lukas menuturkan, mereka berhenti untuk makan malam. Saat orang asing itu memecah roti dan membagikan anggur, ia menghilang. Mata kedua murid itu pun terbuka. Orang asing itu Yesus yang bangkit! Dan mereka, dengan hati bernyala-nyala, segera kembali ke Yerusalem. Mereka membawa harapan baru untuk memulihkan wajah kemanusiaan. Dan itulah Paskah!

Bukankah kita sering seperti kedua murid itu, membangun harapan yang sesungguhnya ilusif? Apalagi di tahun politik ini. Begitu banyak orang terjebak dalam ilusi, maupun memakai harapan ilusif untuk menarik massa. Tokoh-tokoh politik menampilkan diri seakan-akan mereka Sang Mesias yang dinanti-nantikan. Begitu juga masyarakat punya ilusi yang sama tentang figur pujaan mereka. Tidak heran, saat ilusi itu hancur lebur, banyak yang tidak tahan lalu gila, atau bahkan bunuh diri!

Masa Paskah adalah masa di mana orang dipaksa melucuti ilusi-ilusi yang selama ini diyakini.  Orang harus menyibak selubung ilusi, dan menemukan kembali harapan yang sesungguhnya, , ‘harapan yang mengatasi segala pengharapan’, meminjam istilah Paulus. Itulah harapan yang tidak ilusif, melainkan lahir dari iman sederhana bahwa, sekalipun penderitaan memang tak terelakkan, kasih selalu akan menang dan membarui kehidupan.

Selamat Paskah!


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home